![]() |
Ramli Ondang Djau (Foto: Istimewa) |
Sebenarnya agak menggelitik ketika membaca tulisan sahabat Romo Samsi Pomalingo dengan judul; KESALEHAN YANG “DIPERTONTONKAN”. Dari judulnya, asumsi awal kita (pembaca) adalah tulisan ini hendak menyoal perilaku pamer (riya) beribadah, ataupun soal kenikmatan yang “diperlihatkan” ke hadapan orang tentang cara kita menjamah pahala Tuhan. Tulisan Romo Samsi memancing “gairah” intelektualitas saya untuk menuangkan dalam tulisan yang sederhana ini. Dari tulisan tersebut setidaknya saya menangkap dua kondisi.
Pertama, adanya sikap sebagian kita
yang merasa bahwa kurang afdhal kiranya
sholat Ied jika tidak dilaksanakan secara berjamaah di mesjid maupun di
lapangan. Terlepas dari soal bisa tidaknya seseorang kepala rumah tangga
menjadi imam dalam rumahnya. Saya kira ini hanya salah satu alasan dari sekian
banyak alasan kita dalam memahami narasi teologis, yang cenderung
formalistik.
Kedua, kecenderungan sebagian ‘kita’ yang lain
soal kenikmatan beribadah jika bisa dipertontonkan ke orang lain (public
sphare). Kondisi yang juga terlihat marak di media sosial di 30 hari
ramadhan kemarin, tak hanya melulu soal sholat, memberi zakat, infaq dan
sedekah juga adalah kegiatan yang ramai dipertontonkan di medsos. Dua kondisi
ini setidaknya mewakili potensi manusia yang timpang dari kalangan kita dalam
beragama, mari kita bahas dua kondisi tersebut.
Kondisi Pertama, semenjak Covid-19 mewabah tanpa kita
sadari “imajinasi” beragama kita juga ikutan mewabah. Pasca kasus positif
pertama Covid-19 di Indonesia, kekhawatiran kemudian muncul, apalagi setelah
narasi-narasi ketakutan ramai disebar di media sosial dengan
postingan-postingan sadis soal dampak dari corona ini. Maka, seiring
dengan kondisi tersebut muncul berbagai fatwa Ulama dari berbagai belahan dunia
akan pentingnya mewaspadai penyebaran virus ini, sebagai langkah antisipasinya
muncul pula himbauan dari para ulama sebagai langkah kewaspadaan untuk
menghindari kerumunan, misalnya tidak melaksanakan sholat berjama’ah di mesjid,
sholat Jum’at diganti dengan sholat dzuhur di rumah saja, bahkan pada bulan
Ramadhan sholat tarawih di mesjid pun ditiadakan guna memutus mata rantai
penyebaran virus ini.
Himbauan ini
tentunya tidak mendarat mulus pada pada sebagian “kita”, justeru himbauan ini
dinilai mengusik mental “arogan-spritua” sebagian kita, dengan menyebar
narasi-narasi seperti “kita tidak takut corona, kita hanya takut Allah”,
“kenapa mall dan pasar-pasar dibiarkan dibuka, tetapi mesjid ditutup?”, “Allah
tidak akan membiarkan tamu-Nya sakit jika kita selalu di rumah-Nya untuk shalat
berjamaah” serta beberapa narasi-narasi serupa. Narasi seperti ini kemudian
laku terjual dengan dalil agama, yang dimodifikasi dengan logika bak penjual
obat “Ikut saja yang ini, jika tidak maka keimananan dan ketakwaan anda
dipertanyakan”. Narasi dengan balutan
Munculah paradigma
teologis-formalistik, kaku dan egois. Parahnya
lagi, dibumbui bahasa agama, sehingga terkesan merepresentasi
keimanan dan kesalehan. Padahal sejatinya, imbauan menghindari kerumunan, tidak
melaksankan sholat berjamaah (sekelipun itu sholat Ied) di masjid dan di
lapangan, merupakan bentuk lain ketaatan kita kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri
(lihat QS An-Nisa :59), tidak menjerumuskan diri pada kebinasaan (QS.
Al-Baqarah “ 195), larangan orang yang sakit menularkan penyakit pada yang
sehat (HR. Bukhari No. 5771, Muslim No. 2221), lari dari penderita lepra
sebagaimana lari dari singa (HR.Bukhari No.126), mendengarkan fatwa Ulama
untuk sholat dirumah saja merupakan bentuk ketaatan kita terhadap mereka dengan
gelar Pewaris para Nabi.
Lantas jika sudah begini, sebenarnya siapa yang paling
beriman dan paling bertaqwa??
Kondisi Kedua, enggan rasanya membahas soal
ini, sadar atau tidak, memicu kritik atas cara beragama kita di era
digitalisasi sekarang ini. Bagaimanapun, era transformasi digital memaksa orang
melek teknologi. Tak ayal, kepemilikan teknologi dasar seperti internet, media social (medsos)
dan gadget menjelma menjadi kebutuhan primer setiap orang.
Saya berasumsi
hampir 80% (ini bukan data valid) penduduk bumi memiliki akun medsos, bahkan
anak baru lahirpun sudah dipersiapkan akun medsosnya oleh orang tuanya.
Pengunaan medsos kemudian bertransformasi, seiring dengan keinginan orang
memposting kehidupan pribadinya, apa yang dilakukannya melalui akun-akun
pribadinya, motifnyapun beragam, dari yang hanya sekedar menyimpan memory dalam
akunnya, sampai dengan yang ingin “mempertontonkan” kepada orang lain.
Saat ini
banyak pengguna mempublish hal-hal baik di akunnya, mengunggah foto hingga yang
sengaja mengunggah kegiaan ibadahnya, tak jarang orang mengunggah foto sholat,
ketika bersedekah dan kegiatan ibadah lainnya, hal ini akan terasa “nikmat”
bila bisa dipertonotonkan ke public apalagi banyak mendapat “like” dari
followernya.
Fenomena di
atas marak terjadi, sadar maupun tidak, kita pernah malakukannya. Senada dengan
Romo Samsi, saya juga tidak sedang menggugat sisi religiusitas seseorang,
tetapi mengingatkan kepada kita bahwa cara kita “menjamah” pahala Tuhan,
hendaknya tidak dinodai dengan hal-hal yang cenderung pamer (riya) saperti
sabda Rasullah; bahwa orang riya itu ibaratnya orang menanam sesuatu
atau menaruh air di atas batu di tengah padang pasir lalu diterpa angin, hilang
tak berbekas.
Tentunya kita
tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin menjustisified kecenderungan ini,
namun dengan mempertontontkan “KESALEHAN”
justru menjerumuskan kita dalam kesalahan beribadah, “Kesalahan” yang di
pertontonkan. Bagi saya, semua harus berangkat dari niat memposting,
tergantung niat individu masing-masing, namun demikian Niat pastinya bermuara
pada kadar ibadah, niat mempengaruh ibadah kita diterima atau tidak.
Seperti
halnya diciptakannya Medsos adalah benar adanya untuk “pamer”, namun yang
membedakan adalah “kadar” noraknya.
Wallahu ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.(***)
Selamat Hari
raya Idul Fitri 1441 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Ramili Ondang Djau
Penulis:
Alumni PMII dan GMNI Sulawesi Utara serta Pemerhati Masalah-masalah
Sosial