Oleh: Ali
Muhtarom
Wakil Sekretaris
Lakpesdam PWNU Banten dan Dosen UIN SMH Banten
Pola gerakan
keislaman transnasional pada saat ini bisa dikatakan cukup berhasil dalam
merebut posisi, baik secara kelembagaan, maupun diskursus pemikiran keislaman
di Indonesia. Mereka berhasil merebut tatanan dan basis gerakan keagamaan Islam
lokal yang sudah lama berkembang di Indonesia seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama. Meskipun demikian, terdapat perdebatan dari kalangan sarjana
mengenai keberadaan gerakan keagamaan Islam transnasional di Indonesia.
Sebagian mengatakan bahwa gerakan keagamaan tersebut tidaklah membahayakan, karena kelompok aktivis Islam saat ini sudah mengalami perubahan paradigma yang dalam istilah Asef Bayat atau Peter Mandaville (Bayat: 201, Mandaville, 2006: 343) disebut telah bergeser dari paradigma radikalis (Islamisme) ke paradigma yang lebih moderat dan akomodatif dengan sistem demokrasi (post-Islamisme). Hal ini karena mereka, sebagaimana dikatakan Greg Fealy (Fealy dan Bubalo, 2007: 144), meninjau ulang dari berbagai kegagalan politik yang telah dialami oleh kelompok Islamisme di paruh kedua abad ke-20.
Namun, pendapat
yang lain mengatakan bahwa gerakan keagamaan Islam transnasional membahayakan
bagi keutuhan bangsa. Ideologi keagamaan transnasional diyakini tidak mungkin
menerima gagasan demokrasi secara penuh, dan seandainya menerima, itu hanyalah
sebagai sikap “pura-pura”, atau dalam pandangan mas Imam Aziz adalah “jeda”
sementara saja. Sikap “kepura-puraan” hanya dijadikan strategi untuk mengukur
kekuatan diri sesaat, karena tidak menutup kemungkinan ketika mereka berhasil
menang akan berbalik menjadi kekuatan Islam politik yang sangat radikal.
Secara historis kelompok Islamisme lebih memilih jalan menjadikan Islam sebagai ideologi totalitarianisme. Dalam semua segi kehidupan, baik dari sistem pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi, menurut mereka harus sesuai dengan prinsip Islam (yang hanya sesuai dengan pemahaman mereka). Dalam pandangan Bassam Tibi mereka memiliki kecenderungan untuk menegakkan cita-cita Islam secara totaliter dengan upaya melakukan politisasi syariah yang justru tidak bersumber dari ajaran Islam. Bassam Tibi membedakan bahwa gerakan keagamaan transnasional islamisme berbeda dengan Islam. Gerakan keagamaan transnasional (Islamisme) mendasarkan pemahaman keagamaan pada tujuan politisasi kebenaran atas nama syariah yang eksklusif. Sedangkan Islam lebih menekankan pada moralitas dan spiritualitas Islam yang terbebas dari politisasi syariah.
Fragmentasi
Gerakan Keagamaan Islam Transnasional
Bassam Tibi dan
para sarjana yang pesimis terhadap kelompok islamisme tetap menganggap bahwa
gerakan keagamaan mereka tidak bisa terlepas dari tujuan penegakan sistem
syariat Islam yang tidak menolerir pada pemikiran liyan. Namun demikian, secara
gerakan, di antara kelompok keagamaan Islam transnasional tidaklah monoton
terbungkus pada satu wadah. Di antara mereka terfragmentasi kepada
varian-varian yang sebenarnya sangat rumit. Perseteruan dan ketegangan di
antara mereka disebabkan ketidakmampuan mereka keluar dari pemikiran yang kaku
atas pemaknaan nash (sumber hukum Islam).
