![]() |
Kaligrafi NU (Foto Istimewa) |
Oleh : Ersyad Mamonto
Kaligrafi atau dalam Islam biasa dikenal dengan istilah al-khat mempunyai makna yang serupa di antara kedua istilah tersebut yaitu “tulisan indah”. Kaligrafi sangat erat dengan peradaban dunia Islam, selain memang sebagai produk budaya yang digunakan dalam pembakuan mushaf Qur’an, juga adanya pandangan ikonoklasme dalam Islam sehingga menempatkan kaligrafi sebagai sentrum seninya seni rupa Islam.
Ikonoklasme ini merupakan hasil dari warisan monotheis abrahamic sebelumnya (Yahudi dan Kristen) yang dilanjutkan oleh Islam—di Kristen pandangan ini mengalami perubahan secara radikal setelah bertemu dengan kebudayaan Yunani dan Romawi.
Nurcholis Madjid dalam Kaki Langit Peradaban Islam (1997) menguraikan bahwa, ikonoklasme merupakan pandangan tabu pada seni melukis makhluk bernyawa (binatang dan manusia). Hal ini tumbuh kuat dalam Islam sebelum pandangan tentang seni rupa Islam mengalami pembaharuan, terutama dengan pandangan dalam Islam tentang seni rupa yang tidak semata media untuk praktek menyukutukan Tuhan tapi lebih kepada estetikanya.
Ada dua pandangan besar dalam seni : Pertama, seni untuk seni. Yaitu pandangan yang menempatkan seni untuk kepentingan seni. Kedua, seni yang digunakan untuk kepentingan di luar seni. Misalnya, agama atau politik. Seni Islam lebih banyak diarahkan pada pandangan ke dua. Sebab di dalam Islam, segala tindak-laku kahidupan manusia berhubungan dengan penghambaan kepada Tuhan dan punya konsekuensi jika dianggap beretentangan dengan hak tersebut.
Untuk itu, dalam posisi ini ikonoklasme merupakan bentuk kecurigaan pandangan monoteis terhadap rupa tiga dan dua dimensi yang berpotensi menggugurkan pandangan keesaan.
Adanya pandangan ikonoklasme ini, membuat kehati-hatian atau bahkan cenderung menyerang seni melukis binatang, manusia dan mematung. Sehingga pencarian seni rupa dalam Islam lebih banyak jatuh ke pola tumbuhan atau bentuk geometri ke dalam media yang tersedia. Hal itu biasa disebut dengan istilah arabesk atau bentuk laiinya yaitu kaligrafi.
Penemuan Kaligrafi (sebagai) Seninya, Seni Rupa Islam
Titik pijak kaligrafi sebagai seninya seni rupa Islam ditemukan saat proses kodifikasi Qur’an. Awalnya kaligrafi/al-khat yang berasal dari aksara arab, oleh bangsa arab yang nomaden pada waktu itu tidak terlalu begitu penting secara fungsi maupun estetika. Sebab, masa itu kecenderungan intelektulitas lebih kepada hafalan (tutur) tidak dengan aksara (tulisan).
Setelah Qur’an turun, memungkinkan untuk perubahan intelektualitas di Arab karena menggunakan aksara sebagai media syiar Islam (penyusunan mushaf).
Untuk masa sekarang, yang populer dikenal jenis-jenis kaligrafi dalam penulisam Qur’an secara fungsi maupun estetik, biasa dikenal dengan al-Aqlam as-Sittah, (naskhi, tsulust, raihani, tauqi’, muhaqaq dan riq’ah).
Harus diakui, awal proses penggunaan kaligrafi secara serius baru sebagai fungsi (penulisan Qur’an) dan masih kesusahan untuk dibaca oleh khlayak umum. Kitab Athlas al-Khath wa al-Khuthûth karya Habibulla Fada’ili yang dikutip Sirajudin A.R (2014) mengemukakan bahwa, masa awal kaligrafi untuk penulisan Qur’an baru digunakan jeni tulisan kufi tanpa tanda baca. Nanti setelah Abu al-Aswad al-Du’ali (w 69 H) dan penerus-penerusnya, kesulitan tersebut dapat teratasi, setelah diberikan tanda baca.
Estetika kaligrafi Islam sejatinya dirumuskan dari formula rasio, bentuk yang sederhana dengan proporsi yang tepat. Contohnya dalam jenis tulisan tsulust, ada pandangan bahwa susunan huruf ini adalah bentukan dari golden rasio, dimana setiap 1/3 bagian (anatomi huruf) terdapat lenkungan yang proporsional, sehingga hal ini menimbulkan kesan estetika yang tinggi.
