![]() |
Foto : (istimewa) |
Oleh : Tarmizi Abbas
(LAKPESDAM) PCNU Kota Gorontalo
Untuk pertama kalinya, International Conference on Indigenous Religions resmi dihelat. Sejak pukul 08.00WIB pagi, terlihat pemandangan manusia berkerumun memenuhi barisan antre di University Club (UC) Hotel Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk melakukan registrasi. Uniknya, para partisipan tidak hanya berlatar belakang peneliti atau speakers dalam konferensi, melainkan juga “sang Liyan”—mereka yang seringkali kita sebut sebagai “yang lain” (the otherness): para pemeluk aliran kepercayaan.
Konferensi ini
diadakan selama tiga hari, 1-3 Juli 2019, atas kerja sama beragam
lembaga, yakni The Asia Foundation (melalui Program Peduli), Yayasan Satunama,
Komnas Perempuan, CRCS UGM, dan disponsori sejumlah lembaga mitra. Dengan
tema “The State, Indigenous Religions, and Inclusive Citizenship”, konferensi
ini dimaksudkan untuk membaca secara kritis kondisi para penganut Aliran
Kepercayaan, khususnya di Indonesia, pasca-Putusan MK tahun 2017 tentang
inkonstitusionalitas pengosongan kolom agama bagi para penghayat kepercayaan di
kartu identitas (KTP).
Dalam pidato kuncinya, Robert
“Bob” Hefner, seorang profesor antropologi Boston University mengungkapkan
bahwa putusan MK adalah hal yang patut diapresiasi, dan konferensi yang
diselenggarakan ini adalah sebuah pencapaian, bahkan sesuatu yang berada di
luar dugaan semua pihak. Proceeding dalam konferensi ini juga
memuat beberapa sub-tema yang cukup dominan, yakni (1) Indigenous Religions and
The State’s Developmentalism, (2) Examining The Constitution, Religious
Freedom, and The Rights of Indigenous Religion Followers, (3) Indigenous
Religions and Environmental Preservation, (4) Examining State-Religion
Relation, Centesting Citizenship, (5) Interreligions Exhanges for Environmental
Preservation, (6) Understanding Indigenour Religions, Seeking For Inclusive
Representation, (7) Responding The Climate Change: Lessons From Indigenous
Ecologies, (8) The Plurality of Indigenous Religions and the Chain of
Discrimination, (9) Indigenous Resurgence, Movements and Advocacies: A
Comparative Study, (10) The Challenges of Kepercayaan Education for Inclusive
Citizenship, dan (11) The Transformation of Indigenous Religions In the
Contexts of the State’s “Religionization”.
Sejumlah Persoalan Interpertasi
Mencermati pidato kunci Robert
Hefner pada pembukaan International Conference on Indigenous Religions yang
diselenggarakan pada 1-3 Juli 2019, bagi para penghayat kepercayaan merupakan
sebuah kebanggaan tersendiri. Bob menyatakan bahwa apa yang telah diperjuangkan
selama ini merupakan langkah progresif bagi demokrasi Indonesia yang sedang
mencari bentuk. Menurutnya, kebangsaan Indonesia berlandaskan atas
kewargaan yang tak terdiferensiasikan menurut ras, agama, kepercayaan, adat,
atau kesukuan, dan menawarkan hak-hak dan pengakuan/rekognisi sosial yang
setara. Sehingga, hak-hak kewargaan masyarakat kepercayaan dan agama leluhur
yang telah dan akan terus diperjuangkan oleh para penghayat adalah realisasi
dasar dari cita-cita Pancasila dan para pendiri bangsa.
Kita tentu melihat hal ini
sebagai sebuah tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia. Tapi ternyata,
masalah yang demikian sebenarnya juga hinggap di tubuh bangsa-bangsa besar
seperti Amerika yang tidak pernah adil pada ras kulit hitam; India yang
menganggap bahwa umat Islam adalah bencana yang merenggut perdamaian; hingga
Timur Tengah, khususnya Palestina, yang sebagian besar daerahnya telah
dikolonisasi Israel secara membabi buta meski telah mengorbankan nyawa jutaan
manusia. Pendeknya, tidak hanya menjadi concern Indonesia, masalah
kewarganegaraan adalah masalah seluruh bangsa.
