Penulis : Tarmizi Abbas
Pengurus Lakpesdam PCNU Kota Gorontalo, CRCS UGM
“Jika hari kiamat akan tiba sesaat lagi dan kau masih membawa tunas
sebatang pohon untuk kau tanam di semak belukar, teruskanlah niatmu dan
tanamlah.”-Muhammad Saw.
Waktu itu paruh tahun ke 6 dalam kalender hijriah, ketika Nabi Muhammad
Saw bermaksud melakukan ibadah haji. Ini tahun pertama jamaah haji yang
dipimpinnya dari Madinah berhenti di Hudaibiyah untuk memulai ihram. Namun di
tengah perjalanan, rombongan Nabi dicegat. Mereka dikepung wajah-wajah garang
para Quraisy. Seketika suasana menjadi begitu getir. Dan pada waktu itu,
Muhammad adalah satu-satunya orang yang berdiri paling depan di barisan kaumnya.
Muhammad tidak gentar. Perdebatan dimulai. Di depan Suhail bin Amr,
Muhammad berdiri dan menyatakan bahwa kafilah yang ikut bersamanya hendak
menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji. Tapi sungguh, berat bagi para
Quraisy untuk menerimanya. Di kepala mereka tersemai keyakinan bahwa kedatangan
Muhammad itu juga politis. Muhammad datang untuk balas dendam, dan, ketika
kakinya telah sampai di Mekkah, bisa jadi ia juga mendambakan kekuasaan dan
kontrol penuh atas Mekkah.
Namun ini juga bisa berarti lain. Mereka, para Quraisy, sebenarnya
sedang dibungkus rasa malu. Bahwa, dulu sekali, orang-orang ini pernah
memperlakukan Muhammad dengan begitu keras: dimaki, dicaci, diludahi, hingga
diusir dari Mekkah. Namun di Madinah, setelah kepergiannya, Muhammad justru
tumbuh sebagai pemimpin besar nun dihormati. Disulapnya Madinah menjadi
peradaban besar. Dipertemukannya suku-suku yang bersengkarut dalam perang tak
berkesudahan. Muhammad juga merupakan figur yang mengikat sisi terdalam
masyarakat Yastrib. Peristiwa ini terekam jelas dalam setiap kitab-kitab tarikh.
Perdebatan yang alot itu akhirnya selesai. Suhail dan Muhammad lalu
bersepakat dalam Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu poin penting dalam
perjanjian ini adalah genjatan senjata antara Mekkah dan Madinah selama sepuluh
tahun. Kekecewaan, tentu saja, timbul dari kaum Muslim. Mereka menganggap ini
sebuah ketidakadilan. Dan benar, perjanjian itu dilanggar oleh kaum Quraisy
sendiri. Namun, kita cukup mahfum, tahun-tahun setelahnya berlalu dengan pasti.
Rasulullah berhasil menaklukkan Mekkah tanpa perlawanan berarti. Kali
ini yang dilakukan Nabi pada Al-Umrah Al-Qadha berdampak
positif. Tidak ada pertumpahan darah. Puncaknya pada tahun 10 Hijriyah; ketika
Mekkah menjadi tonggak peradaban Islam. Haji Akbar dihelat dengan penuh suka
cita. Para cendekiawan Muslim menyebutnya Haji Wada’ — Haji
Perpisahan. Di Arafah, Nabi pun berkhutbah. Apa isi khutbah yang disampaikan
Nabi? Sama sekali tidak berkenaan dengan ritual peribadatan.
Nabi memulai khutbah itu dengan menekankan kewajiban menghormati darah
dan kehormatan seseorang. Kita banter menyebutnya HAM hari ini. Nabi juga
membicarakan keadilan, bahwa sistem ekonomi haruslah jauh dari ketidakadilan.
Khutbah yang agung itu juga tidak luput soal perempuan. Beliau menganjurkan
umat Muslim melindungi dan menunaikan hak-hak perempuan. Singkatnya, sabda beliau
kala itu menyoal: politik, ekonomi dan sosial. Sebuah potret Islam yang
tersulam rapat dengan prinsip yang kokoh, humanis dan egaliter.
Haji: Sebuah Perjalanan Sukarela Menuju Allah
Kota Mekkah dirujuk dalam Al-Quran sebagai ma’ad, tempat
untuk kembali (QS. 85: 25). Itu sebabnya haji tidak hanya soal menyelesaikan
Rukun Islam. Dalam sisi yang lebih dalam, haji oleh Jalaluddin Rakhmat adalah
‘sebuah perjalanan pulang’ — karena ketika tengah melaksanakannya, kita sedang
meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan tetangga untuk menuju Ma’ad.
