Kelompok “Terorisme” di Pohuwato; Kesalahan Kita Bersama

 

Foto : Samsi Pomalingo (FB Pribadi)


Oleh : Samsi Pomalingo

Hari Jumat tanggal 27 November 2020, Gorontalo untuk kesekian kalinya dikagetkan dengan berita penangkapan oleh Densus 88 terhadaap 7 orang terduga teroris di Kabupaten Pohuwato (Kecamatan Buntulia dan Randangan). 

Betapa tidak, Gorontalo yang dikenal dengan daerah “Serambi Madinah” yang memiliki falsafah hidup “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah” harus menelan pil pahit atas kejadian ini. Tidak ada yang menduga kalau peristiwa penangkapan teroris bisa terjadi lagi di Gorontalo. Dan ini fakta bahwa Gorontalo menjadi target bukan hanya persembunyian tapi juga perekrutan anggota baru sebagai “terrorist family” yang harus diwaspaadai secara bersama.   

Kenapa Harus Pohuwato?

Gorontalo memang secara geografis-demografis boleh dikatakan sebagai daerah pegunungan, karena memang dimana-mana ada gunung. Tapi kalau gunung yang dijadikan alasan akan keberadaan para teroris di Pohuwato maka itu keliru. 

Sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan para teroris menjadikan gunung sebagai lokasi untuk sekedar persembunyian. Atau hanya karena pemerintah kurang hati-hati dalam menyikapi persoalan terorisme kemudian dijadikan alasan bahwa itu menjadi bagian dari tumbuh suburnya keberadaan terorsime di daerah ini, ini tidak bisa dibenarkan.  

Kehadiran terorisme di negeri ini karena ada “ruang” yang dengan secara sengaja kita ciptakan dengan membolehkan mereka tumbuh dan berkembang di negeri ini. Ruang yang saya maksud adalah kelemahan akan sikap kita sebagai warga negara secara bersama kurang produktif dalam menciptakan nuansa kemanuisiaan dan menyebarkan Islam sebagai rahmataan lil alamin. 

Ruang ini kita rawat dan kita biarkan orang lain masuk sehingga mereka menjadi banyak dan bebas beraktifitas dimana-mana. Ketika ada “bom” baru kita sadar ada juga yang “cuek”, oh ternyata ada orang lain dengan “identitas ganda” ada di tengah-tengah kita. 

Pemilihan Pohuwato bukan karena ada gunung (karena kelompok ini ditangkap bukan di gunung), atau sambutan Wakil Gubernur Gorontalo di acara pengresmian Banuroja sebagai “desa Pancasila” dan juga launching program Forum Pemuka Masyrakat Cinta Desa (FORPEACE) di desa tersebut, tapi karena, sekali lagi ada “ruang” itu yang menyebabkan mereka ada di Pohuwato. 

Kita lengah membendung gerakan “bawah tanah” jaringan teroris di negeri ini. Mereka leluasa bergerak kesana kemari dengan identitas ganda yang mereka lakoni. Kita asik dengan ruang chit chat yang tidak produktif. 

Sibuk dengan proyek memperkaya diri, termasuk sibuk dengan peneguhan akan “ego” dan “watak” elitis yang kita paksa untuk itu. Kita lupa bahwa di negeri ini ada segerombolan orang yang dengan sadar atau tidak sedang merencanakan aksi separatis untuk merongrong kekuasaan yang sah dan berencana mengganti ideology pancasila dengan “ideology kosong” mereka.   

Pemerintah Tidak “Cuek”

Jika kita lihat dari sudut pandang sosio-antropologis, masyarakat Pohuawato adalah contoh dari masyarakat yang heterogen yang sudah teruji dengan kerukunan antar umat beragama. Masyarakatanya yang religious dan saling menghormati satu sama lain dengan perbedaan agama dan etnik yang mengitarinya. 

