Yang Hinggap di Kepala Kita Ketika Mendengar Sosok Ustaz Firanda Andirja


Foto :(istimewa)


Oleh : Tarmizi Abbas
Pengurus LAKPESDAM PCNU Kota Gorontalo dan Mahasiswa Pasca Sarjana
CRCS Student, UGM, Yogyakarta.

Semalam, salah seorang karib menghubungi saya via WhatsApp Messenger. Singkat cerita, pesannya seperti ini:

“Bro, coba kasih saya penjelasan. Kenapa tabligh yang akan dihadiri oleh Ustaz Firanda Andirja pada tanggal 27 Juli 2019 nanti di Gorontalo mendapat beberapa kecaman?”

Belum sempat saya jawab, teman saya yang tak sabaran ini menulis lagi: “Saya minta penjelasan dari kamu [saya, yang dimaksud] tentang bagaimana aktifitas dan dakwah ustaz ini. Wahabi dia? Lantas bagaimana persoalan Wahabi ini? Mohon pencerahan!”

Sebetulnya, karib saya ini bukan orang pertama yang bertanya seperti ini. Barangkali sudah sejak seminggu lalu, kedatangan Ustaz Firanda di Gorontalo memang menjadi sorotan. Hampir seluruhnya bertanya -tanya “siapa Ustaz Firanda, bagaimana ajarannya, dan apa keterkaitan beliau dengan Wahabisme”. Grup-grup WA di telepon pintar saya juga tak ada habisnya mempersoalkan kedatangan, bahkan bersiap-siap menolak kedatangan salah satu alumnus Universitas Islam Madinah ini.

Anehnya, teman saya ini justru meminta pendapat saya yang begitu jarang menyaksikan ceramah-ceramah virtual Ustaz Firanda. Dibanding Ustaz Firanda, saya lebih suka menghabiskan waktu untuk mendengarkan Gus Baha (Bahauddin), Gus Miftah, Cak Nun, dan Gus Mus. Simpel saja alasannya: ceramah mereka lebih santai dan luwes. Kyai-kyai ini tidak pernah marah-marah saat ceramah. Mereka juga memiliki kekayaan narasi untuk mengilustrasikan pesan-pesan agama. Dari sisi keilmuan, mereka juga sangat diakui.

Tetapi apakah kekaguman saya pada kyai-kyai tersebut bakal serta-merta membuat saya marah-marah—sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa teman saya—ke Ustaz Firanda? Eiiitts, tunggu dulu Fergusso. Tidak semudah itu juga. Kita perlu sedikit waktu untuk membaca persoalan ini lebih dalam. Terlebih, ingat, ini era post-truth; banyak kebohongan dan propaganda yang menyeruak di dalamnya. Jangan gegabah memutus sebuah perkara. Sabab, bisa saja Anda bisa tertipu dengan kulit.

Kejadian Yang Sama

Sebenarnya, penolakan kedatangan Ustaz Firanda Andirja di Gorontalo bukan sesuatu yang baru. Telah ada banyak penolakan serupa terhadap kedatangan beliau. Namun, izinkanlah saya mengambil satu contoh yang dekat, yakni Aceh. Bulan lalu, 6 Juni 2019, beliau juga sempat tertolak untuk mengisi sebuah tabligh akbar di Masjid Al-Fitrah, Banda Aceh.

Konon, Ustaz Firanda ditolak lantaran konten-konten ceramahnya itu beraliran “Wahabi”, sedang masyarakat Aceh sendiri umumnya memiliki pemahaman “Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Saya kutipkan salah satu pernyataan Muslim Ibrahim, seorang warga Aceh kepada BBC News Indonesia (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48617536) bahwa,
"kami dengar informasi dari luar, misalnya dari rekaman-rekaman (video) dan sebagainya, (isi ceramah Firanda) lebih cenderung ke apa yang diistilahkan sebagai Wahabi”.

Lebih lanjut (masih dalam BBC) Muslim berkata:
“Daripada kacau nanti di masyarakat setelah ada ceramahnya, masyarakat meminta agar tak sembarangan mengizinkan penceramah dari luar, yang belum diketahui apa alirannya, agar tak terjadi kekacauan di masyarakat”.

