![]() |
Foto : (istimewa) |
Oleh: Afif Muhammad
Tiap ada perkara yang sangat musykil dan sensitif, pasti saya mengahadap Nyai
Surti. Sebab menterjemah sendiri tanpa bertanya ke ahlinya, bisa-bisa kacau dan
mengacaukan.
Berbekal bensin seharga lima ribu, Siang tadi saya menghadap Nyai Surti.
"Ada yang musykil baru-baru ini di benakku, Nyai." Saya membuka
perbincangan.
"Orang kok bisa pindah agama ya, Nyai?" Lanjut saya, membuka
pertanyaan. Terlihat kopi jahe pahit didekatnya.
"Tunggu dulu. Saya selesaikan bacaan dulu." Jawab nyai surti dengan
raut muka serius fokus ke kitab klasik di tamgannya. Entah kitab apa.
"Sebelum ke perihal itu, begini, Tuhan tidak butuh orang baik yang
memamerkan kebaikannya, atau menyembunyikan biar tidak diketahui orang.
Paham?" Nyai Surti membuka penjelasan.
"Tidak paham, Nyai. Maksudnya apa, Nyai?" Jawabku spontan.
"Terus kapan kamu yang mau paham omonganku? Dasar gendeng!. Tuhan itu
mengharapkan orang tidak baik yang bertaubat, ketimbang orang yang sok baik
yang pada akhirnya kacau balau dan tak karuan. Maka sembunyikanlah tiap
kebaikan dalam dirimu sedalam mungkin. Rahasiakan serahasia mungkin, hingga
cukup dirimu dan Tuhan saja yang tahu. Jangan rame-rame. Sampaikan kebaikan
sekedarnya dan secukupnya. Jangan dilebih-lebihkan. Inilah hakikat islam, iman,
dan ihsan. Santri kok goblok!" Nyai Surti mulai meninggi.
"Ampun, Nyai." Saya menundukkan kepala tak berkutik sesikitpun.
"Dari zaman A sampai zaman Z cuma ompan-ampun jawabanmu. Makanya belajar.
Baca! Jelasnya begini, blok? Sebab sekitarmu itu; Sapi, ayam, kastol, wajan,
piring, bahkan gundulmu itu apa kata dirimu. Kalau gundulmu itu selamat, pasti
menyelamtkan semuanya. Kalau gundulmu itu kacau, alamat semuanya kacau."
Nyai Surti menyeruput kopi jahe pahit-lekat kesukaannya. Saya tak bergerak
sedikitpun.
"Sekedar tanya, Nyai. Kok bisa gitu?" Timpal saya, memaksakan
bertanya.
"Urusanmu apa? Dasar wedhus! Sini tak sikat otakmu itu biar bersih!
Makanya otak itu jangan cuma dipakai nonton bokep terus! Ya begitu itu
hasilnya. Goblok, tolol gak karuan." Nyai Surti menjadi-jadi.
"Di seratan-seratan ulama sudah sangat lengkap, makanya baca baca baca!
Mata kalau cuma dipakai melihat orang mandi ya gitu. Kuping itu buka! Masukkan
dan olah di kepala apesmu itu! Dasar santri koplak!" Nyai Surti marah tak
karuan.
"Ampun, Nyai" Saya tetap dengan posisi yang sama. Tak bergerak
sedikitpun.
"Thomas Swan, spesialis ilmu kognitif agama dari Queen University Belfast,
berpendapat begini, secara psikologis banyak orang yang tertarik kepada
"hadiah" yang ditawarkan oleh agama. Ia menjelaskan melalui
tulisan-tulisannya bahwa hadiah yang dimaksud adalah seperti alam akhirat,
sebuah tujuan hidup, rasa kebenaran moral, perlindungan dari Tuhan, dan jalan
untuk berkembang secara ideal."
"Hadiah-hadiah tersebut dianggap akan sangat menarik bagi individu yang
memiliki rasa takut mati yang tinggi, merasa dikucilkan secara sosial, merasa
cemas berlebihan atas bahaya serta kegagalan, atau mereka yang tidak memiliki
tujuan hidup."
"Tak cuma Swan, Tarsicius Sunaryo, seorang ekonom melontarkan sebuah
teori, 'Man is an utility maximizer', bahwa manusia melakukan apa pun demi
kesenangannya dalam dirinya sendiri. Ia akan memilih atau melakukan sesuatu
yang menjamin keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan diri atau kelompok-nya.
Sekalipun yang ia pilih tampak adalah jalan penderitaan, itu tetap sebagai
pilihan yang terbaik dari pilihan-pilihan lain. Tingkat efek buruk bagi
keberadaan-kenyamanan diri yang dipilih adalah yang minimal dan itu memiliki
“kepuasan” tersendiri; kesenangan yang tidak menyenangkan atau ketidaksenangan
yang menyenangkan." Jabar Nyai Surti.