Tidak ada yang tahu apakah kita dapat kembali. Kognisi kita melemah. Doa-doa
dibaca, harapan digantungkan. Rentetan ibadahnya dikerjakan sebaik mungkin.
Di Mekkah Al-Mukarramah, jutaan manusia memilih bertekuk dengan penuh
sukacita: memohon ampunan sebesar-besarnya atas apa yang telah lalu. Haji bagi
orang Islam merupakan perjumpaan kembali dengan akar-akar genealogis,
spiritual, dan religius. Sebuah perjalanan genealogis yang, meminjam Farid
Essack, akan menuntun para pelakunya kepada Adam dan Hawa yang pernah berdiam
di Bukit Arafah, sekeluarnya mereka dari Surga. Haji juga mengembalikan ingatan
kita tentang puncak ekstasis yang pernah diraih Nabi Muhammad Saw di Gua Hira.
Dan terakhir, Haji juga menggiring kita kepada akar-akar spiritual, karena
Ka’bah merupakan symbol kehadiran Allah.
Di Mekkah, seluruh perasaan para jemaah haji yang campur aduk itu
terkumpul menjadi satu: sukarela. Percaya atau tidak, hasrat yang telah menyatu
itu akan membuka pintu keikhlasan. Sebuah jalan yang berakhir dengan: hanya
Allah tempat kembali segala sesuatu — bahkan, ketika mereka ditakdirkan tidak
lagi kembali ke tanah pangkuan sanak-kerabat. Seperti itulah haji dalam
pengertiannya yang orisinil. Rangkaian ibadahnya merupakan sebuah geladi
resik: menjemput mati.
Sepanjang sejarah haji, bekal dan kenderaan tidak menjadi keharusan.
Ribuan jamaah haji dari Afrika, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya
justru berangkat ke Mekkah dengan berjalan kaki. Mereka seperti musafir:
transit dari satu tempat, ke tempat lainnya. Rambut mereka berdebu, pakaian
mereka lusuh. Tetapi, barangkali merekalah itu orang-orang yang sedang
mengimani sebuah hadist yang diseru oleh Tuhan pada hari Arafah: “Hamba-hamba-Ku
datang kepada-Ku dengan rambut kusut dan pakaian lusuh dari sudut-sudut negeri
yang jauh. Berangkatlah, wahai, hamba-hamba-Ku, dengan ampunan-Ku atasmu.”
Di Indonesia, banyak orang beruntung yang juga naik haji tanpa
mempersiapkan bekal. Ada yang beruntung karena ditunjuk oleh pemerintah untuk
menjadi anggota pembimbing; ada yang dipilih oleh perusahaan ONH-Plus untuk
menarik ‘konsumen’; ada yang menang perlombaan (MTQ); sampai-sampai ada yang
berhaji karena mereka adalah penyelenggara bisnis haji.
Apakah mereka adalah orang yang mampu? Tentu saja. Tetapi, mungkin hari
ini istilah ‘mampu’ perlu untuk di definisikan kembali — khususnya dalam hal
ibadah. Manakah yang mabrur dari mereka yang
mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau berkendara?
Yang mendapat ratusan juta dari pembebasan lahan atau yang menabung puluhan
tahun? Yang cepat tapi menipu atau yang lamban tapi jujur?
Sempurnanya haji tidak diukur dari cara memperoleh bekal. Tidak juga
dari tempat tinggal, bahkan, sebanyak apa uang yang dimiliki. Haji adalah soal
perjalanan ruhaniah yang membuka batok-batok kepala manusia dari segala macam
hal duniawi yang melembaga.Haji, adalah sebagaimana yang dituturkan penyair
Pakistan, Muhammad Iqbal:
“Pahatlah kembali bingkai lamamu dan bangunlah diri yang
baru — sebuah diri, yang benar-benar diri, tapi jika tidak, egomu hanya akan
menjadi lingkaran gelap asap.”
Itu sebabnya, Imam Ja’far As-shadiq menegaskan ukuran keberhasilan
seseorang yang mabrur dalam hajinya adalah ketika ia telah
berhasil meruntuhkan sifat hewaniah dan menerapkan sifat-sifat rabbaniyah dalam
hidupnya. Dan, tak ada satu pun yang berarti
ketika telah berhadap-hadapanlah tubuh kita dengan Kakbah dalam sebuah
kepasrahan total. Kebahagiaan mengepung kita dalam bait-bait kalimat: “aku
datang, aku datang, aku datang memenuhi panggilanmu, ya Allah”.
Tidak Sekadar Menyembelih!
