![]() |
Ketua Cabang PMII Kota Gorontalo, Sahabat Apriyanto Rajak (foto Istimewah) |
Penulis: Apriyanto Rajak
PMII resmi berdiri 17 April 1960 di Surabaya. Ia tercipta atas desakan anak muda NU. Meskipun sejarahnya adalah lahir dari rahim organisasi Islam tersebar di dunia itu, namun dalam perjalanannya PMII berani mengambil sikap untuk independensi dideklarasi munarjati tahun 1972. Keterpisahan PMII-NU sekadar menegaskan garis struktural, sedangkan tradisi kultural dan ideologis telah begitu mengakar kuat.
Sejak berdirinya PMII dari masa orde lama, tentu kontribusinya tidak perlu diragukan bagi negara dan agama. Perisai biru kuning tidak sekadar mengambil posisi membela masyarakat tertindas akibat sistem kapitalisme; pun memiliki tanggung jawab meramu perbedaan: baik suku, agama dan ras sebagai entitas kekuatan bangsa Indonesia. Tak bisa disangkal bahwa dengan hadirnya PMII di tengah organisasi kemahasiswaan lainnya, telah menyuguhkan keseimbangan pengetahuan dengan tidak ekstrim kiri atupun ekstrim kanan.
Kultur moderasi senantiasa menjadi identitas warga pergerakan yang wajib diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini pun ditegaskan pada salah satu prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni Tawassuth. Meski demikian, bukan berarti semua kader telah begitu mahfum dan atau memiliki kesadaran penuh dalam mewujudkan prinsip tersebut. Pada kenyataanya, masih banyak kemudian yang hilang arah ketika salah satu landasan ini bersua dengan realitasnya.
Memang, cara berfikir moderat tak perlu diragukan di kala kader PMII menghadapi kelompok ekstrim kiri maupun kanan. Akan tetapi, model pikiran semacam ini akan sulit ditemukan ketika dihadapkan dengan problem internalnya sendiri. Sebagai misal, kita banyak menjumpai fenomena PMII di setiap daerah yang mengalami problem, yang pada dasarnya, diakibatkan oleh dominasi cara berfikir politik praktis. Sikut kiri dan kanan antar sesama seakan telah menjadi habitus.
Cara pandang politik praktis yang kian akut dan menggurita di tubuh negara itu kemudian energinya dibawa ke PMII. Tentu aliran semacam ini dibawa oleh kader-kader memiliki watak politisi. Meski sebenarnya, definisi dan konteks politik praktis begitu berbeda antara negara dan PMII. Akan tetapi cara memainkannya kurang lebih sama: mengedapankan kepentingan kekuasaan ketimbang memperjuangkan nilai-nilai yang ideal.
Memang secara umum, PMII lebih berhasil ketimbang rival abadinya: HMI yang lebih dahulu lahir. Hal ini jika dilihat dari jumlah cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Data PB PMII menyebutkan, sudah kurang lebih 230 cabang dan 24 koordinator cabang telah terbentuk. Tentu catatan yang fantastis ini tidak hadir begitu saja, namun dengan perjuangan dalam merawat setiap hembusan napas kaderisasi. Meski begitu, kita tidak boleh menutup mata bahwa keberhasilan ini berjalan bersamaan dengan rapuhnya solidaritas. Jika di dalam agama terdapat sekte-sekte; PMII pun demikian adanya.
60 tahun PMII berdiri. Usia yang tidak lagi muda. Sudah semestinya hal yang keropos segera ditambal. Memang, pada kenyataannya setiap organisasi akan menjumpai masalah yang beragam. Setiap lika-liku dinamika akan menjadi benturan untuk menghantarkannya pada apa yang disebut “terbentuk”. PMII hanyalah sebuah objek yang mati. Ia takkan mungkin berbuat apa-apa tanpa kita yang menggerakkan cita-cita sebagaimana yang termaktub dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP).
Defisit Nalar
Akumulasi pengetahuan yang sudah dipupuk lebih dari setengah abad ini, sebenarnya, menjadi kekuatan dalam membaca arah gerak PMII ke depan. Pergulatan PMII semenjak Indonesia merdeka merupakan mental perlawanan yang mesti harus dirawat dalam kepala. Segala bentuk konstruksi gerakan yang tidak sekadar “wacana” sejatinya adalah identitas warga pergerakan. Paradigma yang kerap berganti baju sebetulnya ialah wujud dalam membaca setiap keadaan yang dengan begitu cepat berubah.
Akan tetapi, alih-alih kader PMII merujuk ulang untuk meneguhkan posisinya sebagai penjaga gawang utama intelektual muda NU; dan atau membaca aras identitasnya sebagai insan yang senantiasa bergerak membela kaum mustadh’afin – justru pada kenyataannya mengkerdirkan dirinya dengan menjeburkan dalam laku hidup politik praktis. Akhirnya kita harus fasih mengucapkan: defisit nalar diakibatkan oleh transaksi kepentingan yang seakan tanpa memiliki batasan.
