![]() |
Foto Istimewa (sulawesi.com) |
Oleh : Man Muhammad
Habib Idrus bin Salim Aljufri, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Guru Tua, pendiri Pondok Pesantren Alkhairaat, dari jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada
Abna’ Alkhairaat dalam gubahan syairnya;
“Manusia
berbeda-beda dan watak mereka pun beragam
sekalipun yang rendah budi
meninggalkan Alkhairaat
segelintir
orang telah menyusu (menimbah ilmu) dari Alkhairaat
lalu menyatakan permusuhan sesudah
memperoleh ilmunya
celakalah
bagi mereka yang mengubah langkah-langkahnya dalam perjalanan
dan menukarkan agama dengan dunia,
sungguh mereka melampaui batas
apakah
mereka berdalih inilah kecintaan
tidak, mereka sungguh telah berbohong
tentang apa yang mereka katakan
tidak
mengherankan maka sejarahlah yang mengingatkan kepada kita
sesungguhnya
orang yang jahat bila dihormati,
mereka malah mengkhianati”
Sebagai orang yang selalu meneguk air kehidupan di Alkhairaat,
‘manhaj Alkhairaat’ tentunya tidak akan pernah lepas dan sangat berpengaruh di
setiap lika-liku dan cara pandang saya –Abna’ Alkhairaat secara umum— terhadap pelbagai
permasalahan (agama). Perihal akidah, menjadikan Asya’irah sebagai pilihan.
Masalah fikih, madzhab Syafi’I menjadi rujukan utama –tanpa menafikkan tiga
madzhab yang lainnya—, dan pilihan thariqah berkiblat kepada thariqah
alawiyyah. Tiga hal ini –akidah, madzhab, dan thariqah—yang kemudian jadi hal
paling utama dan pondasi paling dasar bagi setiap kita yang mengaku pecinta
Habib Idrus. Pecinta Alkhairaat.
Bertolak dari tiga hal itu –akidah, madzhab, dan thariqah—, Habib
Idrus pun menjadikan arah perjuangan Pondok Pesantren Alkhairaat yang didirikannya
pada bulan Muharram 1930 M, fokus terhadap dunia pendidikan sebagai jalan
dakwahnya. Sebab menurut habib Idrus, tuntutan pendidikan dan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan yang luas –ilmu pengetahuan agama, khususnya— dapat
menampilkan ajaran Islam secara rasional. Yang sesuai dengan zaman, dengan
kemanusiaan. Artinya, dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang luas, kita
dapat menampilkan ajaran Islam dengan citranya sebagaimana Islam diturunkan.
Yang shalih fi kulli zaman wa makan.
Pandangan-pandangan keagamaan yang berlandaskan pengetahuan
berbasis agama seperti ini, atau yang kita sebut dengan fikih Islam menurut Dr.
Faruq Abu Zaid, tidak lain merupakan sebuah refleksi dari perkembangan kehidupan
sosial yang terjadi dalam masyarakat kita. Perkembangan ini dalam pandangan
fikih bisa berubah, berkembang, dan berganti, sejalan dengan situasi zaman dan
konteks sosialnya masing-masing.
Dalam hal ini kemudian para ulama fikih
bersepakat bahwa, hukum-hukum yang berdiri di atas landasan yang berubah dan
berkembang, niscaya akan berubah dan berkembang juga sesuai dengan perkembangan
zaman di saat itu. Yang dengan itu melahirkan sebuah kaidah hukum “La
yunkaru taghayyur al ahkam bi taghayyur al azminah wal amkinah wal ahwal” (perubahan
hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas, dan situasi sosial).
Simpelnya, kita kenal bahwa dalam madzhab Syafi’I ada Qaul Qadim (saat
Imam Syafi’I bermukim di Irak) dan ada Qaul Jadid (ketika Imam Syafi’I
berpindah ke Mesir).
Sebagaimana Pondok Pesantren dalam jejak historisnya merupakan
jenis pendidikan murni berwatak pribumi dan bernuansa agamis yang bercorak asli
Indonesia, maka begitu pula dengan Pondok Pesantren Alkhairaat yang memiliki
lokus di dunia pendidikan sebagai jalan juang mendakwahkan Islam. Tentu tidak
melepaskan diri dari perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan perubahan
zaman. Baik itu prubahan dan perkembangan yang bernuansa internasional,
nasional, bahkan lokal. Dari sejak masa penentangan terhadap penjajahan dan
perebutan kemerdekaan Indonesia, sampai hari ini di mana saatnya mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan NKRI, Alkhairaat selalu ikut serta.
Hari Kamis kemarin, tepatnya tanggal 12 Syawal 1441 H – 4 Juni
2020 M, adalah Haul Habib Idrus bin Salim Aljufri yang ke-52. Biasanya dua-tiga
hari menjelang acara Haul Habib Idrus, para Abna Alkhairaat sudah menuju ke
Palu. Ribuan orang akan kita dapati memadati pelataran masjid Alkhairaat untuk
sama-sama melantunkan tahlil dan mendengarkan pembacaan manaqib (biografi
perjuangan kebajikan) Habib Idrus bin Salim Aljufri.
