![]() |
Foto : Muhammad Autad An Nasher |
Oleh : Muhammad Autad An Nasher
Penulis adalah pengasuh di Islam
Institute Jogja
Seringkali saya
mendapati narasi yang bergentayangan di media sosial tentang “musuh Islam”.
Framing, narasi, kampanye yang bernada menyerang mudah ditemui. Ada semacam hal
yang diciptakan untuk membenci yang berbeda atau memusuhi hal ihwal yang
dianggap keluar dari batas norma agama.
Liberal, Yahudi, Sekuler,
Komunis, Kapitalis, Ateis, China, Antek Asing, Agen Amerika, LGBT, Syiah,
Kafir, PKI, Penista, mungkin ada lebih banyak lagi narasi yang pembaca temui
yang digunakan untuk melabeli ‘sesat’ atau ‘musuh islam’?
Berbeda pandangan atau
mempunyai afiliasi politik tertentu dihakimi sebagai musuh Islam. Apapun yang
tidak sepakat dengan pendapat atau pandangannya mudah dicurigai dengan nada
yang sama: musuh islam.
Saya jadi teringat dengan
humor Gus Dur yang dituduh kafir. Gus Dur menjawab: “Ya nggak papa, tinggal
ngucapin dua kalimat syahadat, udah Islam lagi”. Gerr, yang lain pun tertawa.
Sebenarnya agama seperti itu.
Santai, penuh dengan canda. Tidak perlu pethentengan. Dituduh apapun
tidak akan membuat nilai atau kualitas ibadah seseorang turun di mata Sang
Pencipta. Tetaplah
lucu dan merdeka, gaes!
Umat Gegeran
Hari ini orang suka banget
dengan gegeran (berantem), karena tidak kuat dengan perbedaan. Setiap kali
membaca status group WA, musuhnya bertambah.
Bahkan, ada orang yang tiap hari kerjaannya memposting status, lalu dibantah oleh temannya yang beda pandangan dengannya, lalu apa yang terjadi? menghapus (meremove/unfriend) pertemanan. Anggapnya: dia bukan kelompokku.
Apakah generasi saat ini bertipe “mengerti sedikit—dibantah—lalu marah-marah”? Mungkin ini renungan untuk kita para netizen yang dirahmati oleh Allah Swt.
“Selama ini apakah kita benar-benar membela agama atau menjatuhkan orang lain? Selama ini kita ingin agama Islam itu jaya atau islam yang menang-menangan? Yang kita tuju atau perjuangkan itu umat lebih baik atau umat yang suka tawuran? Umat yang rahmatan lil ‘alamin atau trouble maker?”
Semua itu tergantung dari iktikad atau niat masing-masing: kita memilih yang mana?
Meniru Dakwah Nabi
Masih ingat dengan kisah Nabi
Muhammad Saw yang dilempari batu saat tiba di kampung Aqobah (Tha’if) oleh
orang yang membencinya? Bahkan, malaikat Jibril pun memanggil Nabi, jika butuh
bantuan akan ku panggilkan malaikat penjaga gunung untuk melebur kaum yang
bertindak sewenang-wenang kepadamu, wahai Muhammad. Namun, Nabi Saw malah
berdoa dan berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka
(keturunan) yang menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya (HR.
Bukhori-Muslim).
Kisah ini bukankah kita
sering mendengarnya? Dari para guru, ustadz, atau kiai-kiai kita. Nabi Saw tidak pernah mengajarkan: carilah musuh
sebanyak-banyaknya selama kamu masih hidup. Apalagi mengatakan:
bermusuh-musuhlah kamu antara umat Islam yang satu dengan umat islam yang lain.
Saat jaman jahiliyah—sebelum
kedatangan Islam—ada dua suku yang kerjaannya adalah berantem, bermusuhan,
membenci, saling dendam, dan memiliki fanatisme yang sangat kuat. Yaitu: suku
Aus dan suku Khazraj. Namun setelah Islam datang, mereka hidup bersaudara,
rukun, dan saling mencintai. Hal tersebut tidak terlepas dari sentuhan
dakwah Nabi Muhammad Saw. yang mengajarkan kasih sayang dan menanamkan
nilai-nilai persaudaraan kepada kedua suku tersebut.
Lalu, jika ada orang yang
hobinya mencari musuh, membuat narasi pertengkaran, dan suka marah-marah, nabi
siapakah yang diikutinya? andaikata saat ini Nabi Saw masih ada (hidup) dan
masih menganggap orang tersebut sebagai umatnya, pasti Nabi bingung bagaimana
cara membanggakannya. Wallahhu a’lam.
Tulisan ini pernah dimuat di islami.co