![]() |
Kasim Maliu (Foto Istimewa) |
Oleh : Kasim Maliu, Ketua GP Ansor Boalemo
Terlihat matahari mulai terbenam dan menghilang digaris cakrawala ujung barat, Ahad 24 Mei 2020. Petanda malam akan tiba seperti biasanya. Ramadan segera berlalu. Seperti air embun jatuh di dedaunan, melesit cepat ke bawah, begitulah kira-kira.
Semua akan merindu dengan bulan mulia ini. Yang mengimani ramadan, tentu sedih. Sedih ditinggal dalam situasi pandemi. Itu artinya, kita terus berjihad melawan pandemi meski ramadan telah pergi meninggalkan kita. Apalagi kesedihan ini berlapis-lapis, ditambah kebijakan pemerintah yang ‘membingungkan’ kita. Sholat Ied di Rumah, namun sebagian masyarakat enggan mengikuti anjuran pemerintah.
Bulan ramadan adalah bulan pengampunan. Ia berlalu dengan cepat, sore kemarin. Ramadan tahun ini tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Barangkali, ia di ‘ganggu’ oleh yang namanya Pademi Covid-19. Semua kita di 'ganggu' oleh pandemi ini. Semua manusia dibuat panik olehnya.
Konon, ada yang meyebut ‘Tentara’ Allah, saya tak yakin sepenuhnya. Setiap orang pasti beda padangannya. Apalagi padangan terhadap gejala-gejala social-keagamaan yang timbul. Berswafoto ria bermukena, atau berswafoto ria berjubah.
Gejala-gejala sosial-keagamaan seperti ini penting untuk kita sikapi, namun tidak berlebihan. Saya yakin, kita semua berbeda, namun tetap satu, tapi tidak berlebih menyikapinya. Gejela keberagamaan kita akhir-akhir ini wajib dimaklumi, bukan dihakimi.
Kita perlu resapi, bahwa Ramadan kali ini adalah bulan yang penuh rahmat dengan berlapis ujian yang amat dasyat. Disaat melawan hawa-nafsu, kita juga melawan virus corona. Belum lagi, kebijakan penanganan virus corona tak sepenuhnya baik diterima masyarakat. Apalagi mereka pedagang kecil, tentu sangat 'sakit hati' ketika ada kebijakan yang tidak pro kepada mereka. Belum data penerima yang tumpang tindih, memicu amarah berlapis-lapis.
Peniadaan Sholat di masjid alasan corona oleh pemerintah, namun mall dan toko pakaian terbuka lebar. Semua menyeruak ke public, ada yang pro dan kontra. Tak ada yang bisa menengahi perdebatan di social media terkait kebijakan penangan virus corona, termasuk di Gorontalo.
Padahal dalam peraturan tersebut, jika pelaksanaan sholat berjamaah dapat mengakomodir protocol kesehatan, maka itu tak lagi menjadi kekhawatiran bersama, baik itu kalangan organisasi keagamaan, maupun pemerintah.
Apa boleh buat, semua kebijakan kita harus patuhi. Semua harus sholat di rumah. Meski sebagian masyarakat tetap sholat di tanah lapang, memakai masker dan mematuhi segela petunjuk kesehatan di tengah pandemic ini.
Ada yang ‘mencela’ ketika ada sebagian masyarakat yang tetap sholat di luar, baik di masjid maupun di lapangan. Celaan mestinya tidak berlebihan. Kita yakini bersama, bahwa tetap di rumah adalah upaya untuk memutus mata rantai virus corona. Kita diperhadapakan dengan realitas masyarakat yang berbeda cara pemahaman, ini adalah situasi sulit. Maka celaan dalam situasi seperti sekarang tidaklah berlaku.
Kita perlu maklumi, bahwa sebagian kita tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Semua serba tidak baik. Secara psikology, masyarkat sedang beradaptasi dengan situasi. Masyarakat pada umumnya mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Hal itu bisa diruang manapun. Entah dalam bersosial media, maupun berinterkasi sosial secara offline. Namun ada yang mengelitik ketika matahari sore mulai terbenam di ujung barat. Sebuah ulasan yang sangat kritis atas keberagamaan kita akir-akhir ini.
Sahabat, yang juga senior saya mengirim link pada Whastapp Grup (WAG), Romo Samsi Pomalingo, dengan judul; “Kesalehan yang Dipertontonkan”, sungguh menarik dan terpanggil untuk menyanggahi.
Akhirnya saya memutuskan untuk menahan komentar. Sebab menurut saya, ada hal yang perlu diluruskan. Saya kembali bersemangat menyanggahi, ketika tulisan Sahabat Ramli Ondang di kirim lagi ke WAG, dengan judul; “Imajinasi Beragama dan Kesalahan yang Dipertontonkan”. Sungguh lezat rasanya menikmati tulisan kedua sahabat ini. Namun, kritik atas setiap postingan yang menunjukan semangat keberagamaan perlu disikapi hati-hati.