Proses penerimaan mereka “yang
lain” itu tidak mudah. Selalu ada onak, duri dan jalan yang berliku untuk
dihadapi. Mereka, para penghayat kepercayaan juga sering dikepung dengan
pelbagai stigma negatif. Dan rata-rata para presenter dalam konferensi mengurai
dan memberitakan hal ini dengan cermat, bahwa, tentang mereka “yang lain”
selama ini menyimpan gambaran dunia pengalaman yang cukup pelik. Tentu para
penghayat adalah bagian dari warga negara Indonesia. Mereka makan dan tumbuh di
bumi Indonesia. Tetapi pemenuhan hak-hak kewarganegaraan mereka tidak seperti seperti
apa yang dibayangkan. Mulai dari supremasi sosial (mayoritas vis
a vis minoritas), politik identitas, hingga nativisme menghantam para
penghayat kepercayaan. Alhasil, banyak dari mereka yang tidak bisa menikmati
fasilitas yang disediakan pemerintah secara adil dan merata.
Masalah bagi para penghayat
kepercayaan, bagi Symon Butt secara fundamental berada pada hasil interpretasi
sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut panelis pertama
dari Sydney University ini, tafsir ini memuat banyak faset; di
antaranya bahwa MK menyatakan pandangan bahwa kepercayaan berbeda tetapi setara dengan agama. Ambiguitas ini
lahir dari dua pasal dalam UUD, yakni pasal 28E (ayat 1 yang berbicara tentang
agama, dan ayat 2 tentang kepercayaan) dan pasal 29 (ayat 2, yang mengatur
agama dan kepercayaan di ayat yang sama). Yang pertama lahir di era Reformasi,
sementara yang kedua tak berubah sejak waktu pertama disahkan pada 1945. Dalam
penafsiran MK terhadap pasal 29 (2), agama dan kepercayaan tidak dipahami
sebagai dua hal yang terpisah, bahkan kepercayaan adalah bagian dari agama, dan
jaminan kemerdekaan untuk keduanya adalah setara. Namun penafsiran MK terhadap
pasal 28E—yang meletakkan pengaturan agama dan kepercayaan dalam dua ayat yang
berbeda—ialah bahwa keduanya berbeda, dan dengan demikian kepercayaan bukan
agama.
Selain itu, hasil keputusan MK
saban hari ini ternyata memuat kejanggalan terminologis. Zainal Abidin Bagir
dalam paper yang berjudul Distinguishing
Religion and Kepercayaan dan Ahmad Najid Burhani dalam Politicizing
Indigenous Religion in Indonesia dengan tegas menyebut bahwa MK
terlalu cepat memutuskan masalah para penghayat tanpa terlebih dahulu
memetakkan apa yang dimaksud agama dan apa yang dimaksud kepercayaan secara
epistimologi. Padahal, keduanya (antara agama dan kepercayaan) memuat
karakteristik, praktik, dan sejarah yang berbeda satu sama lain. Alhasil,
Kepercayaan selama ini diketahui hanyalah bagian dari adat, kebudayaan, dan
bukan sebagai agama yang tidak sama sekali berdasar pada argumentasi teologis
dan praktik. Pemberlakuan standar teologis (punya Tuhan, nabi, dan kitab suci)
akhirnya membuat segala usaha para penghayat kepercayaan sukar untuk diterima,
meskipun mereka memperjuangkannya mati-matian sebagaimana pernah dilakukan para
agamawan selama ini.
