Pilkada Serentak : Di Tengah Pandemi dan Ketakutan

Foto Ilustrasi (harianmomentum.com)



Oleh : Ramli Ondang Djau

Jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang direncanakan pada bulan Desember 2020, maka ada asumsi yang akan mucul. Misalnya; Terjadi cluster baru untuk orang terkonfirmasi positif Covid-19 pada gelaran pilkada tahun ini. Cluster baru tersebut akan dinamai, ‘Cluster Pilkada’.  Asumsi-asumsi seperti ini muncul pasca terbitnya Perppu nomor 2 tahun 2020, menyusul Rapat Dengar Pendapat (RDP), yang dilaksanakan tanggal 27 Mei 2020 lalu.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini merespon pasal 122A ayat (2) Perppu nomor 2 tahun 2020 yang berbunyi :

“Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Ralryat”

Dari kesimpulan RDP tersebut menyepakati Pilkada dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Sementara tahapan lanjutan dimulai lebih awal, yakni tanggal 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan protocol kesehatan, berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19, serta tetap berpedoman pada prinsip-prinsip Demokrasi.

Kesimpulan RDP ini seakan memastikan kehendak pasal 201A ayat (2) Perppu Nomor 2/2020 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo tanggal 4 Mei 2020.  Perlu dicermati bersama, bahwa kedudukan Perppu dalam hirarki perundang-undangan. Keberlakuannya setingkat  dengan Undang-Undang, secara otomatis merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang.

Sejumlah keraguan muncul dari berbagai kalangan masyarakat sipil.  Diantaranya menyoal pantaskah pelaksanaan Pilkada ditengah ketidakpastian Covid-19 berakhir? Bagamana dengan jaminan kesehatan bagi penyelenggara, Peserta dan Pemilih? Penyelenggaraan pilkada serentak 2020 dianggap terburu-buru disaat angka terkonfirmasi Positif Covid-19 naik.  Analisis resiko kesehatan bagi penyelenggara, peserta dan pemilih. Pun kekhawatiran politisasi Bansos Covid-19 yang dilakukan calon petahana tak lepas dari sorotan publik.

Namun disisi lain,  pemerintah dalam hal ini DPR dan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu & DKPP) menyepakati keputusan bahwa pelaksanaan pilkada serentak di pada 9 Desember 2020 punya landasan yuridis  yang tertuang pada pasal 201A Perppu no 2/2020 (meski peluang dijadwalkan kembali ada), KPU telah menerima jawaban Surat Gugus Tugas No. B.196/KA GUGUS/PD.01.02/05/2020 lembaga yang saat ini mempunyai kewenangan menangani Covid-19 menyarankan dalam angka (3) surat tersebut KPU dapat menindaklanjuti amanat ayat (2) pasal 201A Perppu No. 2/2020 dengan syarat dilaksanakan dengan protocol kesehatan di setiap tahapannya, dan juga keputusan ini diambil melalui rapat yang melibatkan semua pihak yang berwenang.

Pasca terbit surat keputusan KPU No: 179/PL.02-Kpt/01/KPU /III/2020, tanggal 21 Maret 2002, praktis ada 4 tahapan yang ditunda diantaranya; Pertama, Tahapan Pelantikan PPS 22 Maret 2020; Kedua, Verifikasi Syarat Dukungan Calon Perseorangan; Ketiga, Pembentukan PPDP 26 Maret 2020 s.d. 15 April 2020; dan Keempat, Pemutahiran dan penyusunan daftar pemilih. Jika merujuk pada hasil RDP tanggal 27 Mei lalu,  bahwa tahapan pilkada dimulai sejak tanggal 15 Juni, maka 4 tahapan diatas adalah tahapan terdekat saat ini.

Sementara ke 4 tahapan tadi butuh kondisi normal. Dan hanya dilakukan dengan komunikasi dan tatap muka, yang melibatkan banyak orang. Misalnya, untuk tahapan verifikasi faktual calon perseorangan harus  dilakukan dengan metode sensus sebagaimana bunyi Undang-Undang No 10 tahun 2016 pasal 48 ayat (6):

“Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon”

Sementara metode verifikasi dilakukan dengan cara door to door dari rumah ke rumah, dari pemilih yang satu ke pemilih yang lain. Verifikator harus menemui langsung pemilih yang menyatakan dukungan, apalagi ada dokumen dukungan yang harus dibubuhi tandatangan pemilih sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Pilkada. Dengan demikian, keniscayaan bisa dilakukan sang verifikator. Ia akan diperhadapkan dengan dua kemungkinan yang beresiko. Resiko pertama adalah soal kesehatan terpapar Covid- 19 dan resiko kedua adalah ancaman pidana sebagaimana tertuang pada pasal 177 dan 185 UU No. 10 tahun 2016.