Kedua bentuk kesaksian Muslim tentang Ustaz Firanda Andirja di atas ini tentu saja perlu diuji agar tidak menimbulkan bias penalaran (cognitive bias). Mari kita lihat. Jika sedikit lebih jeli, pernyataan Muslim ini, pertama, tentu didasari prasangka yang berlebihan. Muslim sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apa yang disebut sebagai “wahabi”. Kalimat “kami mendengar informasi dari luar” menandakan hal tersebut.

Dalam proses penarikan kesimpulan, cara-cara yang dilakukan oleh Muslim ini kurang tepat. Muslim terlalu cepat melompat pada kesimpulan (jumping to conclusion). Sehingga, ini membuatnya melewatkan beberapa hal penting, seperti akumulasi informasi tentang siapa Ustaz Firanda, pendidikan, perjalanan pemikiran (termasuk lulusan perguruan tinggi mana Ustaz Firanda) dan bagaimana trackrecord beliau dalam berdakwah—termasuk tanggapan masyarakat sekitar tentang konten-konten Wahabi dalam dakwah beliau. Apa yang diperoleh dari proses penalaran seperti ini adalah pemahaman yang keliru, yang alhasil, dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Ketiga, perlu digarisbawahi bahwa dari pernyataan Muslim selanjutnya, koordinasi antara masyarakat dan pihak penyelenggara yang mengundang Ustaz Firanda untuk mengisi tabligh tidak terjalin. Ini juga sesuatu yang berbahaya. Sebab, bagi masyarakat yang telah hidup dengan pola dan tradisi keberagamaan sesuai dengan kultur Aceh, kedatangan Ustaz Firanda adalah sesuatu yang—jika saya boleh lebih gamblang menyebut—dinilai merupakan “ancaman” (threat). Apalagi setelah membaca laporan BBC itu, yang menandakan dengan tegas bahwa masyarakat Aceh adalah mereka adalah penganut paham Ahlusunnah—yang notabenenya berbeda dengan Wahabi, sebagai asumsi dasar yang dilekatkan pada formasi pemikiran keagamaan Ustaz Firanda.

Untuk sebuah fenomena kebudayaan, hal semacam ini bukanlah sesuatu yang tabu. Manusia, siapapun mereka, jika telah terpola dengan kultur keagamaan yang cukup padu dari waktu ke waktu, tentu saja akan merasa terganggu dengan hal-hal baru. Hal tersebut disebabkan karena agama, bagi mereka adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari konteks sosial dan fenomen kesejarahan yang telah ada sejak peradaban awal Islam di Aceh. Alhasil, dalam kasus tersebut, Ustaz Firanda dicekal. Berbondong-bondong masyarakat memenuhi bandara. Jadwal tablighnya terberai. Meski demikian, beliau tetap sempat mengisi kajian.

Untuk Gorontalo sendiri, saya kira, apa yang terjadi di Aceh dapat dijadikan sebagai sandaran. Dalam kasus ini, kita perlu pembacaan yang, meskipun tidak terlalu dalam, namun sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar siapa Ustaz Firanda dan seluruh informasi terkait dirinya agar terhindar dari klaim sepihak. Selain itu, komunikasi antar penyelenggara dan masyarakat setempat juga perlu dijernihkan. Ini penting untuk memelihara pandangan dari bias penalaran (cognitive bias), yang pada satu titik tertentu, bisa saja menimbulkan ketegangan di antara umat seagama.

Membaca Asumsi “Wahabisme” Firanda

Saya cukup mahfum, alasan paling penting yang coba dilemparkan sebagian besar masyarakat Gorontalo terhadap kedatangan Ustaz Firanda 27 Juli 2019 nanti terkait formasi intelektual beliau. “Ustaz Firanda itu Wahabi,” adalah salah satu bagan kalimat paling tegas yang mencuat dari mulut masyarakat kita. Namun benarkah asumsi ini? Apakah yang dimaksud dengan Wahabi, dan mengapa pikiran tersebut begitu ditakuti?

Sejauh sumber yang bisa dilacak, Ustaz Firanda adalah salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i, Jember. Beliau juga aktif mengisi ceramah di Radio Rodja dan menjadi narasumber di beberapa kajian di Indonesia, seperti Jogja, Wates, Muntilan, hingga Sorong, Papua.

