![]() |
Foto : Aljunaid Bakari,MS.i |
Oleh: Aljunaid Bakari
Sekwil Lembaga Penangulangan
Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI-NU) Provinsi Gorontalo
Kota Gorontalo sebagai Ibu Kota
Propinsi adalah Kota berkembang. Pengembangannya terbilang cukup massif,
terutama semenjak memisahkan diri dari Propinsi Sulawesi Utara sejak tahun
2002. Sebagaimana pengembangan kota-kota berkembang pada umumnya, pengembangan
Kota Gorontalo cenderung dibangun dan diarahkan berdasarkan sense of place. Sense of place inilah
menjadi inspirasi pengembangan Kota di Indonesia. Biasanya, hal ini bersumber
dari adagium-adagium yang melekat kuat dalam imaji masyarakatnya, sebagai contoh
Kota Bandung sebagai “paris van java” maka arah pengembangan menjadi icon kota
mode sebagaiamana Kota Paris.
Dalam konteks Kota Gorontalo, adagium yang cukup melekat kuat
dalam imaji masyarakatnya adalah sebagai kota “serambi madinah”. Imaji ini turut
andil membentuk sense
of place Kota Gorontalo dan terus menjadi referensi inspiratif
pengembangan wilayah Kota Gorontalo sebagai kota yang berbasis ethical society.
Dengan demikian, agama islam menjadi salah satu basis utama dari ethical society tersebut.
Sehingga setiap usaha pengembangan wilayah justeru cenderung diarahkan menjadi
kota dengan corak yang islami sebagaimana kota Madinah sehingga corak
pengembangan kotanya seolah “dipaksa bersolek’” kuat seperti halnya kota Nabi
(an- nabawiyah).
Persoalan kemudian adalah manakala “citra” keislaman yang
menjadi sense
of place, pengembangan Kota Gorontalo justru ditafsir secara kaku
oleh para stake holder. Pengembangan
hanya dalam bentuk infrastruktur fisik semata, namun abai pada aspek-aspek
alamiah dan kulturalnya. Dalam sejarah kota Baghdad misalnya, yang dikenal
sebagai kota 1001 malam, justru runtuh manakala pengembangan kota
difokuskan pada material dan fisik yang cukup dominant dan terus menggerus
tradisi keilmuan dan kulturalnya yang menjadi penopang utama citra 1001 malam.
Arah pengembangan Kota Gorontalo nampaknya sementara menuju ke
arah yang sama! Salah satu tandanya, alih fungsi lahan pertanian produktif yang
cukup massif terjadi seiring dengan pembangunan infrasturtur-infrastruktur
fisik kotanya. Yang paling menonjol adalah rencana pembangunan infrastruktur
bercitra islam (Islamic
center) oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo diatas lahan
seluas I3 Ha persawahan milik warga di Kelurahan Moodu, Kota Timur.
Rencana Islami ini dinilai justeru menambah masalah baru bagi
perkembangan Kota Gorontalo. Banjir diberbagai kelurahan dan pusat perkotaan
lah salahsatunya. Hal demikian disebabkan alih fungsi lahan yang terjadi, daya
tampung sungai karena debit banjir lebih besar dari kapasitas sungai yang ada.
Secara umum, banjir yang sering dialami Kota Gorontalo dapat dikategorikan
menjadi dua hal, yaitu karena sebab alami dan karena tindakan manusia.
Pada titik ini, rencana pembangunan Islamic Center patut di soal
dan dievaluasi kembali dari berbagai aspek, dan wajib ditolak bilamana hal ini
justru akan lebih banyak mendatangkan kemudharatan bagi warga Kota Gorontalo.
Beberapa poin penting yang sangat krusial dan berdampak
negatif adanya rencana Pemerintah Provinsi Gorontalo membangun Islamic center diantaranya;
Pertama, setiap musim penghujan tiba beberapa wilayah di Kota Gorontalo
akan jadi langganan banjir, harus dievaluasi dan segera dicarikan solusi. Yang
perlu dievaluasi adalah tata kelola lahan perkotaannya yang sering tergerus
akibat alih fungsi lahan.
