![]() |
Ir. Soekarno Presiden RI Pertama |
Oleh: Man Muhammad
Sedikit melepas kerinduan, saya hanya ingin
menuliskan kembali kisah masyhur Sang Proklamator agar bisa bernostalgia bersama sejarah. Sejarah saat di mana Indonesia dikenal tidak hanya sebagai Macan Asia tapi juga Zamrud Khatulistiwa. Tidak hanya negara yang selalu diperhitungkan, tapi juga negara yang warganya selalu berada dalam naungan kedamaian.
Dulu. Yaa, kisah ini masih dulu sekali. Sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Sayyid Husein Muthahar. Pengarang lagu '17 Agustus 1945' yang kebetulan saat itu ikut bersama Bung Karno.
Waktu itu tahun 1955, Soekarno, Bapak Proklamator, Presiden pertama Indonesia, pergi menunaikan ibadah haji.
Sebagai orang nomor satu di Indonesia, sudah tentu Bung Karno dilayani dengan sebaik mungkin. Bahkan Raja Saud ikut menemaninya saat itu. Ketika tiba di Madinah, Bung Karno bertanya kepada Raja Saud yang ikut menemaninya, "di mana makam Nabi Muhammad Saaw?" Raja Saud pun menjawab, "makam Rasulullah Saaw, sudah dekat, sudah bisa terlihat dari sini" sambil menunjuk ke arah makam Nabi Saaw.
Seketika itu pula, Bung Karno melepas alas kakinya, melepaskan atribut kenegaraan yang menempel di badannya, lalu berjalan merangkak menuju makam Rasulullah.
Orang-orang yang ikut dengan Bung Karno keheranan. Mengapa orang nomor satu di Indonesia, yang disegani di berbagai belahan dunia ini melakukan hal demikian. Dengan penuh rasa penasaran, Raja Saud pun bertanya kepada Bung Karno.
"Bapak Presiden, mengapa Anda melakukan hal demikian?" Bung Karno pun menjawab dengan tegas, "Yang ada di sana itu Rasulullah Saaw, pangkatnya jauh lebih tinggi dari kita. Aku dan dirimu!!!"
Setibanya di makam Rasulullah Saaw, Bung Karno tak kuasa menahan tangis. Air matanya terus bercucuran di depan makam manusia paling agung itu..
Ada juga kisah lain yang sangat masyhur tentang Bung Karno (meskipun sangat masyhur, tapi kisah ini memang masih jadi perdebatan, karena Bung Karno tidak pernah menceritakan, juga tidak tertulis dalam buku biografinya "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams).
Saat itu, Bung diundang oleh petinggi/pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, untuk datang ke Moscow.
Memang, undangan Nikita ini ada unsur politik. Karena saat itu hubungan Amerika dan Uni Soviet lagi memanas, dan Nikita ingin menunjukkan kepada Amerika bahwa Bung Karno mendukung Uni Soviet.
Sebagai seorang nasionalis, pancasilais, indonesiais, dan agamis, Bung Karno tentunya sadar akan tindakan apa yang harus ia ambil dalam keadaan seperti itu. Yang jelas, apapun nanti tindakannya, ia hanya ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia, orang-orang Indonesia, itu tidak bisa diatur-atur oleh negara manapun, oleh siapapun.
Bung Karno pun mengajukan syarat atas undangan Nikita. 'Temukan makam Imam Bukhari' adalah syarat yang diajukan. Nikita yang non muslim tentunya kaget atas syarat yang diajukan Bung Karno. Siapa Imam Bukhari tentu ia tidak tau, apalagi harus menemukan makamnya.
Nikita pun kewalahan, ia melakukan penawaran kepada Bung Karno. Tapi Bung Karno tetap bersikeras, ia tetap kukuh dengan syarat yang diajukan. Uni Soviet mau tidak mau harus menerima syarat tersebut, yang berarti harus menemukan makam Imam Bukhari.
Akhirnya, Nikita mengerahkan semua warga Uni Soviet agar bisa menemukan makam Imam Bukhari, supaya Bung Karno bisa datang ke Soviet. Setelah melakukan pencarian yang cukup lama, ditemukanlah makam Imam Bukhari di daerah Samarkand, Uzbekistan (dulu masuk dalam Uni Soviet, tapi sekarang telah menjadi negara sendiri).
Bung Karno pun datang ke Uni Soviet untuk berziarah ke makam Imam Bukhari sekaligus memenuhi undangan Nikita Khrushchev. Adapun Amerika sebagai Blok Barat, melihat kedatangan Bung Karno ke Soviet, bukan karena memberi dukungan ke Uni Soviet sebagai Blok Timur, melainkan sebuah kunjungan keagamaan, berziarah ke makam ulama besar Islam.
Meski kisah ini masih 'debatable' tapi saya tetap berkeyakinan, Bung Karno memiliki peran dan andil yang sangat penemuan makam Imam Bukhari.
Ya, itulah Bung Karno yang hari ini berulang tahun. Yang lahir 6 Juni 1901 M, dan wafat dua puluh hari setelah ulang tahunnya yang ke 68, tepatnya 21 Juni 1969.
Selamat ulang tahun, Bung. Selamat ulang tahun, Bung revolusioner. Yang hadirmu laksana kimia penyemangat buat rakyat Indonesia. Selamat ulang tahun, Bung orator. Yang orasi-orasimu membakar darah juang para pejuang. Selamat ulang tahun, Bapak Presiden. Yang menghapuskan penjajahan. Yang menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ya, selamat ulang tahun.
Kini, 6 Juni 2020, yang berarti 119 tahun sudah terlewati sejak engkau menghirup udara semesta. Di usiamu yang ke 22 tahun engkau telah menulis tentang Indonesia, dan berbicara tentang kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Ditangkap, dipenjara, lalu diasingkan, menjadi menu utamamu sebelum ada kata merdeka. Karena 22 tahun setelah engkau berbicara tentang Indonesia, bersama Hatta engkau didaulat rakyat untuk menjadi Presiden Indonesia yang pertama. Merumuskan Pancasila dan Undang-Undang bersama para pejuang-pejuang lainnya, sebagai Falsafah dan Dasar Negara kita.
Di 1962 dengan suara tegas engkau teriakkan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu pula bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel. Selama hidupmu, terus engkau gaungkan perlawanan dan menentang penjajahan.
Engkau konsisten bahwa di dunia ini penjajahan harus dihapuskan. Hingga akhirnya di tahun 1969, engkau tinggalkan dunia ini. Jasad memang fana, tetapi pada akhirnya semangat yang engkau tanamkan terus membara. Engkau buktikan bahwa, engkau abadi untuk selamanya.
Hari ini, penjajah memang telah angkat kaki dari Indonesia. Namun, setelah engkau meninggalkan kita, muncul penjajah-penjajah baru yang mengatasnamakan agama, yang mengatasnamakan bangsa, yang mengatasnamakan Indonesia. Rupa mereka bermacam-macam. Ada yang berwajah sosialis, agamis, kapitalis, akademis(i), politis(i), dan masih banyak lagi, Bung. Intinya hanya satu, mereka menjajah, diam-diam, pelan-pelan.
Tetapi, engkau tenang saja di sana, Bung! Rayakan saja ulang tahunmu dengan bahagia di sana. Karena di sini, meskipun tidak banyak, namun masih ada yang ingin mengikuti jejak langkahmu. Melanjutkan cita-cita perjuanganmu. Untuk Indonesia kita, Indonesia tercinta(*)