![]() |
Foto (Istimewa) |
Oleh: Sobih
Adnan
Beberapa hari lalu, penulis
bercakap dengan Mbak Anita Wahid, putri ketiga Allah yarham KH. Abdurrahman
'Gus Dur' Wahid.
"Mbak, masih ingat enggak
satu pandangan Gus Dur -yang menurut Mbak- itu adalah prediksi almarhum tentang
hari ini?"
"Ada. Beliau pernah bilang,
sepuluh tahun lagi NU bakal ramai hinaan dan fitnahan. Tapi, di tahun-tahun
itulah justru anak-anak muda NU bangkit."
Pesan Gus Dur itu diungkap pada
bulan-bulan akhir sebelum berpulang. Jika ditarik dari 2009, sepuluh tahun
dalam "terawangan" Gus Dur itu memang tentang sekarang, tahun 2019.
Mbak Anita mengiyakan kedua
terkaan itu. NU, oleh sebagian kelompok kecil namun cerewet, belakangan kerap
dijadikan bulan-bulanan. Tapi, di sisi lain, kata Mbak Anita, lihat saja,
sekarang kita punya Gus Muwafiq (KH Ahmad Muwafiq), Gus Baha (KH Baha'uddin
Nursalim), Gus Miftah (KH Miftah Maulana Habiburrahman), Prof Nadir (KH
Nadirsyah Hosen), Mas Ulil (KH Ulil Abshar Abdalla), dan beberapa sosok yang
banyak digandrungi lainnya.
Mbak Anita, begitu pun penulis,
semafhum. Nama-nama yang disebut tadi memang menjelma secuil jawaban NU atas
tantangan dakwah hari ini. Ya, baru kemarin rasanya kalangan pesantren bising
dengan sindiran ihwal metode dakwah yang ketinggalan zaman. Kini, tuntutan era
digital tak terbukti sebagai ancaman senjakala dakwah kaum sarungan. Nama-nama
tadi, adalah penyelamatnya. Atau minimal, telah merelakan diri menjadi
jimatnya.
Perkaranya, mereka tak bisa
sendirian. Apabila perbincangannya adalah perebutan pasar, maka sokongan
jaringan mengambil peran lebih utama. Selain itu, karena medianya tak sebatas
di dunia nyata, berkompromi dengan rumus algoritma ialah jalan pintasnya.
Keduanya, jelas; milik anak muda.
Potensi Dai Daerah
Lima nama yang dijadikan Mbak
Anita sebagai tamsil, sebenarnya bukan sosok yang secara sim salabim muncul di
mimbar nasional. Bukan pula orang-orang Jakarta, tidak punya KTP Ibu Kota, atau
secara rutin muncul di televisi dan media.
Modalnya cuma satu, memiliki
kesadaran yang tinggi terhadap dunia digital, seiring tekad untuk mengisi
ruang-ruang kosong di dunia maya.
Artinya, mestinya NU masih punya
banyak celengan. Di daerah kelahiran penulis sendiri, Cirebon misalnya, ada
banyak kiai muda yang sejatinya memiliki peluang setara. Nama-nama seperti KH
Faris Fuad Hasyim, KH Farid Nasiruddin, Ustaz H Ujang Bustomi, KH Ja'far
Musaddad, KH Subhan Baihaqi, dan kakanda penulis sendiri, KH Ahmad Zuhri-Adnan
merupakan orang-orang nyaris setiap malam memenuhi undangan ceramah; sulit
dipergoki tengah bersantai di teras rumah.
Ada juga yang tak kalah belia.
Malahan, penulis menyimpan perasaan takjub atas kiprah dan kemampuan retorik
sekelas Gus Romzi Ahmad, Gus Rifqiel Asyiq, atau Ustaz Mamang Haerudin.
Dibanding nama-nama senior yang sudah disebutkan lebih dulu, tiga orang ini
punya arsiran genre yang berbeda.
Lantas, apa yang masih disoal?
Ya, ternyata masih banyak celah tuntutan dakwah yang penulis nilai belum
terpenuhi.
Pertama, masih lemahnya dukungan
dari pihak ketiga. Apabila dai adalah pihak pertama, media internet sebagai
pihak kedua, maka pihak ketiga adalah masyarakat umum yang berperan penting
dalam menyokong upaya mereka. Memberikan dukungan persebaran konten dakwah NU,
jauh lebih penting ketimbang bermimpi ambil peran serupa padahal belum tentu
mengantongi kemampuan yang sama.
Kedua, sepinya semangat
kolaborasi. Sebenarnya, ihwal satu ini tak jauh berbeda dengan poin pertama.
Akan tetapi, ini tidak cuma terkait antarpihak, namun juga tentang bagaimana
mengorkestrasi gerakan dakwah di ruang yang sama. Dai tidak hanya bergerak
sendiri-sendiri. Kerja-kerja jaringan dakwah, sungguh tidak cukup hanya
dibebankan kepada LDNU semata.
