![]() |
Mengenai persolan di Surabaya dan di Monokwari saat ini, tiba-tiba saya merindukan sahabat saya di Monokwari. Adalah Beatus Pigome, barangkali banyak teman-teman sosiologi UNG yang mengenal nama itu. Dia sahabat saya sewaktu menempuh pendidikan di Gorontalo. Pertemuan kami tahun 2012 barangkali belum terlalu akrab, tidak se akrab tahun 2014 saat kami intens berdiskusi soal rencana tugas ahirnya, bahkan beberapa kesempatan, dia sering “curhat” mengenai ketertarikannya untuk terlibat dalam organisasi mahasiswa.
Dia begitu terbuka, bahkan, tanpa
ditanya dia memberitahu soal aktifitas dia dan teman-temannya di asrama
mahasiswa Papua yang ditinggalinya. Dalam beberapa masalah saya sering bertanya
kepadanya_hingga saya berada di Yogyakarta komunikasi kami masih lancar, bahkan
saat pernikahannya dia masih sempat memberi kabar, katanya dia akan menikah.
Mendengar kabar itu saya turut senang dan memberinya selamat.
Namun demikian
komunikasi kami terhenti saat nomor hand phone-nya tidak bisa dihubungi. Ini
hanya pertemuan singkat, namun cukup berkesan bagi saya.
Ahirnya,
saya memberi penilaian. Bahwa tidak semua sudara-sudara kita di Papua tidak
se-agresif yang kita bayangkan selama ini.
Barangkali lewat cara itu
awal kita mengerti fakta pluralitas ini secara utuh, misalnya dengan mengerti
bahwa etnis atau suku yang ada, tidak hanya mendiami suatu wilayah tertentu,
akan tetapi tersebar ke beberapa tempat, dengan demikian kita bisa mencegah
konflik dan kekerasan yang bereskalasi. Kemudian melihat bagaimana sebuah
proses pembauran terjadi yang begitu kontekstual (seperti contoh Sahabat saya
tadi yang menempuh Pendidikan di Gorontalo) Sehingga dengan perlahan kata
pluralitas tersebut bukan hanya kata yang sering didengungkan di sana-sini.
Persoalan di atas itu
kemudian yang kiranya menjadi cermin utuh melihat bagian-bagian diri negara
ini. Beberapa konflik atau kerusuhan yang pernah terjadi adalah persoalan
etnisitas yang bereskalasi.
Membicarakan kerusuhan di
Monokwari hari ini berawal dari penangkapan mahasiswa di Surabaya sebelunya
pada tanggal 17 Agustus 2019 (baca Tempo, 18 Agustus). Adalah membicarakan dua
hal jika kita mau berbenah diri sebagai negara yang besar. Pertama, kita harus
belajar dari kerusuhan etnisitas yang bereskalasi yang pernah ada (kerusuhan
Sampit). Kedua, bagaimana pemolisian kerusuhan yang ada.
Kerusuhan bereskalasi ini
bisa terjadi kapan saja di negara ini, karena ada semacam kekuatan emosional
yang mengalir dan melintasi batas-batas wilayah, misalnya isu-isu SARA. Mari
kita melihat bagaimana kerusuhan di Sampit antara dua etnis, meluas ke
Palangkaraya bahkan ke seluruh Kalimantan Tengah. Yang disebabkan oleh masalah
pembacokan salah satu seorang etnis Dayak. (Baca Tirto). Barangkali ini adalah
contoh yang nyata bagaimana kekuatan emosional bekerja dan bagaimana kaitannya
dengan persoalan hari ini di Monokwari.
Peristiwa di Surabaya
tanggal 17 Agustus 2019 tersebut “tidak akan” pecah di Monokwari jika tidak ada
ketersinggungan etnis di dalamnya. “Penggrebekan” asrama mahasiswa Papua oleh
Polisi dan Satpol PP tersebut adalah cara yang agresif dan perlu diperbaharui
dalam penanganan masalah seperti ini.
Masalah
seperti ini, bukan kali pertama terjadi. Misalnya tanggal 2 Mei 2017 di
Yogyakarta, yang mestinya diperingati sebagai hari buruh, oleh sekelompok
teman-teman dari Papua digunakan untuk mengibarkan bendera “Bintang Kejora”
sambil menyanyikan yel-yel “pembebasan” di sepanjang jalan Kusumanegara.
Di tanah Istimewa ini,
saya melihat gerakan itu berahir ditanggal 2 mei dan tidak bereskalasi seperti
kejadian di Surabaya. Karena aparat keamanan merespon dengan cara yang berbeda,
pun demikian dengan masyarakat sekitar merespon aksi tersebut dengan cukup
terbuka. (mereka mengatakan tidak semua masyarakat atau mahasiswa yang berasal
dari Papua yang ingin pisah dari Indonesia).
Pemolisian kerusuhan.
Catatan mendasar sebelum masuk pada inti pembicaraan ini barangkali pada
penggunaan diksi “penggrebekan”. Kata tersebut akrab kita gunakan hampir tidak
tersadarkan bahwa kata ini mengandung unsur kekerasan. Karena kita gagal
menafsirkan kata tersebut, kita juga semacam memiliki otoritas dalam
menggunakan kekerasan lansung, dan, hal ini yang terjadi pada mahasiswa Papua
di Surabaya, dimana terjadi pemukulan oleh beberapa oknum kepolisian (baca
Tempo.co Agustus 2019).
Meminjam alat dari Rizal
Panggabean mengenai pemolisian ini adalah bagaimana cara melihat tiga aspek
yang saling keterkaitan yakni perilaku, sikap dan situasi. Membaca peristiwa
Surabaya ini diawali dengan informasi “kunjungan” beberapa oknum kepolisian di
asrama Papua dan membawa paksa (Mahasiswa) ke kantor Polisi.
Jika dibaca dengan baik,
sekilas ini adalah persoalan perilaku aparat keamanan dan mahasiswa Papua di
Surabaya yang mempengaruhi situasi di Monokwari yang menyebabkan ketegangan
serta kerusuhan. (kita bisa melihat contoh di Yogyakarta di atas). Dengan cara
itu juga kita bisa memahami dari sudut mana interfensi akan dilakukan oleh
pengambil kebijakan dan dari kita sebagai warga negara untuk bersikap.
Barangkali
harus ada formulasi yang dinamis dalam memfasilitasi polisi dalam pemolisian
kekerasan semacam ini, misalnya dengan pendekatan-pendekatan yang “situasional”
(negosiasi dan komunikasi yang baik). Karena persoalan ini akan terulang lagi
jika pihak ke amanan melulu menggunakan cara yang sama (militeristik) dalam
mengadapi persoalan-persoalan seperti ini.
Akhirnya.
Saya ingin mengirim surat kepada sahabat saya, Beatus Pigome.