Bagi para panelis, kegagalan
dalam interpretasi berarti juga kegagalan dalam menentukan keputusan, dan hal
tersebut jelas berimplikasi pada setiap lini kehidupan para penghayat. Dalam
pendidikan misalnya, anak-anak para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan,
Kulonprogo, Marapu, dan beberapa Aliran Kepercayaan lainnya dipaksa untuk
belajar pelajaran agama (termasuk dari 6 agama yang diakui) meskipun sama
sekali tidak mereka inginkan. Para penghayat dituduh kafir, sesat, primitif
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyebab bencana seperti banjir dan
kemarau, oleh pemeluk agama lain. Hasilnya, secara keseluruhan para penghayat
mengalami guncangan psikologis. Perlu waktu berhari-hari bagi para penghayat
untuk merampungkan berkas agar bisa mengakses berbagai bantuan sosial dari
pemerintah. Hak-hak politik mereka juga kadang dikebiri oleh sebagian oknum
yang tidak bertanggung jawab. Alhasil, Para penghayat seperti tak punya kuasa
untuk membendung kepungan stigma negatif. Mereka tak bermakna sebagai “yang
lain”, meski setara sebagai warga negara yang dilindung oleh hukum dan
konstitusi.
Presumsi tak berdasar ini
akhirnya dijadikan sebagai variabel primer untuk memutuskan nasib para
penghayat. PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Dan/Atau Penodaan Agama resmi diketuk dalam persidangan. Alhasil, seluruh
proses pengajaran dan ritual-ritual para penghayat menjadi terlarang. Mereka
bahkan terekognisi sebagai bagian salah satu aliran sesat yang berbahaya—the
very dangerous existing religion. Selain itu, tidak hanya menjadi musuh
militer, para penghayat juga digempur cecar, makian, dan hantaman yang tak
berkesudahan dari para umat beragama lainnya, terutama muslim dan umat
kristiani. Stigma, pada akhirnya, membawa mereka pada apa yang disebut Daniel
Dhakidae sebagai “traumatic history”—sebuah ketakutan untuk berekspresi akibat
beban masa lalu. Dan hal tersebut berlaku sampai saat ini.
Dari pertentangan pemikiran dan
resistensi kelompok-kelompok penghayat dii atas, kita benar-benar mahfum bahwa
perjuangan mereka benar-benar murni atas dasar “kewarganegaraan”. Beruntung,
tahun 2016, sebuah lompatan dalam konstitusi bangsa Indonesia terjadi.
Keputusan MK No: 97/PUU-XIV/ 2016 memuat Judicial
Review MK No. 23 tahun 2006, terhadap ketentuan administratif para
penghayat. Tentu saja, seluruh proses ini diperkuat dengan keputusan MK tentang
pengosongan nama agama dalam kolom KTP, berdasarkan telaah mendalam terkait
kalimat Kepercayaan
terhadap Tuhan YME yang terpisah dari pemaknaan agama secara
general.Pendeknya, aturan ini meny tidak ada lagi standar ganda untuk
menghakimi para penganut kepercayaan sebagai bagian yang menyimpang dari agama,
selama mereka meyakini secara teologis bahwa di luar semua praktik-praktik
peribadatan ada kekuatan Adikodrati yang mengatur segala urusan manusia di muka
bumi.
Keputusan MK ini, pada akhirnya,
bukan langkah akhir. Melainkan sebuah langkah awal dari banyaknya peraturan dan
kebijakan untuk penerapan dan pengimplementasian keputusan ini, baik dari
Mentri Dalam Negeri maupun Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan Tradisi di dalam lingkup KEMENDIKBUD dan Departemen Agama. Namun tetap
tidak bisa dipungkiri bahwa, keputusan ini belum selesai. Berbagai kompleksitas
terhadap para penghayat akan semakin banyak dan harus diselesaikan. Akhirnya,
meski cukup radikal, Engkus Ruswana menekankan kritiknya pada pemerintah
Indonesia, agar seharusnya definisi “agama” perlu direvisi kembali,
agar memang sesuai dengan cita-cita Pancasila dan etika politk bangsa Indonesia
era Reformasi ini.
Defending Citizenship: Melawan
Supremasi Sosial
“Kami para penghayat kepercayaan
mampu bertahan sebab kami begitu inklusif dan menerima keterbukaan”, adalah
salah satu argumen yang dilepaskan dengan begitu tegas oleh satu penghayat yang
hadir di tengah kerumunan orang yang berkumpul dalam konferensi tersebut.