Tentunya di masa pandemi sekarang ini, hal diatas Unpredictable, apalagi di tangah resonansi ketakutan masyarakat akan Covid-19 begitu besar. Seiring pemberitaan dan broadcasting media sosial akan bahaya corona semakin memperjelas ketakutan masyarakat akan virus ini. Bagaimanapun alasannya, pemberitaan media berdampak pada psikosomatis sebagian masyarakat, khawatir terpapar pandemic mematikan ini

Penyelenggaraan tahapan pilkada serentak lanjutan sebagaimana amanat Perppu No. 2/2020 setidaknya telah membuka ruang mobilisasi interaksi penyeleggara, peserta dan pemilih. Sehingga regulasi harus bisa menggaransi kesehatan dan keselamatan penyelenggara, peserta dan pemilih. Pilkada serentak dan penanganan Covid-19 sama-sama menyangkut hak warga Negara, namun keselamatan rakyat diatas diatas segalanya, sebagaimana kata mendiang Cicero “Salus Populi Supema Lex Esto”  Keselamatan Rakyat adalah Hukum tertinggi.  Oleh karenanya, pelaksanaan setiap tahapan pilkada harus bisa menjamin kesehatan dan keselamatan rakyat.

Ironi memang, bahwa Pilkada digelar tengah Pandemi sedang berkecamuk.  Apalagi dengan resonansi ketakutan akan wabah ini cukup di benak masyarkat saat ini. Menjawab kekhawatiran ini, KPU beserta jajaranya sampai ke KPU Kabupaten/kota telah memetakan problem keunikan pilkada serentak ini ditengah pandemi dengan tetap berkoordinasi dengan Gugus tugas Covid-19. Hasilnya, setiap detil tahapan diperhitungkan dan disesuaikan dengan protocol penanganan Covid-19.

Guna menjamin kesahatan dan keselamatan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggara pilkada serentak tahun ini, maka semua problem tahapan diadaptasikan dengan kondisi New Normal dan sesuai dengan protokol kesehatan di tengah pandemic. Hal tersebut tertuang dalam draft peraturan KPU, yang juga sebagai amanah pasal 122A ayat (3) Perppu Nomor 2/2020, berkonsekuensi pada peningkatan anggaran pemilihan.

KPU mengusulkan kebutuhan APD dan logistik untuk pemilih dan  penyelengara pemilihan sebanyak kurang lebih Rp. 536 miliar, ini juga belum termasuk peningkatan anggaran akibat penambahan TPS yang juga secara otomatis menambah jumlah personil KPPS dan APD.

Fantastis memang, namun untuk mempertegas esensi pilkada serentak menuju demokrasi substansial ditengah pandemi dengan tetap menjamin kesehatan penyelenggara, peserta dan pemilih tentu tidak murah, peningkatan Anggaran adalah keniscayaan.

KPU perlu bekerja ekstra demi peningkatan partisipasi masyarakat (walaupun sebenarnya tidak ada jaminan Pilkada “unik” ini partisipasinya akan melebihi pilkada atau pemilu sebelumnya atau minimal sama), materi sosialisasinya bukan hanya soal Pilkada dan peningkatan partisipasi pemilih, tetapi juga informasi soal Covid-19 lengkap dengan metode dan cara pencegahannya menjadi keharusan.

Masyarakat harus terus diberi pemahaman tentang penanganan Covid-19, misalnya; social distancing, jangan berjabat tangan, larangan berkerumun, pakai masker, sering cuci tangan pakai sabun dan menggunakan hand sanitizer.  Sosialisasi  tersebut wajib disampaikan kepada peserta dan pemlih. Pun memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa penyelenggara pemilu yang akan berinteraksi dengan pemilih adalah benar-benar selektif secara kesehetan dan bebas dari Covid-19.

Harapannya, Pilkada serentak tidak lagi diintepretasikan sebagai demokrasi porsedural, melainkan demokrasi yang substansial.  Indikatornya adalah pemenuhan hak-hak rakyat, dimana merekalah menentukan nasib pembangunan daerahnya masing-masing.  Sehingga keterlibatan masyarakat secara langsung adalah wujud dari upaya pemenuhan hak-hak politik rakyat dalam menentukan arah pembangunan ditiap daerah.

Suka tidak suka, tahapan dan penyelenggaran pilkada serentak tahun ini telah diputuskan meski di tengah pandemi. Pada akhirnya, penyelenggaraan tahapan pilkada di tengah pandemi wajib mematuhi protokol kesehatan. Semua wajib mematuhinya. Baik penyelenggara, peserta dan pemilih. 

Sehingga pelaksanaan pilkada tahun ini  benar-benar berkualitas meski di tengah pandemic mematikan. Dengan demikian, salah satu kunci dari kesuksesan pilkada serentak di tengah pandemi Covid- 19 adalah mematuhi protocol kesehatan (***)

Penulis : Alumni di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia Cabang Manado  

Tulisan ini sudah dimuat di halaman kompasiona.com dengan Judul; Pilkada Serentak Yang Diharapkan dan Covid-19 Yang 'Ditakuti'

nulondalo online

Media yang dihidupi & dikembangkan oleh Jaringan Anak Muda NU Gorontalo

Lebih baru Lebih lama