Oleh : Arief
Abbas
Mahasiswa Pasca Sarjana CRCS UGM
Pengurus LAKPESDAM PCNU Kota
Gorontalo
Apa yang bisa kita
dikte dengan menjadikan industrialisasi sebagai karakteristik dunia ‘modern’?
Apakah dengan melegalkan mesin-mesin besar yang membabat jutaan tajuk pohon,
menggantinya dengan sawit; mencemari lautan, menghilangkan ciutan bajing dan
punai, bom laut, bisa dikatakan sebagai modernisme? Apapun soal modernisme,
barangkali benar, tidak lain hanyalah kehancuran.
Modernisme bukanlah
sebuah perpindahan, melainkan separasi: Ada lahan yang dikorbankan, ada
manusia-manusia yang dipisahkan dari dunianya. Salah satunya, The Bajau, sebuah
komunitas masyarakat diaspora yang tersebar di Indonesia. Mereka pernah
menganggap laut sebagai tanah. Menganggap air sebagai rumah, dan ikan-ikan
sebagai kawan, hilang ketika industrialisasi menyapa.
Bagi Bajau, lautan
adalah segalanya. Lautan menjadi denyut nadi mereka. Hingga ketika mereka
ditanya soal Bajau tentang batas wilayah, jawaban mereka begitu sederhana namun
menohok: “lahan, bagi kita orang-orang Bajau, itu sejauh mata memandang.”
Artinya, di manapun ada laut itulah lahan bagi orang-orang Bajau.
Tapi apakah
kemilau-kemilau yang didaraskan oleh Bajau terhadap lingkungan mereka itu
berharga di mata para korporat? Sayangnya, tidak. Bagi korporat, modernitas
adalah horizon yang pasti. Dengan modernitas, surplus ekonomi meroket, artinya,
negara menjadi kaya meski harus menghancurkan horizon dan kearifan orang-orang
laut.
Lantas, siapa yang
mesti kita sapu dengan badai?
Narasi ini
disampaikan pada akhir diskusi Film 'The Bajau' bertempat di Aula kampus UNU
Gorontalo, Sabtu (18/01/2020)