Ekspresi dakwah yang disandarkan pada tokoh pendirinya masing-masing biasanya ada yang mengambil jalan persuasive, mengambil jalan kekerasan dan pemaksaan, hingga yang mengikuti doktrin jihad. Atau, dari sikap yang melunak dengan pemerintahan hingga yang menentang kedaulatan negara. Perseteruan yang mengarah pada perbedaan implementasi dakwah tersebut bisa dilihat pada cara dakwah Ikhwanul Muslimin yang lebih politis, namun tetap dikritik kelompok Hiznut Tahrir yang walaupun menurut catatan belum pernah mampu menandingi Ikhwanul Muslimin dalam percobaan penggulingan rezim sebagaiman yang pernah dilakukan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir era 1970-an hingga 1980-an (Peristiwa Penggulingan Gamal Abdul Nasser dan tragedi Pembunuhan Anwar Sadat), (Dreyfuss: 2007).
Sedangkan kelompok Salafisme Puritan juga mengecam gerakan yang dianggap melenceng seperti Ikhwan Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh yang dianggap sudah keluar dari ajaran Islam. Walaupun terdapat perbedaan, namun seluruh varian tersebut sama tujuan dalam semangat militant dalam penerapan syariah Islam. Di sisi lain, Syiah yang kehadirannya menjadi “musuh” bersama dari varian-varian di atas karena dianggap bukan “Sunni”, justru memiliki doktrin keagamaan yang kuat dalam usaha penerapan marja’taqlid.
Apakah Ideologi
Islam Transnasional Membahayakan Keutuhan Bangsa?
Terlepas dari
perbedaan di atas, apakah paham keagamaan Islam transnasional membahayakan
keutuhan bangsa Indonesia atau tidak membahayakan, menurut saya perlu
pencermatan dan peninjauan kembali, bagaimana pemikiran yang dibawa oleh
gerakan keagamaan transnasional itu, sesuai dengan budaya dan tradisi bangsa
Indonesia atau tidak? Apakah pemikiran tersebut melahirkan resistensi di
masyarakat atau tidak? Dan, apakah juga membuka ventilasi kesejukan dalam
harmoni perbedaan ataukah malah menyulut api intoleransi? Saya kira pada
petanyaan-pertanyaan tersebut kita harus meninjau ulang keberadaan pemikiran
keagamaan Islam transnasional di Indonesia.
Saya kira makna peyoratif tentang gerakan keagamaan Islam transnasional terletak pada wilayah pertentangannya dengan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Hal ini juga menegaskan bahwa gerakan keagamaan Islam transnasional tersebut tidak hanya pada tataran ideologi pendirian negara Islam yang utopis dan tindakan jihadis, namun bentuk pemikiran yang mengingkari tradisi dan budaya asli Indonesia dengan upaya penggantian atas dasar syariah yang tidak akomodatif adalah bagian dari kategori makna gerakan keagamaan Islam transnasional yang membahayakan bangsa.
Namun, apabila
pemikiran keagamaan Islam transnasional tidak bertentangan dengan tradisi dan
budaya bangsa, maka gerakan keagamaan Islam transnasional tidaklah
membahayakan. Karena sesungguhnya Islam sendiri itu adalah agama transnasional
yang baik dari segi doktrin teologis maupun legal fikihnya, melintas batas
kabilah, suku, bangsa, dan ras. Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia
yang beragam dari berbagai segi (Azra, 2009: 14).
Hal serius yang
membedakan antara gerakan keagamaan Islam transnasional yang membahayakan
bangsa dan yang tidak membahayakan bangsa Indonesia adalah pada ketulusannya
mengadaptasikan ajaran agama dengan konteks lokal nusantara. Bukan
membangkitkan kesan pemikiran bahwa agama hadir sebagai musuh budaya, dan
tradisi nusantara, dan bahkan yang ingin merubah sistem negara seperti yang
sering kita jumpai tentang sepak terjang gerakan mereka sebagaimana yang
tersebut di atas. Dan, tidak pula dimaknai sebaliknya, bahwa budaya
adalah musuh agama. Yang seharusnya dikedepankan adalah sikap pengejawentahan
ajaran-ajaran Islam agar tidak bertentangan dangan tradisi dan kebudayaan lokal
sebagaimana yang digagas Gus Dur (Allahu Yarhamu) dalam Pribumisasi Islam yang
menjadi landasan bagi berkembangnya Islam Nusantara yang saat ini diperjuangkan
oleh Nahdlatul Ulama. (***)