![]() |
Rasyid Yunus (Foto Istimewa) |
Oleh
: Rasid Yunus
Tulisan singkat ini dipersembahkan sebagai
refleksi kelahiran Pancasila 1 Juni. Memuat sejarah singkat, tokoh sentral dibalik
kelahiran pancasila, nilai dan kondisi ber-pancasila saat ini. Selanjutnya,
selamat membaca.
Tepat 75 tahun yang lalu, seorang
pemuda berpidato tanpa teks di depan sidang BPUPKI. Sidang itu membahas dasar
negara Indonesia yang sedang mempersiapkan kemerdekaan.
1 Juni 1945 Soekarno kala itu memasuki
usia 44 tahun, menyampaikan konsep dasar negara, yang secara kontekstual masih
relevan dengan kondisi kekinian. Dasar negara yang disampaikan oleh seorang
pemuda pemberani ini adalah pancasila.
Pancasila berisi kebangsaan Indonesia,
internasionalisasi atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan
sosial serta ketuhanan Yang Maha Esa. Lima poin ini disampaikan Soekarno dan
mendapat persetujuan anggota BPUPKI pun anggota PPKI. Walaupun poin ini diperas
menjadi tiga dan satu, karena melewati perenungan dan kajian mendalam, maka
dikembalikan lagi ke-lima.
Tidak habis di situ, lima poin
tersebut dibahas lagi oleh panitia sembilan sehingga melahirkan Piagam Jakarta (Sila
pertama 7 kata), tetapi atas dasar persatuan Indonesia, maka kesepakatan Piagam Jakarta (khusus 7 kata
sila pertama) dianulir dan digantikan sila pertama pancasila sebagaimana saat
ini.
Sebagai apresiasi atau semacam
memperingati, tidaklah mengherankan setiap hari senin atau hari-hari besar nasional,
teks pancasila dibacakan pada setiap upacara. Biasanya yang mengambil peran ini
adalah satuan pendidikan tertentu.
Tetapi, tidak sedikit pula lembaga
pemerintah maupun non pemerintah mengadakan upacara, dan membacakan teks
pancasila pada setiap upacara tersebut. Seolah ini menjadi rutinitas untuk menjalankan
pancasila.
Beberapa acara TV berkonten hiburan, hafalan
pancasila sering disuguhkan. Pemilihan putri Indonesia salah satunya. Ada salah
satu finalis ketika ditanya oleh juri tidak hafal sila pancasila secara baik.
Juga calon kepala daerah maupun kepala daerah, ada pula yang tak hafal sila
pancasila.
Beginilah potret memperingati
pancasila pada generasi kekinian. Yang menjadi soal, apakah dengan upacara
(membaca teks pancasila), show-hafalan
pancasila, menjadikan masyarakat paham secara fundamental? Akankah cara ini dapat
mengeksplor nilai historis, yuridis-konstitusional dan realitas-aplikatif yang menjadi titik esensial pancasila?
Dalam pancasila terdapat dua hal.
Pertama pancasila dimaknai sebagai ideologi atau cita-cita bangsa Indonesia dan
kedua sebagai falsafah atau nilainya digali dari sejarah panjang nenek moyang
bangsa Indonesia (Kaelan, 2013). Cita, nilai dan tokoh peletak pancasila, tersaji
berikut ini:
Mpu Prapanca yang hidup di era Raja
Hayam Wuruk Majapahit, pada tahun 1365 M
menulis Kakawin Nagarakretagama. Pada Kakawin ini ditemukan istilah
pancasila dengan lima larangan (dilarang kekerasan, mencuri, dengki, berbohong
dan mabuk karena miras).
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma.
Salah satu bait dari Kakawin ini diambil menjadi motto atau semboyan RI “Bhineka Tungggal Ika”. Mpu Tantular
hidup pada abad ke-14 M, dan seorang pujangga ternama. Ia pun hidup di era
pemerintahan raja Hayam Wuruk Majapahit.
Soekarno
ketika diasingkan ke Ende (Flores) Nusa Tenggara Timur kurang lebih lima tahun.