Tetapi, di tahun ini semuanya berbeda. Di tengah wabah pandemi
yang menyerang hampir di seantero penjuru Dunia –termasuk Indonesia—, Ketua
Utama Alkhairaat, Habib Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri,
mengultimatumkan kepada seluruh Keluarga Besar Alkhairaat untuk
menyelenggarakan Haul Habib Idrus di kediaman masing-masing. Hal ini tentunya
sebagai upaya dan kontribusi Alkhairaat untuk memutuskan mata rantai penyebaran
Covid-19 di Indonesia.
Bagi Abna Alkhairaat, sudah pasti ada kesedihan tersendiri dengan
ditiadakannya Haul Habib Idrus secara berjama’ah di tahun ini. Tetapi, hal itu
kemudian sedikit terobati dengan adanya tausyiah dan nasihat-nasihat agama
sekaligus pengisahan kembali jejak perjuangan Habib Idrus semasa hidup oleh
Habib Saqqaf yang ditayangkan secara online di media-media sosial.
Ada beberapa poin penting yang tercatat oleh saya dalam tausiyah
serta amanat yang disampaikan oleh Habib Saqqaf kemarin yang berkaitan dengan
Habib Idrus dan pendidikan di Alkhairaat
pada masa-masa awal pendiriannya hingga wafatnya Habib Idrus di tahun 1969 M.
Pertama, Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, banyak sekali organisasi-organisasi yang muncul di
bumi pertiwi ini yang ikut melibatkan diri dalam percaturan politik bangsa
Indonesia. Salah satunya adalah Negara Islam Indonesia (NII) atau lebih dikenal
dengan sebutan DI/TII. Didirikan oleh seorang politisi muslim, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tujuan organisasi ini adalah
pembentukan negara Islam di Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan mereka
terjadi di mana-mana, dan lambat laun menyebar luas hingga ke pulau Sulawesi,
khususnya di Palu, Sulawesi Tengah, di mana Alkhairaat berpusat.
Selain NII atau DI/TII, ada juga Perdjuangan Rakjat Semesta
(Permesta) yang didirikan oleh Letkol Ventje Sumual, tanggal 2 Maret tahun 1957
M, berpusat di Makassar yang waktu itu menjadi ibu kota Sulawesi. Sama halnya
dengan NII atau DI/TII, tujuan politis dari Permesta lebih menitikberatkan
terhadap kuota pembagian kekuatan politik skala regional yang kemudian berefek
terjadinya konflik disertai pemberontak bersenjata oleh Permesta karena menyoal
tuntutan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia.
Pada masa-masa ini –menurut penuturan Habib Saqqaf— Alkhairaat
menentang keberadaan dua organisasi ini. Sebab menurut Habib Idrus kehadiran
DI/TII dan Permesta mencoba menciptakan kekacauan atas kemerdekaan Indonesia
yang baru seumur jagung. Suatu ketika, perwakilan dari dua kelompok ini
mendatangi Habib Idrus –tentunya kedatangan mereka dengan waktu yang berbeda—
dan meminta persetujuan Habib Idrus atas gerakan mereka. Di waktu yang lain,
Habib Idrus juga pernah didatangi dua orang perwakilan dari masyarakat. Satu
mewakili golongan tua, dan yang satunya lagi mewakili golongan muda. Perwakilan
dari masyarakat ini datang untuk meminta fatwa kepada Habib Idrus karena
semangat keagamaan dan kerakyatan di kalangan masyarakat yang telah
‘terhipnotis’ oleh orasi-orasi yang dihadirkan oleh DI/TII dan Permesta.
Habib Idrus tidak banyak berkomentar, beliau hanya menyatakan
dengan penuh ketegasan; “Ingin selamat, ikut Soekarno! Ingin selamat, jangan
keluar (berpisah) dari Indonesia! Ingin selamat, jangan buat kacau di
Indonesia!
Penegasan dari Habib Idrus ini kemudian terekam jelas dalam
syairnya yang sampai hari ini masih menjadi pegangan Abna Alkhairaat;
“Tiap bangsa memiliki lambang
kemuliaan
dan lambang
kemulian kita (Indonesia) adalah Sang Merah Putih
Wahai Soekarno! Jadikan hidup kami
bahagia
dengan obatmu
hilang sudah sakit kami
Wahai Presiden yang penuh berkah untuk
kami
engkau hari ini
laksana kimia bagi rakyat Indonesia
Bergandengan tangalah menuju ke depan
untuk kemuliaan
tujuh puluh juta jiwa dan para
pemimpin akan bersamamu
pasti engkau
jumpai kepercayaan dari rakyat
Makmurkanlah! Untuk negara Indonesia
pembangunan spritual dan material
buktikan kepada
rakyat bahwa kamu mampu
Semoga Allah membantu kekuasaanmu
dan mencegahmu dari tiap kejahatan
yang direncanakan
oleh para musuh”
Kedua, perihal masalah pendidikan di Alkhairaat yang
menjadi sorotan Habib Saqqaf dalam
tausiyahnya kemarin, 4 Juni 2020. Alkhairaat sebagai Pondok Pesantren yang
memiliki 1500 cabang yang tersebar di Indonesia Timur, hari ini seakan ‘alpa’
dalam memperhatikan Alkhairaat. Banyak sekali yang termasuk bagian dari
Alkhairaat tetapi ‘telah keluar’ dari metode pembelajaran yang diajarkan oleh
Habib Idrus. Perubahan-perubahan itu perlu sesuai dengan perkembangan zaman.