Selama di Madinah, beliau juga tercatat sebagai mahasiswa yang cerdas. Tesisnya magisternya berjudul “Jawaban Syaikhul Islam Ibn’ Taimiyyah Rahimahullah terhadap Syubhat-syubhat terperinci para penolak sifat yang berkaitan dengan Sifat-sifat Allah Adz-dzaatiyah”, serta disertasi doktoralnya yakni “Merobohkan argumentasi para da’i pluralisme yang berdalil dengan al-Quran dan Sunnah”.

Keduanya diselesaikan di perguruan tinggi Islam yang sama, Universitas Islam Madinah.
Adapun guru-guru beliau, di antaranya: Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, seorang ulama besar kota Madinah; Prof. Dr. Syaikh Abdurrozaq al-Abbad, pengajar Masjid Nabawi; Prof. Dr. Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily, yang juga merupakan pengajar Masjid Nabawi; dan Prof. Dr. Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Sindi, yakni guru aqidah beliau. Selain itu, Ustaz Firanda juga terbilang sosok yang aktif menulis. Pendeknya, untuk sosok da’i, beliau itu sosok komplit.

Lantas apa itu wahabisme? 

Secara umum, terminologi ini lahir di abad ke 18 lewat seorang yang bernama Abdullah bin Abdul Wahhab, seorang teolog Islam reformis yang pemikirannya cenderung eksklusif, kaku, dan puritan. Salah satu ajaran dari Wahabisme adalah mengembalikan “Islam yang murni”, Islam yang bersandar pada al-Quran dan Hadist. Dalam pandangan cendekiawan muslim, Fazlur Rahman misalnya, menyitir Wahabisme sebagai sebuah paham dalam Islam yang lahir dari sisa-sisa ketegangan perang di abad pertengahan.

Semangat Wahabisme adalah semangat untuk menghancurkan praktik-praktik ibadah yang baru dalam Islam. Mereka membaca al-Quran dengan metode literalis-takfiri. Menurut Aksin Wijaya (2018), literalis-takfiri adalah term yang digunakan untuk merujuk pemahaman seseorang atau golongan yang cenderung tekstual, kaku, dan eksklusif dalam memahami agama. Para pendukung aliran ini menyebut tradisi dan kebiasaan yang lahir dalam Islam sebagai bid’ah, churafat, dan takhayul, yang bisa membawa umat Islam menuju kesyirikan. Genealogi pemikiran Abdul Wahhab juga mengambil bentuk pendahulunya, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (1263-1328).

Jika dirunut secara genealogis, benar bahwa corak pemikiran Ustaz Firanda berkiblat pada Abdul Wahhab, yang mempelopori Wahhabisme. Sebab di beberapa tempat di Arab Saudi seperti Mekkah dan Madinah, perkembangan aliran ini cukup dominan dan berakar kuat. Karen Armstrong bahkan menyebut bahwa Wahhabisme pernah menjadi teologi kerajaan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Muhammad bin Saud, yang ketika itu Abdul Wahhab ditunjuk sebagai pemimpin spiritual kerajaan. Apalagi jika kita tarik lebih jauh, sanad keilmuan Abdul Wahhab bakal sampai ke pangkal ajaran Islam a la Syaikhul Islam, In Taimiyah.

Menerka Islam Gorontalo

Benar bahwa Islam dalam kerangka normatif adalah agama yang murni bersumber dari al-Quran dan Hadist. Namun demikian, Islam juga tidak terlepas dari fenomen kesejarahan yang hadir di dalam ruang lingkup pemeluknya. Itu sebabnya, dalam studi Islam sendiri, Islam mesti dibaca melalui dua model pendekatan, yakni normatif dan historis. Anehnya, selama ini kedua pendekatan ini seringkali diperhadapkan, dan berpretensi untuk berbenturan satu sama lain. Padahal, lewat analogi Prof. Amin Abdullah, keduanya ibarat sisi mata uang: tidak bercerai dan dipandang secara terkotak-kotak.

Di Gorontalo, Islam pertama kali di kenal pada masa Sultan Amai (1503) berkat pernikahannya dengan Putri Owutango, dari Kerajaan Palasa. Dalam catatan yang dirangkum oleh Alim Niode dan Elnino (2002) Abad Besar Gorontalo, di masa Amai, syiar-syiar Islam bermunculan. Di tangan Sultan Amai, Islam bahkan diperkenalkan hampir pada setiap sisi kehidupan masyarakat, seperti lembaga pendidikan, hukum keluarga, seni dan budaya (Niode & El Nino, 2002). Salah satu proyek terbesar yang pernah dilakukan Amai adalah membuka ruang dialogis seluas-luasnya antara Islam dan adat istiadat setempat (Nur, 1979).