Lahan produktif sebagaimana tertuang dalam Perda Recana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) No 40/20II di empat kecamatan (Dungingi, Kota
Tengah, Utara dan Timur) berfungsi sebagai resapan air harus dijaga agar tidak
sering tergerus akibat pembangunan infrastruktur. Jika alih fungsi terus saja
terjadi, maka wajib dihentikan.
Kedua; Alih fungsi lahan persawahan rencana Islamic Center kontra
produktif dengan problem banjir saat ini. Lahan persawahan selain sebagai sumber
pangan dan sumber ekonomi masyarakat juga memiliki fungsi paling efektif
sebagai wilayah resapan air. Dan hal ini juga bertentangan dengan UU 4I/2009
tentang Perlindungan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan.
Selain itu, jika kita analisis, satu hektar sawah ditanami padi
dengan system irigasi konvensional akan membutuhkan sekitar 1,157 liter/detik
atau sekitar 100.000 Liter/hari selama 24 jam. Maka untuk luasan lahan 13
hektar, akan membutuhkan air sebanyak 1.300.000 liter/hari dengan siklus
hidrologi secara alami di wilayah tersebut.
Jika alih fungsi lahan di wilayah-wilayah tersebut tidak di
intervensi, maka alokasi hidrologi yang terjadi secara alamiah diwilayah
tersebut akan terelokasi ke wilayah lainnya secara alami melalui
gorong-gorong/drainase. Di saat terjadi peningkatan volume air di musim
penghujan, hal ini menjadi penyumbang utama terjadinya genangan banjir di
berbagai titik di wilayah Kota Gorontalo.
Ketiga; alih fungsi lahan persawahan ini turut pula
menghilangkan sumber pendapatan utama masyarakat yang menggantungkan hidupnya
di sector pertanian. Berdasarkan hasil survey BPS dengan menggunakan metode
ubinan berbasis sample KSA (Kerangka Sampel Area) produktivitas pertanian padi
sawah di Kota Gorontalo periode Januari-September dan Oktober-Desember 2018,
ada 8.198 ton gabah yang dihasilkan dari luasan 1568 Ha atau rata-rata 5.2
ton/Ha dalam sekali panen.
Pembangunan Islamic Centre oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo
secara otomatis turut andil dalam mengurangi lahan produktif dan juga menghilangkan
pendapatan petani di Kota Gorontalo. Jika kita hitung, ada sebanyak 68 ton
gabah bersih sekali panen dalam luasan lahan I3 Ha.
Lalu di konversi berdasarkan harga gabah pada bulan Maret 20I9
sebesar 4200/Kg, ada sekitar 285.6 juta rupiah sekali panen. Jika setahun
ada tiga kali panen, maka pendapatan petani dari total luasan 13 Ha tersebut
sebesar 856.8 juta rupiah. Secara apple to apple, pemerintah harusnya juga ikut
menjamin pendapatan yang setara bagi para petani yang kehilangan mata pencaharian
akibat alih fungsi lahan tersebut.
Keempat; Jika lahan pertanian produktif yang telah ditetapkan
lewat peraturan “paksa” menjadi infrastruktur, justeru mengundang kemudharatan
yang lebih besar, dan cara itu tak islami.
Rencana pembangunan Islamic Center yang direncanakan Pemerintah
Provinsi Gorontalo mengundang kemudharatan nyata bagi warga Kota Gorontalo.
Jika ditinjau dalam kaidah ushul fiqhi; “Darul mafasid muqaddamu alaa jalbil mashalih” (mencegah/menolak
kemudharatan harus di dahulukan dari pada mengambil manfaat), bukan sebaliknya.
Mencegah dan meminimalisir dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial lebih
diutamakan pemerintah, daripada bersolek islami tapi justru tidak Islami.