![]() |
Ibu Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid - Foto Istimewah |
Oleh : Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia
– New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya
mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.
Pernyataan Ibu Negara, DR Hj
Sinta Nuriyah baru-baru ini mengundang sebagian netizen bereaksi keras. Beliau
mengatakan tidak ada kewajiban bagi Muslimah mengenakan jilbab. Bagaimana sih
duduk persoalannya?
Sebagian netizen sampai tega
mengucapkan kata-kata kasar kepada istri
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid.
Tampaknya sebagian pihak memang belum terbiasa berbeda pendapat dengan santun.
Lebih dalam lagi, sebagian kalangan belum terbiasa untuk belajar memahami
argumentasi pendapat yang berbeda. Pahami saja dulu alur argumentasinya, dan
kita toh tidak harus sepakat dengan kesimpulan akhirnya. Tetapi dengan berusaha
memahami minimal kita berbaik sangka dan tidak akan keluar caci-maki.
Aurat itu wajib ditutup. Yang
menjadi persoalan pokok adalah apa batasan aurat bagi perempuan itu? Apakah
rambut, leher dan telinga itu termasuk aurat yang wajib ditutup atau tidak?
Diskusinya bisa panjang, dan saya kira sudah banyak ulama dan cendekiawan yang
mendiskusikannya —saya tidak perlu mengulangi kajian itu.
Saya hendak menunjukkan cara
pandang sementara pihak yang boleh jadi berbeda dengan pandangan mayoritas
kita. Sekali lagi, tolong pahami saja dulu. Setelah itu silakan dibantah atau
disetujui dengan argumentatif dan santun. Bisa kan? Kalau gak bisa, lebih baik
anda tidak usah meneruskan membaca tulisan ini. Saya khawtair darah tinggi anda
naik, dan kena stroke nanti (semoga tidak demikian yah).
Dalam petikan QS an-Nur ayat 31
berbunyi: “janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya”
Para ulama berdebat apakah
perhiasan yang dimaksud dalam ayat di atas. Apakah yang dimaksud ini adalah
tubuh perempuan, atau asesoris seperti make up dan perhiasan beneran.
Kita fokus pada frase “illa ma zhahara
minha” yang diterjemahkan oleh Kemenag RI dengan “kecuali yang (biasa) tampak
darinya.”
Nah para ulama juga berbeda
pandangan mengenai frase ini. Jadi dalam satu cara pandang, petikan ayat ini
bermakna: jangan tampakkan tubuh kalian, kecuali apa yang biasa kelihatan. Lalu
apa yang biasa kelihatan itu?
Para ulama ada yang berpendapat
bahwa yang biasa kelihatan itu: pakaiannya. Artinya, menurut Ibnu Mas’ud semua
tubuh wanita memang harus ditutup tidak boleh diperlihatkan kecuali pakaian
luarnya yang memang bisa dilihat orang lain. Makanya kita mengerti —meski tidak
harus setuju— bahwa ada perempuan yang rapat menutup seluruh tubuhnya dari atas
sampai ke bawah.
Ada lagi yang berpendapat bahwa
yang biasa kelihatan itu maksudnya cincin dan gelang. Ada lagi yang bilang itu
maksudnya celak mata (eye liner), pewarna pipi, atau hena/inai/pacar di tangan
dan kaki.
Artinya, kalau ada yang pakai
jilbab terus dia memakai perhiasan atau make up di atas maka dibenarkan oleh
sebagian ulama. Jadi, gak usah buru-buru diceramahi yaaah.
Menarik bagi kita untuk
menyingkap pendapat Imam al-Qaffal yang dikutip dalam Tafsir ar-Razi:
فقال القفال معنى الآية إلا ما يظهره الإنسان في العادة الجارية، وذلك في النساء الوجه والكفان،
Beliau berpendapat bahwa makna
ayat “kecuali yang biasa tampak” itu adalah sesuai dengan adat kebiasaan
manusia. Nah, untuk kontek jaman dulu bisa dipahami bagi perempuan yang biasa
kelihatan secara adat setempat adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Zamakhsyari dalam kitabnya Tafsir
al-Kassyaf juga menyebut alasan adat atau tradisi untuk mengecualikan perintah
dalam petikan ayat di atas.
وهذا معنى قوله { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } يعني إلاّ ما جرت العادة والجبلة على ظهوره والأصل فيه الظهور، وإنما سومح في الزينة الخفية، أولئك المذكورون لما كانوا مختصين به من الحاجة المضطرة إلى مداخلتهم ومخالطتهم، ولقلة توقع الفتنة من جهاتهم، ولما في الطباع من النفرة عن مماسة القرائب، وتحتاج المرأة إلى صحبتهم في الأسفار للنزول والركوب وغير ذلك.
Yang dimaksud dengan pengecualian
berdasarkan adat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan (hajat), kalau tidak
terbuka, akan ada kesulitan dalam interaksi seperti dalam perjalanan saat harus
naik turun kendaraan.
Imam al-Qasimi dalam kitab
tafsirnya, dan begitu juga Tafsir al-Bahrul Muhith juga mengutip penjelasan
soal adat ini dari Tafsir al-Kassyaf. Dijelaskan pula kebutuhan seperti saat
jual beli, pernikahan, atau kesaksian di mahkamah. Itu semua secara adat dan
hajat akan menyulitkan jikalau semua tubuh perempuan ditutup tanpa
pengecualian.
Penjelasan dari Imam al-Qaffal
dan ketiga kitab tafsir lainnya ini menarik sekali karena mengaitkan pemahaman
ayat dengan tradisi dan juga kebutuhan. Nah, soal adat dan hajat ini bisakah
kemudian menjadi celah untuk memahami ayat di atas dalam konteks relasi,
profesi maupun interaksi di jaman modern ini?
Bagi yang mengatakan tidak bisa,
maka diskusi selesai. Artinya, hanya wajah dan kedua pergelangan tangan yang
boleh dikecualikan untuk tidak ditutup, sesuai pendapat jumhur ulama.
Tafsir al-Munir oleh Syekh Wahbah
az-Zuhaili memberi informasi menarik
وبناء عليه قال الحنفية والمالكية، والشافعي في قول له: إن الوجه والكفين ليسا بعورة، فيكون المراد بقوله: ما ظَهَرَ مِنْها ما جرت العادة بظهوره.
وروي عن أبي حنيفة رضي الله عنه: أن القدمين ليستا من العورة أيضا لأن الحرج في سترهما أشد منه في ستر الكفين، لا سيما أهل الريف. وعن أبي يوسف: أن الذراعين ليستا بعورة، لما في سترهما من الحرج.
Ketiga mazhab (Hanafi, Maliki dan
Imam Syafi’i dalam satu qaul) mengatakan wajah dan telapak tangan bukan
termasuk aurat (artinya boleh dibuka sesuai dengan frase illa ma zhahara minha.
Yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak itu adalah apa yang sudah biasa
secara tradisi (adat) untuk kelihatan. Itu sebabnya diriwayatkan dari Imam Abu
Hanifah bahwa telapak kaki itu juga bukan termasuk aurat.
Lho kenapa? Itu karena kesulitan
yang timbul dari menutup kedua telapak kaki itu lebih berat ketimbang menutup
kedua telapak tangan, khususnya untuk mereka yang di pedesaan. Imam Abu Hanifah
tinggal di Kufah, dimana perempuan biasa bekerja. Ini berbeda dengan situasi di
kota lain saat itu. Maka adat dan hajat bergeser dan berbeda dari satu kota ke
kota lainnya.
Bahkan Imam Abu Yusuf, seorang
murid senior Imam Abu Hanifah dan Ketua Mahkamah Agung di masa Khalifah Harun
ar-Rasyid, berpendapat lebih jauh lagi, yaitu lengan perempuan pun bukan termasuk
aurat karena menutupinya akan menimbulkan kesulitan (haraj). Tambahan, dalam
kitab Syarh Fathul Qadir, disebutkan juga bahwa Imam Abu Yusuf mentolerir untuk
membuka separuh dari betis.
Jadi kalau anda melihat perempuan
pakai jilbab tapi tangannya kelihatan atau separuh betisnya juga kelihatan,
jangan buru-buru dimarahin yaaah. Boleh jadi mereka pakai pendapat Imam Abu
Yusuf.
Kita telah melihat bagaimana para
ulama mencoba memahami ayat di atas dengan pendekatan adat dan hajat. Bisakah
pendekatan ini juga dipakai untik konteks Indonesia, Australia, atau negara
lain yang berbeda dengan konteks saat ayat ini turun, sehingga yang
dikecualikan untuk terbuka bukan hanya lengan, separuh betis dan tapak kaki,
tapi juga rambut, leher dan telinga?
Sekali lagi, kalau anda bilang tidak bisa, maka diskusi sudah selesai sampai di sini. Tapi kalau anda masih hendak meneruskan diskusinya, maka apa yang disampaikan para ulama di atas, dan juga apa yang sudah disampaikan oleh Ibu Sinta Nuriyah baru-baru ini bisa menjadi bahan untuk diskusi lebih lanjut. Menarik bukan kalau kita bisa diskusi tanpa emosi?
Wa Allahu a’lam bish-Shawab
Tabik,