Foto : Muhammad Ersyad Mamonto |
Dunia perlahan berjalan keluar dari porosnya, hingga membuat manusia tersentak—tidak karuan—melihat laju perkembangan zaman. Baru saja, rasanya seperti kemarin kita mulai dengan komunikasi via surat yang ditulis di atas kertas, dikirmkan melalui pos—seminggu hingga berbulan-bulan menunggnya. Kini, teks-teks tersebut semudah kita memikirkan saat dituliskan, untuk sampai dan dibaca di depan retina kita.
Hal ini, seperti dunia yang dilipat. Ada perubahan yang begitu cepat dan radikal, yang membuat manusia bergegas merubah atau merevisi cara pandang, dan cara hidup menatap masa depan. Abad 21 atau yang dikenal juga dengan abad milenium, yang menyuguhkan kehidupan, apa yang disebut para futuristik sebagai era informasi. Era ini membuat semua keyakinan kita—yang masih tradisional—berontak, jika hal ini tidak bisa ditangani. Pasalnya, jika ada kebiasaan kita membaca masa depan yang teramat pelan, dipastikan kita akan tenggelam di jurang zaman. Sebab era informasi yang didukung teknologi, menawarkan dunia serba instan dan bergerak cepat.
Selain visi kita tentang teknologi, nilai-nilai kehidupan juga ikut tergerus. Fukuyama dalam The Great Disruption (2016), menyebut hal ini sebagai “kekacauan yang teramat besar”. Ia mendasarinya dari perubahan setelah perang dingin—kemenangan kapitalisme atas komunisme—membuat pola kemanusiaan yang baru. Nilai-nilai tradisional, yang dipelihara dalam institusi, keluarga, agama, kekerabatan dan lain-lain, menjadi goyah karena zaman yang kian diukur dengan materi atau oposisi biner (kuno vis a vis keren).
Kekisruhan ini, tak ayal membuat semua manusia di pelosok bumi memikirkan kembali, bagaimana hidup di era ini, tapi tetap membawa semangat tradisi asal. Apa metode yang paling cocok dirasa untuk masalah ini? Kita perlu mengokohkan semangat untuk hidup menatap masa depan, dan bersaing dengan dunia di luar kita, sembari mempertahankan kekhasan menjadi orang Gorontalo.
Belajar dari Masa Lalu (Orang) Gorontalo
Seorang cendekiawan muslim Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri (1935-2010) yang dikutip Ahmad Baso dalam Abid-Al-Jabiri, Eropa dan Kita (2018) menjelaskan mengenai al-turats atau tradisi, dengan metodologi yang sangat menjawab persoalan. Al-Jabiri menerangkan bahwa ada proses melihat-menjauhkan-menarik kembali tradisi dan disimpulkan. Metode ini kurang lebihnya adalah akar tradisi kita dijadikan dasar untuk membedah, mengkritik atau merekonstruksi tradisi dari luar, hingga kemudian lahir turats yang sifatnya kekinian tanpa hilang dari konteks asal.
Orang Gorontalo terlebih dahulu telah mempraktekan metode ini. Raja Amai (1532-1550) saat masifnya islamisasi (1525), ketika ia menikah dengan putri Raja Ogomanjolo dari Palasa Tomini, yaitu Owutango, dimulalilah era baru bagi tradisi Gorontalo. Raja Amai mendialogkan Islam yang datang dari luar Gorontalo, dengan tradisi yang telah mengakar pada masyarakat. Ia memulainya dengan tetap memelihara bentuk ritual (teknis) adat dengan memasukan nilai Islam di dalamnya. Jelasnya seperti, tradisi perkawinan yang didahului oleh pesta moliyango. Dalam hal teknis moliyango menampilkan tari-tarian, oleh Sultan Amai—gelar setelah raja Amai menjadi muslim—tarian ini dimasukan nilai Islam yang menceritakan bagaimana keluarga yang islami.
Dan hal ini, Ia (Raja Amai) mampu mempertahankan keduanya : Islam & tradisi Gorontalo. Raja Amai bisa saja sebagai penguasa memainkan pola isalamisasi yang lain, yang puritan, keras atau menendang tradisi. Perihal itu, selain memang Raja Amai bersentuhan dengan tradisi luar (Islam) yang sebenarnya, juga warisan penegetahuan Orang Gorontalo yang memang sadar akan kecintaan terhadap tradisi nenek moyang. Peristiwa ini, bisa juga dilihat bahwa kekhasan orang Gorontalo untuk mencintai negerinya, seraya berjalan maju kedepan.