Salah satu ibadah yang tak terpisahkan dari rangkaian ibadah Haji
adalah berqurban. Di Mina, pada hari penyembelihan kurban, turun ayat Bara’ah. Ayat
ini berisi dekrit pembebasan dari ketergantungan kepada kaum musyrik. Ali bin
Abi Thalib berdiri meyampaikan dekrit tersebut. Keseluruhannya berisi, antara
lain: 1) Orang musyrik tidak boleh mendekati Baitullah; 2) tidak boleh thawaf
sambil telanjang; 3) dan perjanjian harus dipenuhi. Ali juga membacakan
ayat Bara’ah:
“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada
umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin)
bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan
beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih.” (Qs. 9:3)
Sepeninggal Nabi, tradisi ini terus dipelihara oleh para sahabat.
Setiap musim haji, berbondong-bondong orang datang ke Mekkah untuk mengambil
haknya. Konon, dekrit ini juga disebut sebagai ikrar suci: proklamasi
kemerdekaan masyarakat Timur Tengah dari berbagai penindasan. Di antara salah
satu dari empat khalifah, Ustman bin Affan yang pernah menulis sebuah surat ke
seluruh penjuru wilayah Islam pada waktu itu. Ia menghimbau kepada siapapun
yang merasa telah diperbudak oleh para birokrat, agar dapat melaporkan
perlakuan tersebut kepadanya. Tulis Ustman, “datanglah saat musim haji, agar
aku engkau dapat mengambil hakmu dariku dan pejabat-pejabatku”
Para khalifah kala itu menyadari bahwa kurban tidak ‘sekedar’ menyembelih.
Lebih dari itu, ia memiliki definisi: membebaskan manusia dari berbagai
penindasan. Musim haji internasional digunakan sebagai ajang pertemuan umat
Islam dari seluruh penjuru dunia. Bila ada yang merasa tertindas; diperlakukan
semena-mena oleh para pejabat, maka pejabat tersebut akan diadili. Umat muslim
merasa aman. Hampir tidak ada pemimpin di suatu daerah yang seenaknya berbuat
tiran dan merobek entitas kemanusiaan.
Berbeda jauh dengan yang terjadi saat ini. Tradisi tersebut hilang tak
berbekas. Tahun-tahun saling melepas, namun rentetan konflik di jantung
peradaban Islam tidak pernah selesai. Hari ini,
tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah 1440H, puncak dari Ibadah Haji dan Qurban kita
tetap saja diiringi tangis Muslim Palestina, Rohingnya, Sudan, Yaman, dan
Suriah. Kita memperingati hari ini dengan “suka cita”, sedangkan umat Islam di
sana memperingatinya dengan “duka cita”. Mereka, percayalah, saat ini sedang
berlari ketakutan.
Para serdadu berwajah garang lengkap dengan senjata
laras panjang sedang mengejar dan berusaha mencari tempat-tempat mereka
bersembunyi. Sampai dengan saat ini, tak ada yang bisa memastikan berapa banyak
korban yang tertelan genosida. Namun semua tahu idak sedikit nyawa yang
berhamburan. Jalan-jalan diblokade tatkala mereka bersujud dan memohon untuk
melintas perbatasan. Hak mereka dikunci rapat-rapat. Untuk bernapas dengan lega
pun mereka harus berjuang setengah mati.
Barangkali inilah yang tersisa dari kurban kita: para petinggi negara
Islam bersolek kemegahan, berhambur kekayaan. Mereka juga tak lupa untuk terus
menegaskan: jamaah haji fokus saja ibadah, tak perlu mengurusi yang lain. Namun
anjuran ini juga tak seratus persen benar. Dahulu jemaah haji ketika berkumpul;
seringkali membicarakan situasi negaranya. Mereka amat kritis merespon
perubahan zaman. Itu sebabnya ketika kembali ke tempat asal, tidak jarang dari
mereka yang menjadi pejuang kemerdekaan, membela yang lemah, dan melawan rezim
yang diciptakan oleh pemimpin yang despotik.
Tentu saja pada ibadah Haji 1440H kali ini, kita mendapat kesempatan
lagi untuk berkaca: sejauh mana tradisi ibadah haji dan kurban dalam Islam
dimaknai sebagai ritual yang tidak bercerai dengan aspek sosial. “Kesalihan spiritual,”
sebagaimana ungkap A. Mustofa Bisri “harus berbanding lurus dengan kesalihan
sosial”. Qurban, sebagai rangkaian ibadahnya juga tidak sekadar menyembelih
hewan untuk memenuhi kewajiban. Lebih tinggi dari itu semua, qurban adalah rasa
syukur. Ungkapannya dijelaskan lewat berbagi, lewat jalan kemanusiaan.(*** )