Kaligrafi Islam juga mempunyai ciri khas dalam mengukur proporsi setiap anantominya yaitu dengan titik mata pena atau tinggi huruf alif.
Penggunaan proporsi titik atau asas geometri ini dipandu kembali oleh Yaqut al-Musta’simi (w.698 H) dalam proses penetepan al-aqlam as-sittah. Yaqut mengembalikan hukum-hukum sebelumnya, yang ditetapkan oleh Ibn Muqlah dan Ibn Bawwab dikenal, juga dikenal dengan istilah al-Khat al-Mansub (kaligrafi berstandar) (Sirajudin, 2014).
Hingga kini kaligrafi Islam berkembang sangat pesat. Selain dipengaruhi oleh fungsinya dalam menuliskan Qur’an, dengan adanya kompetisi menulis kaligrafi di seluruh dunia melahirkan jenis dan gaya yang lebih kompleks dari sebelumnya.
Di Indonesia sendiri misalnya, seni ini (kaligrafi) ada berbagai jenis kompetisi dalam Musabaqah Khatil Qur’an (MKQ) terangkum dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diperlombakan.
Di antara yang paling baru adalah jenis lomba kaligrafi kontemporer. Jenis kaligrafi ini tidak lagi terkungkung dangan kebakuan kaidah al-Khat al-Mansub. Sebab kaligrafi jenis ini dipadukan dengan gaya seni rupa pada umumnya, seperti surealis, naturalis, abstrak dll. Sehingga tidak heran anatomi huruf bisa hadir dalam berbagai rupa.
Perkembangan ini secara umum menimbulkan dua pandangan dalam kaligrafi Islam. Pertama hadir sebagai fungsi untuk penulisan Qur’an. Penggunaan al-Khat al-Mansub lebih ditekankan dan lebih banyak dikhususkan pada jenis huruf naskhi dengan alasan mudah dibaca. Kedua, sebagai dekoratif. Misalnya jenis tulisan seperti tsulust dengan proporsi huruf yang disusun atau ditumpuk, dengan ditambahkan tazinat (hiasan untuk mengisi ruang-ruang yang kosong agar proporsional) membuat tulisan ini lebih cocok sebagai dekorasi karena keindahannya dan susah dibaca.
Jenis kaligrafi yang belakangan muncul seperti kontemporer atau modern art yang membebaskan penggunan gaya baku, juga membuatnya sulit untuk dibaca dan lebih kepada dekoratif.
Kuatnya arus pandangan kedua, kaligrafi sebagai dekoratif, mengisyaratkan bahwa, seni ini hadir dan berkembang sebagai sentrum seni rupanya Islam. Sebab, keindahan yang dihadirkan bisa dinikmati khalayak umum—karena tidak hanya untuk ibadah. Meski memang kaligrafi masih berkaitan dengan ekspresi berketuhanan, namun dengan adanya berbagai gaya dan jenis kaligrafi dalam Islam bisa merangkum semua kalangan dan tidak terbatas pada skop agama.
Belakangan juga muncul kaligrafi kontemporer dihadirkan dalam ruang yang lebih progresif. Misalnya karya Mohamad Katili dari Gorontalo, yang memotret kerusakan lingkungan dengan ayat-ayat tentang itu.
Ada dua karya : Pertama dengan judul “Al-Rum 41” (2017), yang memuat tentang kerseahan manusia meruntuhkan batas nalar, batas laut dan daratan. Lukisan ini diilustrasikan dengan hutan mangrove yang gundul dengan tangan-tangan manusia yang merusaknya. Kedua, “Bulalo Limutu” (2018) dengan mengutip penggalan surat al-Anbiya ayat 30, yang artinya “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”.
Lukisan ini memotret danau Limboto yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang mengalami perubahan dan kerusakan lambat laun. Katili me-rupakan lukisan ini dengan relief yang mencatat tahun-tahun beserta keadaan danau limboto tiap-tiap masa dan perubahannya.
Kaligrafi kontemporer Katili ini, bisa dipandang sebagai warna yang lebih segar. Menunjukan optimisme seni rupa Islam yang berkembang pesat, dan peka dengan manusia dan alam. Tidak menutup kemungkinan kaligrafi sebagai seni rupanya Islam bisa menjadi wacana kuat yang lebih progresif dan tidak sekedar fungsinya dalam penulisan Qur’an atau bentuk dekoratif. Hal ini akan mengarahkan arus kaligrafi Islam sebagai seni rupa yang bergerak lebih dinamis.
Penulis adalah Pegiat di GUSDURian dan Inomasa Study Club
Referensi :
Nurchlis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam 1997
Sirajudin A.R, Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia, 2014