Persimpangan PMII Kota Gorontalo




Penulis : Apriyanto Rajak

“Ada tiga hal yang harus dikembalikan oleh PMII Kota Gorontalo saat ini: merawat kaderisasi, memperkuat advokasi dan melahirkan wacana.”

Kutipan itu diucapkan oleh sahabat Muchlis Huntua, saat memberi sambutan dalam acara silaturahmi Pengurus Cabang PMII Kota Gorontalo dan Mabincab, pada 2 Maret 2020. Sepertinya mantan ketua cabang itu ingin mengajari agar PMII harus lebih serius dalam menggarap tiga hal di atas.

Memang harus diakui, PMII di Kota Gorontalo, sedang dalam keadaan mundur dalam menyikapi peran yang seharusnya menjadi prioritas. Alih-alih ingin merespon isu yang berkembang dalam realitas, justru PMII menghabiskan energi untuk meredam bias pemahaman dalam internalnya sendiri.

Meskipun merupakan cabang tertua, yang kurang lebih sudah berdiri 20 tahun di Gorontalo, faktanya hingga saat ini kader-kader yang bergelut di dalamnya belum mampu dewasa menyikapi dinamika PMII. Kata “dinamika” sendiri kerap digunakan dalam organisasi; sebagai sebuah tantangan yang harus dikelola dengan bijaksana, sehingga belajar dari dinamika itu organisasi akan lebih progresif ke depan.

Tetapi apa betul PMII Kota Gorontalo bijaksana dalam mengelola dinamika? Saya akan mengambil konteks perjalanan PMII disaat saya terlibat dan menjadi pengurus cabang masa khidmat 2017-2018; di mana saya menjadi saksi PMII terbelah menjadi dua kepengurusan. Setelah itu melebur lagi di zaman Ilyas Antu, seorang ketua yang berasal dari Kabupaten Boalemo.

Problemnya mungkin sulit diurai. Multi kepentingan bukan menjadi tema baru yang kerap didiskusikan di emperan kampus dan warung kopi; mulai dari siapa yang di belakang ini dan seterusnya. Zaman kepengurusan Ilyas Antu merupakan fase yang bisa dibilang ‘tenang-tenang’: tak ada gesekan yang cukup menyita energi. Namun seusai itu, keadaan organisasi kembali membuncah: perdebatan kali ini adalah siapa yang paling benar menafsirkan produk hukum PMII. Dua kepengurusan menjadi ujung pembelaan terhadap argumentasi masing-masing.

Kini, terlalu banyak perhatian yang dipusatkan untuk soal bagaimana menerapkan produk hukum PMII yang benar, sementara di dalam setiap kepengurusan selalu menyediakan lubang yang mengagah sehingga melahirkan dinamika yang kontra-produktif; lalu kemudian sebutan ‘dinamika’ itu dilindungi oleh argumentasi bahwa ini adalah proses kedewasaan bergorganisi. Harusnya dengan usia lebih dari 20 tahun tersebut tidak lagi berdebat pada soalan begitu.

Kita harus kembali dalam kutipan di paragraf awal: bahwa PMII harus menjaga gawang kaderisasi, menghidupkan advokasi untuk membela kepentingan rakyat kecil, lalu harus berani melakukan perang wacana sebagai upaya merespon setiap isu yang berkembang. Saya masih tetap meyakini PMII Kota Gorontalo bisa melakukan itu, dengan mengambil spirit yang pernah dilakukan kepengurusan senior terdahulu.

Kemungkinan besar hari ini PMII belum bisa menentukan posisi dalam meneguhkan cita-citanya, karena terlalu sibuk mengurus problem internal, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan tidak mengedapankan ego dan hasrat kekuasaan; apalagi jika itu cenderung dipaksakan.

Salam Pergerakan!


Lebih baru Lebih lama