Tapi pertanyaannya, kenapa harus Pohuwato? Ini yang harus kita jawab, jangan berspekulasi dengan “analisa rendahan” yang justru akan memunculkan polemic dikalangan masyarakat Pohuwato. Kita harus duduk bersama pemerintah dan aparat untuk bisa mengurai mata rantai jaringan teroris. 

Bukan melihat dari jauh dan sembarangan berargumentasi tanpa melihat itu secara dekat. Orang hanya bisa berspekulasi karena secara geografis Pohuwato adalah pintu masuk menuju Poso, atau ada juga spekulasi memilih Pohuwato karena dekat dengan Manado karena menjelang hari Natal. 

Tidak bisa kita berspekulasi tanpa bangunan argumentasi yang jelas, apalagi sampai menyalahkan pemerintah. 

Program deradikalisasi oleh pemerintah dan penangkapan kelompok teroris oleh densus 88 terhadap kelompok teroris di negeri ini adalah bukti bahwa pemerintah kita telah bekerja. Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan di masyarakat bawah (bukan masyarakat elit) untuk mensosialisasikan bahaya gerakan kelompok teroris. 

Bukan ngopi di warung kopi dengan berbagai kelompok elit, atau berkerumun dengan para pejabat dan ikut-ikutan berpenapilan kaya pejabat. Bukan itu semua, yang kita lakukan sebagai kelompok terdidik (intelektual) adalah mengambil peran masing-masing dalam upaya “memerangi” kelompok teroris dengan “senjata pengetahuan” agar pesan-pesan tersampaikan ke masyarakat bawah untuk tidak ikut-ikutan dengan doktrin murahan kelompok teroris.

Berhenti “Saling Menyalahkan”

Sudah saatnya kita merasa lelah dengan aktivitas elitisme yang cenderung pragmatis. Mari bersinergi dan saling membahu untuk menyiarkan pesan-pesan ilahi yang penuh dengan kasih sayang. Kita harus merubah metode atau pendekatan kita dalam mengatasi tumbuh suburnya kelompok teroris di negeri ini.  

Apa yang bisa kita lakukan, maka lakukanlah, bukan juteru menyalahkan orang-oraang yang sudah bekerja. Gorontalo-Pohuwato harus kita jadikan lahan garapan bersama dalam rangka deradikalisasi pemikiran keagamaan yang cenderung menyesatkan dan tidak memuliakan.  

Sebab hasil survey Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) pada tahun 2017, Gorontalo adalah peringkat ke 2 dengan prosentase 58, 48 persen, setelah Bengkulu dengan anka 58, 58 persen  sebagai daerah tertinggi berpotensi paham radikalisme. Hal ini terkait letak geografis dimana Provinsi Gorontalo diapit oleh daerah rawan seperti Poso di Sulawesi Tengah dan dekat dengan Filiphina.

Hasil survey di atas jelas mengagetkan banyak orang termasuk Majelis Ulama Indonesia Provinsi Gorontalo. Betapa tidak, Gorontalo dikenal dengan daerah yang masyarakatnya penuh dengan keramahan dan juga sebagai daerah “serambi Madinah”. 

Tapi apa sebenarnya yang terjadi, sehingga orang-orang itu bisa terpapar oleh paham dan doktrin kelompok teroris? Seharusnya kita belajar dari hasil survey yang ada. Organisasi masyarakat (NU dan Muhammadiyah beserta Banom dan Ortom) harus membantu pemerintah dalam mengatasi ini. 

Organisasi PMII dan ANSOR yang tak pernah berhenti melawan paham-paham radikal dan intoleran untuk tetap terus menyebarkan pesan-pesan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Sebab lahan garapan perekrutan anggota atau yang saya sebut “terrorist family” adalah mahasiswa atau pemuda. Karakter inilah yang mudah dibujuk dengan janji-janji surga yang belum pasti. 

nulondalo online

Media yang dihidupi & dikembangkan oleh Jaringan Anak Muda NU Gorontalo

Lebih baru Lebih lama