Semangatnya menggebu, micnya diletakan menyentuh bibir. Ia adalah salah seorang
penghayat dari Kulonprogo. Keberadaan sebagian besar penhayat di desanya
terancam. Mereka dituduh sesat, antek-antek PKI, dan tentu saja penyembah
setan. Di hadapan para panelis, dengan lantang ia juga menyatakan “apa yang
kurang dari kami? Kami begitu inklusif, toleran, dan menerima segala bentuk
perbedaan”. Ia begitu yakin di dalam forum itu. Namun di luar optimismenya,
kita semua tahu terselip kegentingan yang luar biasa tentang kepunahan agama
yang sedang mereka yakini.
Jika boleh digambarkan, ketakutan
seperti ini pernah dialami oleh Ling, seorang tokoh fiksi dalam sebuah novel
karangan Andre Malraux, Tentation de
l'occident (The Temptation of The West, 1926). Novel itu bercerita
soal kegetiran Ling, seorang berkebangsaan China, yang dipandang sebelah mata
oleh Barat, lantaran dia adalah “Sang Liyan”—makhluk lain (the
otherness) yang hendak dipaksa untuk meninggalkan seluruh kebudayaannya
jika tidak ingin dihabisi. Ling begitu percaya diri ketika mengungkapkan
dirinya di depan A.D, seorang tokoh fiksi kedua yang digambarkan oleh Malraux
dalam novel itu. A.D adalah orientalis, seorang berdarah Eropa yang punya
kekuatan mengontrol apapun soal Timur. Lewat surat, AD dan Ling bercakap-cakap.
Ling mengisahkan kepedihan, sedang AD muncul dengan perangai penuh belas
kasih—meskipun senyata-nyatanya, ia adalah pemangsa yang cekatan atas apa saja
yang berbau Timur.
Dalam skala luas, lewat novel
ini, Malraux memang hendak memberitakan soal Barat dan Timur melalui dua tokoh
di atas. Timur, di mata Barat hanyalah sebuah tempat yang tidak berperadaban.
Itu sebabnya mereka perlu diajari tata krama, perlu diberitahu soal bagaimana
menjadi manusia dalam scope a la Barat. Namun, sebenarnya, apa
yang diharapkan Malraux, meminjam Goenawan Mohamad, adalah soal penindasan AD
yang tak berkesudahan. Soal berhadap-hadapannya kepentingan yang lebih kokoh
ketimbang hasrat kemanusiaan yang menggema dalam diri seorang Ling. Bahwa
penting untuk melihat gambaran sesuatu secara panoptik (keseluruhan), tidak
terpotong-potong. Dan agaknya, seperti Ling sang “Liyan”, para penghayat juga
merasakan hal yang sama: dihantam kepentingan, stigma, dan tuduhan oleh
sekelompok orang yang merasa bahwa para penghayat hanyalah sampah yang perlu di
daur ulang, jika tidak ingin dibakar dan dimusnahkan.
Mau tidak mau, kondisi ini
memaksa para penghayat agar terus beradaptasi dengan lingkungannya yang tak
kooperatif. Para penghayat harus seperti Ling dalam novel Malraux yang mencari
cara untuk bertahan demi kebebasan berpendapat. Beruntung, dalam mempertahankan
posisi dan hak kewarganegaraan, mereka tidak sendiri. Pada tahun 2014,
pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari DFAT, menginisiasi PNPM Pedulis
sebagai program yang bermitra dengan organisasi masyarakat sipil untuk bekerja
dengan kelompok yang terpinggirkan. Pemerintah meyakini bahwa organisasi
masyarakat sipil memiliki keunggulan dalam menjangkau kelompok tersingkirkan di
tingkat akar rumput dengan cara yang tidak mampu dilakukan pemerintah (Dewa,
2019).
Dalam pemenuhan Program Peduli,
beberapa organisasi seperti The Asia Foundation (TAF), Lakpesdam PB NU, PKBI,
YAKKUM, Satunama, LKPK, dan Samin, pun bekerjasama sesuai dengan kelompok dan
target sasaran yang telah ditentukan. Untuk pilar korban diskriminasi,
intoleransi, dan kekerasan berdasarkan agama/keyakinan, TAF bekerjasama dengan
Lakpesdam PB NU dan Yayasan Satunama. Lakpesdam PB NU kemudian mendukung 5 CSO
sebagai mitra pelaksanaan di Bulukumba, Sampit, Cimahi, Indramayu, dan Cilacap.
Sedang Satunama mendukung 5 CSO pelaksana di Medan, Deli Serdang, Brebes, Kulon
Progo, Lombok dan Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Timur.
Namun, karena kerjasama ini akan
melibatkan pendampingan di beberapa tempat yang memiliki letak geografis,
budaya, etnik, dan cara pandang yang berbeda satu sama lain, maka TAF memilih
menggunakan Teori Perubahan sebagai basis teori advokasi. Pelatihan Teori
Perubahan didasarkan karena memberi fleksibilitas yang longgar bagi para mitra
pelaksana untuk merancang strategi yang peka dengan konteks lokal. Proses
Lokalarya ToC (Teori of Change), dilakukan di semua wilayah yang mendapat peran
pendampingan yang menunjukkan hadirnya ‘agen-agen pembangunan dari luar’ untuk
situasi penghayat yang mendapatkan eksklusi. Tugas para agen adalah
mendeskripsikan relasi sosial para penghayat dengan pihak lain di wilayat
tertentu, eksklusi sosial yang dihadapi, perubahan yang diinginkan, aktor dan
strategi untuk mencapai perubahan tersebut.
Dari perspektif ini, apa yang
hendak dikembangkan oleh Program Peduli dan sejumlah organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan adalah model-model pendampingam yang bersifat akomodatif, dengan
negosiasi dan dialog sebagai proses utama. Selain itu, proses ini tidak
dikerjakan dalam tekanan waktu tertentu. Ibarat peta, proses ini menavigasi
kepada proses pemantauan dan kontrol atas gerakan.
Komitmen Advokasi
Seperti telah disinggung di atas,
pengakuan negara terhadap eksistensi dan isu penghayat kepercayaan mengalami
pasang-surut sejak masa Orde Lama-Orde Baru-Reformasi. Jika tidak disebut
sesat, anggota PKI, penyembah setan, dan primitif, mereka mendapat perlakuan
intimidatif: dibiarkannya hak-hak kewarganegaraan mereka terserak. Itu
sebabnya, melalui Yayasan Satunama dan beberapa mitranya memahami fakta bahwa
isu penghayat adalah sensitif, kontroversial, dan kompleks. Letak persoalannya
dapat dilihat melalui dua perspektif yang berbeda. Pertama,
kebijakan dan aturan negara; sedang kedua, yakni persepsi publik.
Keduanya seperti dua buah pendulum yang saling tolok tarik. Eksklusi dan
diskriminasi tehadap penghayat terjadi di berbagai ranah, dan dilakukan baik oleh
negara maupun oleh kelompok warga negara.
Seorang pendamping dari Yasalti,
Sumba Timur, misalnya. Yang berbagi cerita bahwa dirinya sebagai seorang
Kristen awalnya selalu dipersoalan “kenapa membela orang sesat?”. Atau, cerita
serupa disampaikan oleh pendamping yang Muslim: “Sampai sekarang, saya belum
banyak cerita kepada orang tua. Ketika ditanya oleh mereka, jawaban saya:
mendampingi orang lemah, tanpa menyebut mereka sebagai penghayat”. Eksklusi
penghayat telah menjadi bagian dari keseharian publik, dari level wacana,
hingga gosip keluarga. Itu sebabnya, dibutuhkan advokasi holistik dan
kerja-kerja jejaring yang konsolidatif. Dengan itu, dimahfumi bahwa isu
penghayat dianggap tidak menguntungkan jika semata diperlakukan sebagai isu
kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Bagi Satunama, kerja-kerja
advokasi ini mesti dinavigasi melalui perspektif yang mereka sebut sebagai inclusive
citizenship. Persepsi ini lebih dari sekadar mengakui bahwa “yang lain”
adalah bagian dari warga negara. Satunama, dalam hal ini justru berusaha
menekankan bahwa pentingnya upaya pengarusutamaan ide kewargaan inklusif yang
berfokus kepada penciptaan jejaring sosial, berpegang pada prinsip penumbuhan
kesadaran tentnag keniscayaan realitas sosial yang beragam, dan kehendak untuk
mengakui serta menghidpi perbedaan, demi terbukanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara dalam mengakses sumbedaya dan berpartisipasi dalam
proses-proses pengambilan kebijakan dan pembangunan (CRCS & Yayasan
Satunama).
