Catatan Redaksi: Lebaran, Hari Kemenangan untuk Siapa?

Foto ilustrasi

Lebaran Idul Fitri 1441 H kali ini nuansa-nya berbeda. Di tengah Pandemi Covid-19,  Hari besar umat Islam yang biasa dirayakan dengan ramai di berbagai tempat, kini semua nya menjadi berbeda. Mulai dari larangan bermudik, mengumandangkan takbiran dan salat ied  #DirumahSaja, bahkan hingga silaturahim diminta agar dilaksanakan secara Daring (online) di rumah masing-masing.

Kondisi ini yang bagi saya dan mungkin bagi sebagian umat Islam juga merasakannya; agak janggal memang bahkan diluar kebiasaan normal. 

Selain nuansa perbedaan yg muncul, juga ada tantangan bagi setiap individu muslim, seperti tantangan menjadi Imam Sholat Tarawih, hingga Imam Sholat Idul Fitri. Disinilah menurut saya, kapabilitas muslim sedang diuji. 

Hari Kemenangan yang Substansial

Hari raya idul Fitri telah datang dan pergi meninggalkan kita. Setelah satu bulan berpuasa, umat Muslim  merayakan haru-biru kemenangan. Istilah Kemenangan sejalan dengan pernyataan KH. Bahaudin Nursalim atau yang kita kenal dengan sebutan Gus Baha. Istilah Menang menurut Gus Baha Menang karena telah berperang selama Ramadhan, melawan dan menahan hawa nafsu. Selain itu juga umat Islam akan menang secara paripurna setelah merayakan Idul Fitri. Amaliahnya sama dengan orang yg berperang Badar. 

Lalu, bagaimana dengan Perayaan Idul Fitri yang berbeda sekarang ini? Apakah masih ada Hari Kemenangan bagi kita?  Bagi masyarakat muslim jangan khawatir. Amalan kebaikan itu masih bisa dilakukan walau  tradisi perayaan Idul Fitri berbeda.
  
Agama tidak hanya didasarkan atas tradisi secara tekstual, tetapi perlu juga menggunakan nalar/akal sehat untuk mempertimbangkan kondisi-kondisi (waqi') faktual, sehingga tradisi Idul Fitri tetap dilaksanakan dengan khidmat. 

Sejalan dengan ungkapan "Addinu huwa al-aqlu, la dina Liman la Aqla lahu". Artinya Agama itu menggunakan Akal, tidak agama bagi orang yang tidak menggunakan Akal. Ini penting dipahami oleh kita dan lain, agar bisa mengartikulasikan hakikat agama dan mengkontekstualisasikannya dalam ber-idul Fitri secara substansial. 

Perayaan Idul Fitri atau hari Kemenangan bagi kita semua umat Islam merupakan tradisi lokal yg sudah lama hidup dan menjadi rutinitas tahunan. Rutinitas tradisi tahunan ini akan menjadi rutinitas-formil, jika kita masih merayakannya tanpa memahami nilai, makna (substansi) nya. Apalagi di tengah kondisi wabah ini, tradisi-tradisi lokal dalam ber-idul Fitri: silaturahim, sungkeman dengan orangtua, ziarah, dan lain sebagainya.

Itu semua akan terasa hambar jika kita meyakini nya secara tekstual. Maksudnya hanya sebatas rutinitas-formil semata. Ditambah lagi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di pelbagai daerah, masyarakat diminta untuk bersilaturahim via online, tidak mudik dan lain-lain. Ini tentu membuat masyarakat meyakini kurang Afdhal jika lebaran tidak sungkem, berjabat tangan dengan keluarga atau orangtua di Kampung. Apakah iya dengan tidak lagi ada rutinitas ber-idul Fitri secara nyata bukan online, mengurangi Hakikat atau nilai Hari Kemenangan? 

Hari Kemenangan, untuk Siapa?

Situasi mutakhir kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan masyarakat di Indonesia tengah memperlihatkan aroma-aroma psikologis yang menyimpan rasa gelisah, khawatir, dan cemas  menghadapi situasi Covid-19 yang menyerang belahan dunia. Realitas-realitas yang berbeda saat beribadah, berpuasa, dan ber-idul fitri, menambah kecemasan dalam mengartikulasikan makna Hari Kemenangan. Untuk siapa? 

Dalam Islam, ada Hadis "Addinu Annasihat" Artinya agama adalah Nasihat. Lalu, Untuk siapa? Imam Nawawi dalam kitab "Arba'in an-Nawawi" menjelaskan ada beberapa Nasihat-nasihat dalam agama: Nasihat untuk Allah SWT., untuk Kitabullah, untuk Rasulullah SAW., untuk para Pemimpin, dan  terakhir nasehat untuk kaum Muslimin.

Pertama, Makna Nasehat kepada Allah ialah dengan menjalankan perintah-perintah Nya dan menjauhi LaranganNya dengan seluruh anggota badan (jasad) selagi mampu melakukannya ("Ittaqullaha Mastatho'tum"). Jadi dalam kondisi tertentu, terkadang seorang Hamba dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tapi tidak dibolehkan meninggalkan Nasehat untuk Allah.  Artinya apabila ia tidak mampu melakukan kewajiban karena alasan tertentu seperti sakit, ada halangan atau terhalang sebab-sebab lainnya, Maka cukuplah dengan hatinya dan akal sehatnya.  

Kedua, secara rinci nasihat untuk Kitabullah dilakukan melalui beberapa hal berikut; membaca, memahami, dan menghafal al-Quran, mentadabburi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, mengajarkan al-Quran kepada sejawat muslim dan berperan dalam menjaga Al-Qur'an.  Dalam konteks hari Kemenangan,  Orang yang menang mereka yang melakukan "Nasehat untuk Kitabullah". 

Ketiga dalam memaknai Nasihat untuk Rasulullah bahwa Orang yang menang, adalah orang yang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang rugi, adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. 

Keempat, Nasihat untuk Pemimpin. Makna nasihat untuk pemimpin ialah dengan mencintai kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Karena, melalui kepemimpinannya-lah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Dalam konteks ini, orang yang menang adalah para pemimpin yang berhasil menata relasi antar manusia dengan keadilannya, bukan hanya  individunya.

Kelima, Nasihat untuk kaum Muslimin. Makna nasihat untuk kaum Muslimin ialah dengan ta'awun dalam kebaikan, mencegah kemungkaran (nahi-mungkar), membimbing mereka, mencintai mereka dengan kebaikan, memanusiakan manusia, tidak hanya untuk dirinya sendiri, juga untuk liyan.  Dalam konteks ini orang yang menang adalah orang yang memberikan nasihat untuk kaum muslimin. 

Dari penjelasan tersebut, singkatnya makna "Addinu-an Nasihat", jika kita kontekstualisasikan pada hari kemenangan Idul Fitri, tentu akan menambah wisdom (hikmah). 
Dalam istilah al-Quran disebut "untuk menguji kalian terhadap apa-apa yang telah didatangkan kepada kalian dan menguji kalian siapakah yang paling baik amalnya". Sehingga final-nya, orang yang menang orang yang selalu menanamkan kebaikan. Karena kebaikan yang terhalang oleh sesuatu (misal situasi wabah covid-19), itu tidak akan menjadikan hilangnya suatu nilai pahala dari kebaikan tersebut. Semoga ditempanya kita oleh wabah covid-19,  menjadikan kita pribadi yang tangguh dan welas asih.  

Redaksi,
Nursodik El Hadee
Penggerak GUSDURian Gorontalo dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Lebih baru Lebih lama