Foto : Diskusi usai pemutaran Film 'The Bajau' di Aula UNU Gorontalo, Sabtu (18/01/2020) |
NUlondo.online, Kota Gorontalo - Lakpesdam NU dan Komunitas GUSDURian Gorontalo mengadakan
pemutaran Film ‘The Bajao’ produksi WatcDoc Documentary. Film berdurasi 80
menit ini diprakarsai wartawan senior, Dhandy Dwi Lacksono mengisahkan kehidupan suku bajau (bajo)
yang punya kearifan tradisi dan polemik kehidupan yang tengah mereka alami.
Selain nonton bareng dan diskusi, penyelenggara membuka penggalangan dana untuk
masayarkat bajau yang diangkat dalam Film tersebut bertempat di Aula Kampus
Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo, Sabtu (I8/0I/2020)
Arif Abbas selaku moderator diskusi mengambarkan kembali kehidupan
suku nomaden, pengembara laut yang banyak tersebar di perairan Indonesia,
Filipina dan Malaysia. “Namun saat ini mereka mengalami berbagai problem. Ada
masalah separasi yang terjadi. Dalam
isu-isu ekologis, yang terjadi adalah separasi
antara manusia dengan lingkungan tempat ia tinggal, “ paparnya.
Djufryhard, selaku pembina GUSDURian Gorontalo menceritakan
pengalamannya berinteraksi langsung dengan beberapa suku bajau yang mendiami
pulau Sulawesi, seperti wilayah Togean di Sulawesi Tengah, Marombo - Sulawesi
Tenggara, Naing Siladeng- Sulawesi Utara
dan Torosiaje -Gorontalo.
Membaca kehidupan serta kebudayaan suku bajau sangatlah unik.
Mislanya kata Djufry, merka memiliki kemampuan membaca tanda-tanda alam. “Ketika
terjadi gempa bumi dan tsunami melanda Sulawesi Utara sekitar tahun 2015, suku
bajau yang ada di Naing Siladeng telah lebih dulu mengungsi sebelum warning
tsunami diumumkan BMKG,” katanya
Selain itu kata Djufry, kearifan mengelola lingkungan
sekitar masih terus dipertahankan oleh mereka hingga saat ini. Karena pada
dasarnya, suku bajau bukanlah masyarakat yang konsumtif dan hal itu terekam dalam
film.
Tekanan kehidupan terus saja dialami suku bajau. Hal itu
bukan terjadi dari dalam, melainkan dari luar, yakni melalui kebijakan pemerintah.
Saat mereka mengalami peradaban darat yang digulirkan melalui kebijakan
pemerintah, mereka dipaksa bermukim di darat, sebagaimana dialami suku
bajau-Torosiaje-Gorontalo.
Sejak proyek peradaban darat muncul, sejak itulah mereka
mengalami pergerseran kehidupan, dari laut ke darat. Dan hal itupun dialami suku bajau di
Torosiaje. Cara padang pemerintah menganggap bahwa hidup di laut tidak baik
adalah sebuah cara padang yang kurang tepat.
“Saya bingung dengan cara pandang pemerintah yang sangat
angraris, padahal lupa bahwa negara kita adalah negara kepulauan,” papar Djufry
pada akhir diskusinya.
Disisi lain, Cristopel
Paino pemantik kedua pada diskusi memaparkan, bahwa film ini sengaja mengangkat
kehidupan suku bajau di dua lokasi yang berbeda, yakni Morombo-Sulawesi
Tenggara dan Torosiaje - Gorontalo. Menurutnya, suku bajau di dua lokasi
tersebut masih mempertahankan tradisi yang telah turun temurun. Selain itu, film ini juga mengambarkan pergeseran
kehidupan bajau semenjak 13 tahun silam pasca dimukimkan dan dipaksa menjalani
peradaban darat.
“Awalnya juga film ini mengisahkan tentang bajau palau yang
ditolak keberadaanya oleh 3 negara, termasuk Indonesia. Padahal, suku bajau turut
membangun peradaban maritim Indonesia.
Namun oleh negara mereka di daratkan dan
tidak diakui,” paparnya
Dengan kearifan lokal, suku bajau Torosiaje-Gorontalo masih
menjaga kelestarian pesisir dan laut. Sebagaimana yang diungkap Cristopel di tengah
pemaparan diskusi, bahwa dalam penelitian Profesor Ramli Utina dari Universitas
Negeri Gorontalo mengungkapkan, bajau punya kecerdasan ekologis. Mereka masih
setia menjaga lingkungan sekitarnya. Tidak menebang pohon magrov sebagai tempat
bertelur ikan, atau ketika melaut, mereka tidak sembarang membuang air cucian
beras dan ampas kopi yang dapat merusak ekosistim bawah laut.
“Bagi suku bajau, ketika dua hal itu dilakukan, maka akan
terjadi bencana. Hal itu bisa dibuktikan secara sains, bahwa air cucian beras
dan kopi dapat merusakan terumbu karang. Namun, kecerdasan ekologis semacam ini tak
lagi dimiliki oleh sebagaian suku bajau saat ini,” kata jurnalis mengambay.com.
Kehidupan pelik yang dihadapi suku bajau juga disampaikan
Wahiyudin Mamonto dalam diskusi. Menurut Ketua Lakpesdam PCNU Kota Gorontalo ini,
bahwa masalah yang dihadapi soal identitas kependudukan. Ada banyak dari
mereka tidak memiliki kartu tanda
penduduk (KTP) dan buku nikah. Ketika
proyek peradaban darat tengah diprogramkan pemerintah saat itu, mestinya
dapat memperjelas status mereka.
“Mestinya pemerintah saat itu bisa melakukan pelayanan
sistim jemput bola. Memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengurus administrasi
kependudukan. Sementara disisi lain, ada banyak juga lahan milik mereka tidak
tersetifikasi, bahkan dipersulit dalam pengurusan. Mereka (Bajau) hanya
dianggap penting ketika hajatan politik berlangsung”, papar Asisten Ombudsman
RI Perwakilan Gorontalo.
Sementara Dhandy Dwi Lacksono, saat sesi diskusi usai
pemutaran film di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Sabtu (II/0I/2020) berharap
melalui film tersebut bisa menjadi alert sistym bagi semua warga yang terdampak
peradaban di seluruh Indonesia.
“Kita baru menghargai alam kita setelah kehilangan. Jangan sampai
terlambat menyadarinya, harapnya.
Djemi Radji