Berdasarkan definisi tersebut,
tiga outcome (tujuan
pencapaian) dirumuskan untuk advokasi penghayat: 1) meningkatnya akses bagi
pelayanan publik dan penerimaan sosial; 2) meningkatnya pemenuhan hak asasi
manusia; dan 3) perbaikan kebijakan untuk inklusi sosial.
Tiga konsep di atas adalah
pilihan. Setiap LSM dan mitra yang masing-masing menghadapi konteks lokal yang
dinamis, kompleks dan unik diberi keleluasaan untuk menemukan dan menentukan
pilihan oyang dianggap paling potensial. Mereka memiliki fleksibilitas dalam
merumuskan desain program dan melakukan intervensi untuk perubahan, yang sesuai
dengan konteksnya. Selain itu, inklusi sosial menekankan tentang pentingnya diversifikasi
atau multi pendekatan yang saling berkontribusi. Ketiganya sama-sama penting,
dan karenanya, pengetahuan tentang strategi terkait ketiganya juga menjadi
penitng. Fokus pada satu ranah, misalnya perubahan perbaikan kebijakan, akan
menghadapi tantangan bukan hanya dari pengambil atau pembuat kebijakan, tetapi
juga dari kelompok warga yang merasa akan terdampak dari perubahan kebijakan
tersebut.
Komitmen satu nama dalam
melakukan advokasi inklusi sosial, tentu di tengah jalan selalu mendapatkan kendala.
Namun demikian, afirmasi etika pada kesetaraan sosial lintas suku, etnisitas,
agama, kepercayaan dan adat, adalah sebuah jaminan yang diberikan oleh UUD 45
dan Pancasila—meski baru bisa benar-benar diwujudkan secara berkala pada era
Reformasi ini. Selisih norma yang dimuliakan dan realitas yang belum terwujud
secara efektif bisa menjadi sumber idealisme baru, yang meminjam Robert Hefner,
dapat berfungsi untuk menghadirkan cara-cara baru dalam memperjuangkan hak-hak
minoritas. Dan, dalam hal ini, Yayasan Satunama, Komnas Perempuan, CRCS UGM dan
pelbagai mitra lain telah membuktikan hal ini.
Akhirnya, dari segi cita-cita
kebangsaan Indonesia ini, realitas politik yang paling pokok di Indonesia
bukanlah realitas demografis; bukan sekadar data statistik mayoritas
vis a vis minoritas. Demokrasi tidak menekankan hal selain setaranya
partisipasi publik dalam mengakses sumberdaya dan pemenuhan hal-hal apapun yang
menyangkut kewarganegaraan. Menentang hal ini dengan membuat tafsir sepihak
tentang kekuasaan, hanya akan membuat diskriminasi dan ketidakadilan merebak
luas, bahkan bertentangan dengan prinsip dan cita-cita bangsa Indonesia.
Singkat kata, meminjam Bob Hefner, realitas demokrasi yang paling mendasar
bukanlah seberapa besar kontrol kekuasaan yang dimiliki, melainkan sejauh mana
perjalanan “bersama-sama” sebagai negara atas kepemilikan hak, pengakuan sesama
manusia, yang berusaha diperjuangkan.[***]
Yogyakarta 1-3 Juli 2019