![]() |
Foto Istimewa |
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Dalam
era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan; mungkinkah
demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan
datang? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pernyataan ini tentulah
mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar
dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi
seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan
menegakkan demokrasi.
Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media
massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas
akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong
orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.
Mengapa
artikel ini dimulai dengan pertanyaan di atas? Karena penulis yakin bahwa
konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang
sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping
itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo.
Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih
memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting tradisi kita belum
melahirkan budaya politik yang sehat.
***
Apakah
ini berarti kita akan kembali pada masa Orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa
pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti
pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau kita bersedia
melakukan perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini
tidak akan terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah
pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting
dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara
kesatuan).
Misalnya
dalam hal pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil
oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali ke daerah. Sekarang harus
dibalik, sebagian besar katakanlah 70 persen untuk daerah asal yang
menghasilkan devisa dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Dengan penghasilan
itu plus penghasilan pusat dari pendapatan non-ekspor (pajak, cukai dsb) cukup
untuk biaya pemerintah pusat dan daerah-daerah miskin.
Demikian
juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya
yakni tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat tetapi ditentukan secara
mandiri oleh daerah masing-masing.
Pemerintah
pusat hanya menjadi wasit dan menjaga konstitusi dalam praktek pemilihan kepala
daerah yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pegawai negeri juga akan
terbagi dua yaitu pegawai negeri daerah dan pegawai negeri pusat. Dalam ukuran
kecil sekarang telah terjadi, meski dengan persepsi yang distortif. Di mana
saat ini dipahami pegawai negeri pusat adalah mereka yang berada di pusat dan
menjadi bagian dari kelompok elite kekuasaan yang memiliki otoritas lebih
dibanding pegawai negeri daerah.
Pengertian
pegawai negeri pusat dan daerah di sini tidak demikian. Perbedaan ini
dimaksudkan untuk pembagian tugas dan tanggung jawab serta wilayah kerja
masing-masing agar dapat bekerja secara efisien dan efektif, sementara otoritas
dan posisi masing-masing tetap sama. Dengan sistem ini perwakilan
departemen-departemen di daerah akan hilang kecuali beberapa saja, dan
digantikan oleh kantor-kantor daerah (termasuk ekspor).
Pemerintah
pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal yaitu politik luar negeri dan
pertahanan. Dalam hal ini daerah-daerah harus ikut saja pada keputusan pusat.
Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan
tugasnya tunduk pada gubernur, wali kota, dan bupati bukan pada pemerintah
pusat. Hubungan pusat dan daerah yang bersifat koordinatif haruslah menjadi
hubungan yang setara, bukannya subordinatif seperti sekarang.
***
Lalu
bagaimana halnya dengan institusi-institusi yang ada? Yang jelas, ABRI harus
melepaskan tanggung jawab keamanan yang ada. Dia cukup mempersiapkan diri
secara profesional dalam mengurusi pertahanan negara. Dengan demikian wilayah
kekuasaannya menjadi ciut, tetapi lebih berisi dan berbobot dan lebih mudah
mempertanggungjawabkan tindakannya. Demikian pula kebebasan daerah memilih
pemerintahannya. Dengan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan
secara cepat, kontrol dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga
menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah.
Dalam
pemilihan pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan
standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan
untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat
berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah. Ini pun masih disertai
dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif. Dalam hal ini berarti
yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan
manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya
manifestasi kedaulatan birokrasi, seperti selama ini terjadi.
Dalam
pada itu masa lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya
kekuatan masyarakat. Sekarang saja ABRI dan birokrasi pemerintah harus menerima
kehadiran lebih dari satu serikat buruh (SBSI). Demikian pula kebebasan pers
untuk mengritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam
bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak
legislatif juga sudah mulai berani mengritik pihak eksekutif secara terbuka,
meskipun hal ini masih dilakukan secara malu-malu, sebagaimana terlihat saat
ini.
Hal
ini perlu dimaklumi karena DPR dan MPR sekarang masih produk Orba. Pemilu yang
akan datang juga sudah ada kemungkinan dapat diikuti oleh pihak-pihak lain di
samping PPP, Golkar dan PDI. Namun spontanitas –sebagai cermin aspirasi rakyat
yang murni- belum muncul karena masih dimungkinkan adanya sikap menahan satu
pihak untuk tidak ikut pemilu dengan alasan penyederhanaan partai-partai
peserta pemilu. Ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan
untuk itu.
***
Beberapa
hal di atas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat
mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan
titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. Di samping itu, untuk
jarak lima sampai sepuluh tahun ini pihak yudikatif belum memiliki independensi
penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai.
Demikian
halnya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, walaupun ada bahaya
separatisme. Sedangkan perlindungan hak-hak asasi warga sebagaimana tertuang
dalam deklarasi PBB, juga masih panjang. Walhasil yang terjadi adalah proses
meningkatnya demokrasi secara perlahan, dan berkurangnya kekuasaan pemerintah
atas rakyat sedikit demi sedikit.
Dalam
hal yang demikianlah pertanyaan pada awal tulisan ini patut dikemukakan karena
membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga
bukan persoalan mudah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan membubuhkan tanda
tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah
percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan
legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.
Di
sinilah terletak beberapa anggapan, bahwa tradisi atau budaya politik haruslah
sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya.
Karenanya dapatlah dimengerti mengapa jawaban pada pertanyaan di awal tulisan
ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuangan melalui serangkaian
pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme
kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan
posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Tulisan
ini dimuat di KOMPAS Selasa, 01-09-1998.