Ketiga, berkompromi dengan
algoritma. Beberapa tahun lalu, mungkin, mengejar poin ini masih terbilang
sunah. Sekarang, tidak. Dakwah di dunia maya sudah dipastikan jalan di tempat
jika abai terhadap pemahaman seputar seluk beluk makhluk baru ini.
Penulis pernah bercakap dengan
kiai muda yang lebih memilih menekuni rumus-rumus aneh ini dibanding bersyiar
secara langsung, yakni Kiai Mubarok Hasanuddin. Katanya, struktur dasar
algoritma itu semacam jembatan yang menghubungkan antara logika manusia dan
sistem pemrograman komputer. Salah melangkah sedikit saja, bisa-bisa apa yang sudah
diupayakan tercebur ke dalam kubangan kepercumaan.
Untungnya, algoritma yang -salah
satunya- menuntut kata kunci, sekarang ini sudah berhasil diselesaikan
situs-situs NU Online, ISLAMI.co, Alif.ID, dan beberapa website kepesantrenan
dan Islam moderat lainnya. Tapi, untuk kebutuhan berikutnya, tetap saja ada
banyak hal yang mesti dirumuskan secara serempak dan bersama-sama.
Tidak Cuma Ngeyutub
Berbicara konten dakwah, secara
singkat akan berpikir tentang keberadaan platform-platform terminal video publik,
salah satunya, Youtube. Memang tidak salah. Hanya saja, pertama, Youtube bukan
satu-satunya. Kedua, lagi-lagi, ada rumus-rumus algoritma yang harus ditebak,
bahkan dipahami.
Setidaknya, untuk menyulap konten
menjadi sesuatu yang tidak gampang tenggelam dalam platform raksasa ini, si
pengunggah harus memahami ceruk. Yang sudah ahli, menyebutnya dengan istilah
niche content meaning. Konten dakwah, harus isikamah sejak dalam pikiran.
Konten-konten itu harus diunggah dalam ruang kategori yang semestinya tidak
berubah-ubah.
Praktiknya, terserah, sesuai
bentukannya. Apakah dimasukkan dalam genre daily vlog, entertainment, atau
edukasi. Yang pasti, bakal tidak pas jika konten dakwah dipaksa masuk dalam
channel gaming.
Fungsinya, sesuai terkaan yang
banyak diungkapkan pengkreasi konten, Youtube hanya akan menandai dengan
memberi poin lebih kepada video-video yang mengandung nilai konsistenti tinggi.
Itu saja.
Berikutnya, menyiasati CTR.
Orang-orang di bidangnya menjabarkan singkatan ini click through rate. Tapi,
penulis lebih sreg membacanya rasio klik tayangan. Tepatnya, sebuah rasio yang
menunjukkan seberapa sering orang-orang melihat dan mengklik konten tersebut.
Soal ini, biasanya disiasati dengan tampilan gambar keluku alias thumbnail yang
menarik berupa cuplikan salah satu frame terkeren yang ada dalam konten
tersebut.
Ada pula yang menyiasatinya
dengan pemberian judul yang bersifat umpan klik atau clickbait. Tentang ini,
meskipun terpaksa dianut, penulis berharap konten-konten NU tidak terjerembab
dalam kata-kata kunci yang norak dan menipu.
Selanjutnya, menjaga bounce rate.
Penulis agak sulit menemukan sistem ini dalam bahasa Indonesia. Jelasnya, ada
kebiasaan pengunjung video yang telanjur cepat dibuat bosan oleh tayangan
konten tersebut. Bagaimana cara menangkalnya? Tentu, dengan merumuskan susunan
konten menjadi lebih menarik dan berkesinambungan agar tidak ditinggalkan di
tengah jalan.
Terakhir, produktivitas yang
terjadwal. Tak sedikit pengunggah konten yang mengajak pengunjung untuk
berlangganan atau subscribe, tapi tidak memenuhi tahapan unggah yang teratur
dan terjadwal. Bolehlah dicek, ketidak-teraturan unggah adalah faktor utama
yang membuat konten tersebut ditinggalkan pelanggannya.
Dari kilasan Youtube, sebenarnya
yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa platform tersebut bukanlah
satu-satunya media. Ada satu kawan baik penulis bercerita, apa yang meledak
hari ini di Indonesia, adalah fenomena usang yang terjadi lima tahun lalu di
Amerika Serikat.
Dan hari ini, di Paman Sam sedang
digandrungi tren siniar atau karib disebut podcast. Sudah siapkah para dai NU
dan pesantren menjadi pelopornya demi menyambut setengah dekade mendatang?
Ya,
cukup berpikir lima tahun ke depan saja. Sebab, yang mampu menerawang dua kali
lipatnya cuma wali setingkat Gus Dur atau beberapa kiai sepuh lainnya.(***)