Di masa ini, sebuah pencapaian luar biasa terjadi. “Saraa topa-topango to adati” (Syarak yang bertumpu pada adat) muncul sebagai konvensi yang hadir lewat sintesa antara agama dan tradisi yang pertama kali dirumuskan. Amai juga mengesahkan sebanyak 185 aturan adat (Giu, 1971). Prinsip-prinsip adat itu kemudian menjadi pegangan utama dalam menjalankan pemerintahan kerajaan serta hubungannya dengan masyarakat yang berpola kehidupan islami (Hasanuddin & Amin, 2012).

Apa yang telah dilakukan oleh Amai, selanjutnya diteruskan oleh putera mahkotanya sendiri, Matolodulakiki, ketika ia naik tahta dan memimpin kerajaan Gorontalo (1550-1585). Sentuhan-sentuhan paradigmatik Matolodulakiki berfokus menumbuhkan kesadaran berislam di lingkungan kerajaan dan masyarakat, sang Sultan juga meneguhkan struktur sosial kemasyarakatan di zamannya. Proyek identitas ke-“Gorontalo”-an itu lalu dibuka dan dibaca kembali, lantas melahirkan sebuah format baru, yakni “Adati hula-hula to syara’, syara’ hula-hula to adati”, (adat bersendi syara, syara bersendi adat) (Nur, 1979).

Amai telah berani membuka pintu ijtihad agar Islam dapat diasosiasikan dengan seluruh lini kehidupan masyarakat; Matolodulakiki melanjutkannya; tiba saatnya kekuasaan digenggam Eato, salah satu Katib Agung yang kemudian menjadi raja pada tahun (1673-1679). Eato lalu menyempurnakan identitas masyarakat Gorontao menjadi, “Adati hula-hula to Syara’, syara’ hula-hula to Kuru’ani” (adat bersendi syara, syara bersendi Al-Qur’an).

Tentu semangat Wahhabisme yang kaku dan keras akan sangat kontradiktif jika diperhadapkan dengan realitas Islam di Indonesia, atau lebih spesifik di Gorontalo. Di tempat luhur ini, Islam diekspresikan lewat pigmen-pigmen tradisi dan kebudayaan yang menyejarah. Di antara keduanya (Islam dan Budaya) terjadi sebuah perjumpaan (encounter). Bukan sebuah akulturasi yang menempatkan satu variabel di atas variabel lainnya. Dan paling penting adalah, hal ini tidak terjadi begitu saja. Kebudayaan Islam tidak lahir dari ruang yang hampa.

Yang disesalkan dari argumen Ustaz Firanda Andirja adalah ketika ia berusaha memaksakan kehendak dakwahnya pada satu model pendekatan saja (Islam normatif), tanpa melihat bagaimana realitas sejarah yang berinteraksi dengan Islam di Indonesia. Itu sebabnya, menurut hemat saya, inilah alasan utama mengapa Ustaz Firanda mengisi kajian di beberapa tempat di Nusantara tertolak. Apalagi beberapa kali saya melihat cuplikan video Ustaz Firanda mengolok-olok ulama Nusantara dan praktik-praktik kebudayaan Islam di dalamnya.

Jalan bagi dua model pendekatan Islam di atas adalah dialektika. Bahwa antara Islam normatif dan historis sama-sama perlu didudukkan pada satu perspektif yang saling menunjang dan mengisi, bukan saling bersitegang. Toh kita juga tidak mendapat apa-apa selain percekcokan di dalam hal ini. Di sisi lain, umat Islam juga harus memahami situasi ini. Mereka harus menahan diri dan mengedepankan dialog. Tak elok jika antar sesama umat agama sendiri larut dalam silang sengkarut. Terakhir, terlebih dahulu saya ucapkan selamat datang pada Ustaz Firanda Andirja di bumi Gorontalo, tempat di mana Islam dan kebudayaan menjadi satu: wajah Serambi Madinah.[***]

nulondalo online

Media yang dihidupi & dikembangkan oleh Jaringan Anak Muda NU Gorontalo

Lebih baru Lebih lama