Pada Jum’at malam sering duduk di bawah pohon sukun, kemudian merenung dan
berimajinasi tentang dasar negara Indonesia kelak merdeka. Hasil imajinasi dan
perenungan mendalam tersebut melahirkan sila dan nilai pancasila.
Sultan Hamid II atau Syarif Abdul
Hamid Alkadrie pada tahun 1950 merancang lambang negara “Burung Garuda”. Pada lambang tersebut khusus perisainya berwarnah
kuning keemasan yang berarti kejayaan kerajaan-kerajaan di tanah air kala itu
(semisal Sriwijaya dan Majapahit) yang dikenal sebagai kerajaan ekspansionis.
Suguhan di atas bukan sekedar pelengkap
paragraf. Tetapi mengandung makna yang mendalam. Pancasila tidak lahir begitu
saja. Pancasila hadir sebagai etalase, perjumpaan cerita kebudayaan dan sejarah
produktif bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Notonagoro menyebut bahwa pancasila secara “Kausa Materialis” merupakan kesatuan
unsur yang digali dari nilai kebudayaan, adat-istiadat dan nilai religiusitas bangsa
Indonesia (Notonagoro, 1975).
Diskursus sosok centrum perancang
pancasila menjadi hal yang menarik. Jika menelusuri sumber objektif, maka tidaklah
berlebihan menaruh perhatian kepada Soekarno. Kendati di era Orde Baru ada
klaim lain, bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya tokoh penggali pancasila.
Dibalik klaim ini adalah Nugroho Notosutanto dikenal dekat dan dibesarkan oleh rezim
Orde Baru.
Tetapi, memperhatikan penyampaian
Notonagoro pada tahun 1951 saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa bidang
ilmu hukum kepada Soekarno di UGM, Notonagoro menyebut “andalah (Soekarno)
penggali/penemu pancasila”. Pun bantahan A.B Kusuma disertai dalil-Nya terhadap pernyataan Nugroho Notosutanto mengenai tokoh penggali
pancasila. Tampaknya, A.B Kusuma setuju bahwa Soekarnolah tokoh centrum dibalik
lahirnya pancasila (S. Soetrisno, 2006).
Ber-Pancasila tidaklah cukup melalui
hafalan, diskursus a-historis, pajangan
semacam pernak pernik di lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Membuat maskot
lambang negara maupun kegiatan ceremony
lainnya.
Bukan pula hanya pengakuan tanpa
terukur “saya kita kami pancasila”. Pelabelan nama (gedung dan kampung
pancasila). Memberi prestise terhadap lembaga negara dan organisasi non
pemerintah dengan predikat pengawal pancasila, serta berbagai sebutan utopia-puitis lainnya. Itu tidaklah
cukup.
Ber-Pancasila berarti konsisten
terhadap jati diri, kebudayaan bangsa, kebaikan di semua level poros kenyataan
kehidupan. Secara sederhana pancasila sebagai payung aktifitas pada IPOLEKSOSBUDHANKAM,
yang aplikasinya pada praktek kenegaraan.
Ber-Pancasila berarti teguh menjalankan
sila, nilai dan butir (aplikatif) pancasila. Memperkuat identitas diri,
memiliki visi individual-kemasyarakatan-kenegaraan yang memadai dengan
tantangan zamannya.
Pendeknya, Ber-Pancasila tidak cukup
dengan suguhan formalitas lalu abai terhadap substansi. Boleh jadi kita bangga
terhadap formalitas itu. Tetapi, sesungguhnya
hal itu mereduksi substansi pancasila.
Keringnya akan esensi-substansial pancasila, berarti ingkar terhadap nilai
religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang merupakan kristalisasi
dari kondisi objektif sosio-antropologis bangsa Indonesia.
Selamat memperingati hari lahir
Pancasila 1 Juni 2020 ditengah pandemi Covid-19. Jayalah bangsaku. Semoga bermanfaat.
Penulis
: Alumni PMII
Kota Gorontalo, Alumni FKMM Gorontalo
dan Pengajar
pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo