KH. Abdurrahman Wahid
Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya.
Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi
kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu
pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat
pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat
akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian
republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya
dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling
bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau
di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis,
seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain. Hukum agama masa awal Islam
kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat
pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’.
Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam
beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum
(legal theory) tersendiri. Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan
yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi
pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan
menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum
pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai
syari’ah.
Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan
hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain,
pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa
kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa
terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan
kekuatan masyarakat Islam.
Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan
posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai
seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara
bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar
negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu
akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan
pandangan.
Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme
Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri
negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’,
Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab
dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di
Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum
agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan
formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai.
Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus
‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau
Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing,
mutlak dinyatakn salah.
Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum
muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka
kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam
‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur
warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang
beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi
bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan
literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk
menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya
dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana:
bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di
negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil
katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa,
dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja,
layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika
Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional
Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’
berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata
‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’,
padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru
terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang
harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam
tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?
Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik
arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi
total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal
dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama
Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena
kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu
penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam
belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya.
Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana
saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya.
Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?
*) Tulisan ini pernah dimuat Tempo, 16 Juli 1983