Politik praktis yang dimaksud di sini ialah soal gula-gula jabatan dan argumen transaksi yang mendominasi batok kepala. Di titik ini banyak kader yang sering lupa bahwa posisi yang semestinya masih harus bergelut pada ruang-ruang kaderisasi dan mempertahankan napas idealisme sebagai kemewahan terakhir, justru begitu mudah tergiur doktrinasi yang didalangi oleh sekte-sekte senior yang tidak memikirkan nasib generasi PMII ke depan. Fenomena ini akan lumrah kita jumpai di Gorontalo. Sebuah wilayah yang sudah didiami PMII sejak era awal orde baru.
Alhasil, PMII yang senantiasa dekat dengan kelompok marginal yang selalu meronta-ronta ketika nilai kemanusiaan direnggut oleh negara – seakan telah jauh dari dirksursus itu, terlebih dalam praksis gerakannya. Keberpihakan pada rakyat tertindas yang dibangun selama ini mulai dari level nasional hingga oleh para aktor PMII Gorontalo, nyatanya tidak mampu menjadi spirit dalam menata gerakan saat ini. Sebenarnya romantika gerakan lokalnya ada, namun tidak sampai pada level membangun dinamika dan dialektika.
Masing-masing dari kita mestinya harus mahfum bahwa sejatinya gerakan tidak akan masif dan atau menjumpai cita-citanya, jikalau sekte-sekte yang bermuara pada pengkultusan ini tidak sesegera mungkin dipotong. Bukan malah merawatnya. Kita hendaklah bersikap jujur, dan itu harus diakui telah terjadi kemunduran gerakan. Masih ada waktu untuk menata ulang. Mencicil secara perlahan. Peran dari semua level senior menjadi keharusan, itu pun jika masih ingin melihat PMII di Gorontalo mempunyai taji untuk berhadap-hadapan dengan penguasa.
Defisit nalar dan kegamangan yang dialami saat ini tidak lahir secara alami, namun melalui proses dan benturan panjang yang itu membentuk konteks masa kini. Jika kemunduran diakibatkan oleh donimasi cara pandang politik praktis, maka sudah saatnya merubah arah gerakan dengan kembali mendekatkan PMII pada realitas yang sebenarnya. Kembali pada masyarakat akar rumput yang hidupnya kerap diperkosa oleh penguasa; seperti nelayan, petani, buruh dan kaum marginal lainnya.
Membangun Literasi
PMII di Gorontalo awal kali di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Cabang Gorontalo, yang sekarang telah menjadi Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Komisariat pertama diawali di situ. Berdasarkan kartu keanggotan yang dimiliki oleh Prof. Dr. Usman Kaharu, PMII sudah ada di Gorontalo sejak tahun 1966. Kartu keanggotaan itu ditandatangai langsung oleh sahabat Drs. Edi Bakari, yang merupakan Ketua PMII Gorontalo pertama. Sahabat Edi sendiri telah wafat 24 Agustus 2014.
Jika dilihat berdasarkan kartu keanggotaan itu, hadirnya PMII di Gorontalo hanya berbeda enam tahun sejak PMII didirikan 1960 di Surabaya. Sudah kurang lebih 54 tahun PMII berpijak di Gorontalo. Tapi, sejarah ia lahir belum bisa dipastikan. Selama ini sekadar dituturkan. Itu pun banyak sekali patahan-patahan sejarah. Padahal pengetahuan kesejarahan teramat penting sebagai jati diri kader PMII di wilayah lokal.
Penuturan Prof. Usman, yang ia ketahui bahwa PMII sudah ada di Gorontalo sejak 1965. Namun di tahun itu belum berbentuk sebuah organisasi. Nanti setelah tahun berikutnya, baru kemudian menjadi organisasi. Ia mengatakan, belum diketahui secara pasti siapa tokoh-tokoh yang mempelopori awal kali perisai biru kuning berhasil berdiri di Gorontalo.
Dari sini mestinya kita harus membangun kesadaran bahwa PMII di Gorontalo banyak hal perlu ditambal; pengetahuan wajib lekas dicicil. Segala macam pergerseran nalar dari yang mulanya produktif ke kontraproduktif diakibatkan oleh lemahnya keinsafan dalam menyusun haluan PMII ke depan. Cara pandang politik praktis patut diamputasi segera; lalu menggantinya dengan semangat membangun literasi.
Kita punya banyak stok akademisi dan atau pun orang-orang yang masih konsisten berada pada garis perjuangan yang mesti segera dimanfaatkan, seperti Romo Samsi Pomalingo, Djemi Radji, Dikson Yasin, Arfan Nusi, Abd. Kadir Lawero, Aljunaid Bakari dan lain sebagainya. Dibutuhkan banyak energi untuk menata dan menggerakkan PMII Gorontalo di tengah gempuran berbagai sekte.
Untuk itu di akhir tulisan ini saya mengutip apa yang disampaikan Prof. Usman: “Kelemahan kader PMII saat ini adalah tidak ingin menyatu, sehingga tidak menyatu. Tidak ingin mengalah, padahal mengalah untuk menang.” Dalam kutipan tersebut amat terang bahwa, kemunduran PMII bukan karena gagal bersaing dengan organisasi lain, melainkan oleh ego yang telah menggurita di dalam kepala kita masing-masing.***