Tetapi bukan berarti meninggalkan apa yang sudah menjadi pondasi dasar di
Alkhairaat.
Sebagaimana kata kaidah “al Muhafadzatu alal qadimis shalih wal
akhdzu bil jadidil ashlah” mempertahankan/menjaga yang ada yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik.
Pola pengajaran
Habib Idrus, selain mengajarkan tentang kitab-kitab para ulama terdahulu, juga
mengajarkan tentang kesenian. Karena menurut Habib Idrus, mengajarkan anak
didik jangan menciptakan kebosanan terhadap mereka. Jangan hanya belajar kitab
terus menerus. Penting juga pembelajaran itu diselingi dengan pelajaran yang
lain. Dalam kesenian bela diri, misalnya, Habib Idrus sendiri yang menjadi
pelatihnya.
Dalam kesenian yang
lain, Habib Idrus mengajarkan cara menabuh gendang, dan menyanyi melantunkan nasyid-nasyid.
Syair-syair yang dilantunkan adalah ciptaan Habib Idrus sendiri. Dulu di
Alkhairaat ada pelajaran “Al An-Gam” (menyanyi). Sayangnya, dari ribuan syair
yang diciptakan oleh Habib Idrus banyak di antara para Abna Alkhairaat yang ada
saat ini tidak lagi hapal syair-syair itu. Bahkan di sebagian cabang
Alkhairaat, sudah meniadakan pelajaran ‘Al an-Gam.’
Padahal, dalam
syair-syair gubahan Habib ‘Idrus adalah lagu-lagu tentang semangat mencari
ilmu, berjuang di jalan dakwah, dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Semua itu bertujuan agar Abna’ Alkhairaat selain memahami ilmu
pengetahuan, ada pengetahuan lain yang berbasis keterampilan. Dengan demikian,
Habib Saqqaf sebagai Ketua Utama Alkhairaat sekaligus cucu Habib Idrus,
mengamanahkan kepada seluruh Abna Alkhairaat hari ini, untuk kembali
mempelajari bagaimana Habib Idrus mengelola pendidikan Alkhairaat.
Belum lagi
perihal tanah yang diwakafkan untuk pengembangan dan penunjang pendidikan di
Alkhairaat. Mungkin dalam hal ini Alkhairaat perlu belajar dari Muhammadiyah
bagaimana mengelola wakaf dengan sangat luar biasa. Biasanya, kalau orang
Muhammadiyah yang memiliki jabatan, kekuasaan, atau harta, maka sekolah dan
organisasi Muhammadiyah di tempat tersebut tumbuh dengan baik dan mendapatkan
perhatian yang cukup besar. Mereka memanfaatkan potensi pribadi dan harta yang
mereka miliki untuk memaksimalkan perkembangan organisasinya, terutama dalam
bidang pendidikan dan kesehatan.
Juga kita perlu
belajar dari orang-orang NU yang bangga dengan ke-NU-an mereka. Orang
Muhammadiyah yang bangga dengan ke-Muhammadiyah-annya. Lalu mengapa kader
Alkhairaat, Abna’ Alkhairaat (seakan) tidak bangga dengan ke-Alkhairaat-an yang
mereka punya? Bahkan, tidak sedikit yang “membelot” dan berpaling dari
membesarkan Alkhairaat.
Terakhir, sebagai
refleksi Haul Habib Idrus bin Salim Aljufri yang ke-52 (Nafa’anallahu bihi
wa bi ulumi fid daaraini. Aamin) saya menutup dengan sebuah nasihat, pesan,
dan amanah, yang saya dengar langsung dari Habib Saqqaf, ketika duduk di
hadapan beliau: “Silahkan Abna’ Alkhairaat aktif di mana saja. Tetapi, di mana
pun Abna’ Alkhairaat berada, seharusnya membawa warna Alkhairaat ke dalamnya,
tidak untuk diwarnai, apalagi setelah diwarnai lalu datang mewarnai warna yang
sudah ada di Alkhairaat. Silahkan kalian aktif di mana saja, tetapi ketika
kembali ke Alkhairaat, kalian adalah Abna Alkhairaat, lahir dari rahim
Alkhairaat.
Penulis adalah
Abna’ Alkhairaat di Kabupaten Boalemo-Gorontalo