Mimpi Milenial, Tradisi dan Tantangan Untuk Masa Depan Gorontalo
Menjadi seutuhnya Gorontalo dan melewati tantangan zaman, merupakan hal yang harus di insyafi setiap milenial Gorontalo. Pertumbuhan ekonomi kreatif yang kian pesat sebab erubahan era yang tidak lagi memerlukan keahlian mumpuni dalam satu bidang, merupakan ihwal yang disadari sebagai tugas bersama untuk membawa tradisi dan semangat masa lalu di ruang ini. Patutnya, tradisi seperti yang dicontohkan Raja Amai, pantas untuk digunakan sebagai tools, melawan sempitnya ruang gerak ke-gorontalo-an dalam ruang modernitas yang cepat.
Belakangan ini, bisa dilihat dengan kasat mata semangat milenial Gorontalo untuk mengisi zaman. Dari mulai Pop Culture : musik, tari atau daya jangkau teknologi, sampai cara berpakaian, mewarnai kehidupan disetiap sudut Gorontalo, yang dimulai dengan hentakan jemari tangan paling besar manusia (Ibu Jari). Pertanyaan selanjutnya, apakah semangat ini hanya sekeder pembauran milenial Gorontalo terhadap perkembangan zaman tanpa rasa Gorontalo sama sekali? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa ditinjau dari, sejauh mana dalam ruang gerak medernitas para milenial Gorontalo tetap membawa semangat tradisi.
Hal ini sangatlah penting untuk dipikirkan. Seajuh ini juga pertanyaan serupa kerap didiskusikan dalam dialog, seminar atau simposium, dengan judul-judul yang hampi mirip satu sama lainnya. Mulai dari membawa jargon semangat pemuda, peran pemuda, atau kritik atas pemuda dewasa ini. Diskusi itu tak lain sebagai antisipasi milenial Gorontalo untuk melihat tantangan zaman.
Secara jujur, jika modernitas memang benar adanya dapat menggerus ke-gorontalo-an, tapi disisi lain hal ini tidak berlaku secara keseluruhan. Dalam usaha berkebudayaan ala milenial Gorontalo dalam seni rupa misalnya—dua tahun terakhir ini para milenial yang berkegiatan seni rupa menjadi penggagas untuk tetap membawa semangat Raja Amai. Tajuk yang dipilih yaitu Tupalo, untuk menggambarkan kebangkitan Gorontalo dalam seni rupa sembari tetap mengarungi zaman dengan tradisi Gorontalo.
Hal tersebut adalah salah satu contoh kecil dari sekian banyak optimisme milenial Gorontalo dalam mengkontekstualisasi tradisi. Usaha seperti ini memang harus dikampanyekan dalam berbagai lini kehidupan. Jika hal ini dapat dipertahankan dan menyebar luas, maka Gorontalo akan punya generasi dengan kreatifitas tinggi, tidak terkungkung dengan kebekuan zaman.
Pola kreatifitas semacam ini, telah terbukti sepanjang ruang dan waktu. China dengan segudang prestasinya di dunia Internasional, bukan kebetulan meraihnya. Pandangan bernegara yang kontemporer Cina patut dicontoh dalam hal ini. Grand design tradisi lama dibawa ke era ini. Dinding besar dunia digital yang dibangun Cina merupakan bentuk baru dari tembok raksasa Cina. Polanya hampir sama—menjaga peradaban dan keberlangsungan ala China, sembari mengarungi zaman.
Ada banyak contoh yang bisa dikutip diluar sana dari pembacaan tradisi masa lampau untuk menjadi semangat membangun peradaban di era kini. Hingga kini, kesadaran akan hal itu jika telah totalitas melaksanakannya, tidak akan ada serpihan penting dari garis sejarah yang terbuang percuma. Selain target surplus manusia yang kreatif membaca zaman, wajah Gorontalo yang kental akan tradisi tidak akan lapuk dimakan zaman.(***)
Muhammad Ersyad Mamonto
Alumni Universitas Negeri Gorontalo
Pegiat di GUSDURian