Ketika ditanya, apa kesimpulan saya saat membaca tulisan kedua sahabat? Kesimpulan saya adalah, bahwa kedua tulisan itu sangatlah cerdas. Bahkan saya pun tak bisa begitu saja menilai seperti apa yang dinilai oleh kedua sahabat.
Jika kedua sahabat saya dengan cara padangnya, maka saya perlu melihatnya dengan kacamata berbeda dalam melihat fenomena keberagamaan kita dalam situasi pandemi sekarang ini.
Namun sebelumnya, saya akan coba dengan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah Sholat di Masjid dan di tanah lapang itu riya? Bisa riya, bisa juga tidak. Bisa jadi, Status, unggahan atau postingan terkait aktivitas keagamaan ditiap lini masa sosial media adalah bentuk dari rasa syukur atas kemenangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh.
Lalu pertanyaan berikut, apakah Sholat di Rumah dan disiarkan Live streaming (FB) adalah riya? Belum tentu, bagi saya. Dan jika ditanya, apakah yang mereka lakukan itu adalah perbuatan riya? Saya yakin, mereka akan katakan, bahwa apa yang mereka pertontonkan bukalan ke-riya-an, melainkan adaptasi. Karena situasinya sangat berbeda, ada Corona bukan?
Saya sudah membaca kedua tulisan para sahabat dan senior hebat ini, namun tidak semua perlu saya amini. Sebab, dari beberapa paragraph, kedua sahabat tengah berasumsi tanpa tinjuaan yang mendalam atas apa sedang terjadi dan dipertentangan hari ini.
Asumsi bagi saya adalah padangan awal, yang bisa berubah sewaktu-waktu dan tidak susuaj dengan fakta di lapangan. Jika saya bisa berasumsi, maka saya pun bisa menilai, bahwa sebenarnya para sahabat maupun senior saya sedang mengambil alih hak Tuhan dengan justifikasi riya.
Bahwa riya dan tidaknya orang-orang, adalah penilaian Tuhan. Penilaian yang ‘kurang’ tepat bisa menimbulkan kegaduhan social-keagamaan kita.
Bisakah kita merenung sejenak, memandang matahari ujung Ramadan itu terbenam? Semoga diantara kita masih sempat melihat indahnya Ramadan terakhir, yakni Matahari Ramadan. (*)
Mohon Maaf Lahir Batin
Kasim Maliu
Penulis : Ketua GP Ansor Kabupaten Boalemo dan Alumi di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Gorontalo
Semua akan merindu dengan bulan mulia ini. Yang mengimani ramadan, tentu sedih. Sedih ditinggal dalam situasi pandemi. Itu artinya, kita terus berjihad melawan pandemi meski ramadan telah pergi meninggalkan kita. Apalagi kesedihan ini berlapis-lapis, ditambah kebijakan pemerintah yang ‘membingungkan’ kita. Sholat Ied di Rumah, namun sebagian masyarakat enggan mengikuti anjuran pemerintah.
Bulan ramadan adalah bulan pengampunan. Ia berlalu dengan cepat, sore kemarin. Ramadan tahun ini tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Barangkali, ia di ‘ganggu’ oleh yang namanya Pademi Covid-19. Semua kita di 'ganggu' oleh pandemi ini. Semua manusia dibuat panik olehnya.
Konon, ada yang meyebut ‘Tentara’ Allah, saya tak yakin sepenuhnya. Setiap orang pasti beda padangannya. Apalagi padangan terhadap gejala-gejala social-keagamaan yang timbul. Berswafoto ria bermukena, atau berswafoto ria berjubah.
Gejala-gejala sosial-keagamaan seperti ini penting untuk kita sikapi, namun tidak berlebihan. Saya yakin, kita semua berbeda, namun tetap satu, tapi tidak berlebih menyikapinya. Gejela keberagamaan kita akhir-akhir ini wajib dimaklumi, bukan dihakimi.
Kita perlu resapi, bahwa Ramadan kali ini adalah bulan yang penuh rahmat dengan berlapis ujian yang amat dasyat. Disaat melawan hawa-nafsu, kita juga melawan virus corona. Belum lagi, kebijakan penanganan virus corona tak sepenuhnya baik diterima masyarakat. Apalagi mereka pedagang kecil, tentu sangat 'sakit hati' ketika ada kebijakan yang tidak pro kepada mereka. Belum data penerima yang tumpang tindih, memicu amarah berlapis-lapis.
Peniadaan Sholat di masjid alasan corona oleh pemerintah, namun mall dan toko pakaian terbuka lebar. Semua menyeruak ke public, ada yang pro dan kontra. Tak ada yang bisa menengahi perdebatan di social media terkait kebijakan penangan virus corona, termasuk di Gorontalo.