"Tapi bukan perihal faktor-faktor ini saja yang saya maksud. Ini hanya
analogi. Biar kepalamu gampang nyantol. Yang lebih dari itu, sekali lagi
siapapun punya otoritas atas dirinya sendiri. Paham? Nyai Surti menepuk
punggung kanan saya.
"Enggeh, Nyai. Paham." Jawab Saya, mantap.
"Jangan cuma enggeh-enggeh tok. Dasar kepala batu!. Semua orang butuh
Tuhan. Dan tiap siapapun punya otoritas dan cara untuk sampai ke Tuhannya.
Tidak boleh siapapun ikut campur atas pilihannya. Jangankan manusia, malaikat
sekalipun tak boleh!" Nyai Surti menggebrak meja.
"Ingat! Agama bukan penyelamat. Sebab ia bukan Tuhan. Ia sekedar wasilah
(jalan), perantara, sebagimana jembatan di timur rumahmu itu. Lalu apa salahnya
tiap orang memilih jembatan sesuai pilihannya sendiri meski tak sama dengan
jembatan yang biasa kamu lewati? Atau jangan-jangan kamu sakit kepala ya kalau
ada orang pilih lewat di jembatan lain, atau kamu hanya menganggap jembatanmu
itu yang paling benar? Dan meminta orang-orang untuk lewat di jembatanmu? Atau
mau kamu paksa mereka?. Santri kok gobloknya minta ampun." Nyai Surti
makin marah.
"Sendiko dawuh, Nyai." Saya menunduk.
"Tidak boleh masuk ke wilayah hati (niat) seseorang. Kita sama sekali
tidak tahu menahu soal itu. Apalagi sok-sok memyelamatkan dengan gaya sok
sucimu itu. Tugasmu cukup menyampaikan saja. Apapun itu. Soal hasil dari
penyampaianmu itu urusan Tuhan. Jangan main perkosaan hidup orang. Perkosa
hidupmu sendiri! Dasar wedhus goblok!" Nyai Surti melotot tajam. Saya diam
tak bergerak sedikitpun.
"Lalu soal pindah agama tadi, Nyai?" Saya memaksa bertanya lebih
mendalam.
"Belum nyantol ya omongan saya? Apa perlu tak antemi gelas ini kepalamu
biar bocor gundulmu itu? Dasar guoblok!" Nyai surti mengangkat gelas
berisi kopi jahe kesukaannya.
"Begini blok, perpindahan agama merupakan bagian dari pencarian seseorang
tentang Tuhan dan kehidupan yang memberikan jaminan pada kebutuhan sosial,
rohani, batin dan psikis manusia. Soal agama bukan soal mana yang benar dan
tidak benar. Pun bukan soal mana yang terbaik dalam diri agama itu sendiri.
Tetapi itu menyangkut mana yang dapat membuat seseorang mendapatkan apa yang
dibutuhkan atau diinginkannya, yang paling dapat memberikan kenyamanan dalam
hidup. Pindah agama adalah pilihan. Itu adalah “jalan kebahagiaan” yang
ditempuhnya. Pilihan itulah yang paling membuat dia merasa nyaman, sekalipun
keputusan itu berat.” Terang Nyai Surti.
"Maka, sebagai manusia dengan agama yang kamu yakini baik dan
menyelamatkan (islam) itu, kamu perlu dan harus menghormati pilihan seorang
untuk berpindah agama. Adalah menjadi tugas seorang beragama atau komunitas
agamanya untuk membekali diri dengan keyakinan atau kepercayaan yang kuat pada
agama yang dianutnya. Lalu dengan kejadian pindah agama itu pula lah, peran
tokoh atau pemimpin agama adalah penting dalam memperkuat keimanan umatnya;
bukan justru menyalahkan pihak atau umat agama lain."
"Intinya begini, jika kamu yakini jembatanmu (agama) itu baik, maka
lahirkan prilaku baik. Jika kamu anggap benar, lahirkan dan junjung kebenaran.
Pun jika agamamu mengajarimu menyelamatkan, selamatkan di sekelilingmu!
Utamanya dalam dirimu! Hidup itu jangan menyamar! Biar tak terjangkit penyakit
soksok-an--sok pintar, sok tahu, sok bijak, sok jadi hakim, dan lain
lain." Nada Nyai mulai menurun.
"Yasudah sana pulang! Saya mau istirahat dulu!" Nyai surti berdiri.
Menuju pintu keluar, sembari perjalan ringan, Nyai Surti memeluk bahu saya dan
berpesan;
"Pelihara yang di dalam dadamu itu (hati-iman). Jangan pergunakan itu
sebagai alat menghakimi apapun. Cukup hakimi apa yang ada dalam dirimu. Jangan
kemana-mana. 'Alaisallahu bi ahkamil hakimin' Jelas hanya Tuhan lah yang pantas
disandangi hakimnya hakim, bukan?" Nyai Surti menutup pintunya.
Padepokan Nyai Surti, 22 Juni 2019