Padahal dalam peraturan tersebut, jika pelaksanaan sholat berjamaah dapat mengakomodir protocol kesehatan, maka itu tak lagi menjadi kekhawatiran bersama, baik itu kalangan organisasi keagamaan, maupun pemerintah.
Apa boleh buat, semua kebijakan kita harus patuhi. Semua harus sholat di rumah. Meski sebagian masyarakat tetap sholat di tanah lapang, memakai masker dan mematuhi segela petunjuk kesehatan di tengah pandemic ini.
Ada yang ‘mencela’ ketika ada sebagian masyarakat yang tetap sholat di luar, baik di masjid maupun di lapangan. Celaan mestinya tidak berlebihan. Kita yakini bersama, bahwa tetap di rumah adalah upaya untuk memutus mata rantai virus corona. Kita diperhadapakan dengan realitas masyarakat yang berbeda cara pemahaman, ini adalah situasi sulit. Maka celaan dalam situasi seperti sekarang tidaklah berlaku.
Kita perlu maklumi, bahwa sebagian kita tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Semua serba tidak baik. Secara psikology, masyarkat sedang beradaptasi dengan situasi. Masyarakat pada umumnya mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Hal itu bisa diruang manapun. Entah dalam bersosial media, maupun berinterkasi sosial secara offline. Namun ada yang mengelitik ketika matahari sore mulai terbenam di ujung barat. Sebuah ulasan yang sangat kritis atas keberagamaan kita akir-akhir ini.
Sahabat, yang juga senior saya mengirim link pada Whastapp Grup (WAG), Romo Samsi Pomalingo, dengan judul; “Kesalehan yang Dipertontonkan”, sungguh menarik dan terpanggil untuk menyanggahi.
Akhirnya saya memutuskan untuk menahan komentar. Sebab menurut saya, ada hal yang perlu diluruskan. Saya kembali bersemangat menyanggahi, ketika tulisan Sahabat Ramli Ondang di kirim lagi ke WAG, dengan judul; “Imajinasi Beragama dan Kesalahan yang Dipertontonkan”. Sungguh lezat rasanya menikmati tulisan kedua sahabat ini. Namun, kritik atas setiap postingan yang menunjukan semangat keberagamaan perlu disikapi hati-hati.
Ketika ditanya, apa kesimpulan saya saat membaca tulisan kedua sahabat? Kesimpulan saya adalah, bahwa kedua tulisan itu sangatlah cerdas. Bahkan saya pun tak bisa begitu saja menilai seperti apa yang dinilai oleh kedua sahabat.
Jika kedua sahabat saya dengan cara padangnya, maka saya perlu melihatnya dengan kacamata berbeda dalam melihat fenomena keberagamaan kita dalam situasi pandemi sekarang ini.
Namun sebelumnya, saya akan coba dengan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah Sholat di Masjid dan di tanah lapang itu riya? Bisa riya, bisa juga tidak. Bisa jadi, Status, unggahan atau postingan terkait aktivitas keagamaan ditiap lini masa sosial media adalah bentuk dari rasa syukur atas kemenangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh.
Lalu pertanyaan berikut, apakah Sholat di Rumah dan disiarkan Live streaming (FB) adalah riya? Belum tentu, bagi saya. Dan jika ditanya, apakah yang mereka lakukan itu adalah perbuatan riya? Saya yakin, mereka akan katakan, bahwa apa yang mereka pertontonkan bukalan ke-riya-an, melainkan adaptasi. Karena situasinya sangat berbeda, ada Corona bukan?
Saya sudah membaca kedua tulisan para sahabat dan senior hebat ini, namun tidak semua perlu saya amini. Sebab, dari beberapa paragraph, kedua sahabat tengah berasumsi tanpa tinjuaan yang mendalam atas apa sedang terjadi dan dipertentangan hari ini.
Asumsi bagi saya adalah padangan awal, yang bisa berubah sewaktu-waktu dan tidak susuaj dengan fakta di lapangan. Jika saya bisa berasumsi, maka saya pun bisa menilai, bahwa sebenarnya para sahabat maupun senior saya sedang mengambil alih hak Tuhan dengan justifikasi riya.
Bahwa riya dan tidaknya orang-orang, adalah penilaian Tuhan. Penilaian yang ‘kurang’ tepat bisa menimbulkan kegaduhan social-keagamaan kita.
Bisakah kita merenung sejenak, memandang matahari ujung Ramadan itu terbenam? Semoga diantara kita masih sempat melihat indahnya Ramadan terakhir, yakni Matahari Ramadan. (*)
Mohon Maaf Lahir Batin
Kasim Maliu
Penulis : Ketua GP Ansor Kabupaten Boalemo dan Alumi di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Gorontalo