![]() |
Man Muhammad (Foto: FP Pribadi) |
Oleh: Man Muhammad
Sebelum menulis panjang lebar, kiranya ada baiknya saya perlu menyajikan kembali cerita menarik yang sering dijadikan ‘meme’ di sosial media.
دخل الولد فى الحمام وأنشد "طلع البدر علينا من ثنيات الوداع" فدخل عليه أبوه فضربوه، فبكي الوالد فجائت امه وقلت : لماذا ضربت الولد؟ فقال : يقرأ القران في الحمام، فقالت امه هذا ليس من القران بل قصيدة العربية، فبكي الأب فقالت لماذا تبكي؟ فقال منذ ثلاثين سنة اقرأ هذه في الصلاة.
Seorang anak masuk ke dalam kamar mandi dan bernyanyi, “Thala’al badru alaina min tsaniyyatil wada”, kemudian ayahnya masuk ke dalam kamar mandi dan memukul anaknya. Anaknya menangis, lalu datang ibunya dan bertanya, kenapa engkau memukulnya? Ayahnya menjawab ‘Anak ini membaca Alquran di dalam kamar mandi’. Ibunya berkata, ini bukan termasuk Alquran, tetapi qasidah (lagu-lagu) yang berbahasa Arab. Menangislah bapaknya –setelah mendengar jawaban istrinya—, lalu kembali ibunya bertanya, kenapa engkau menangis? Bapaknya menjawab, sejak tiga puluh lalu saya membaca ‘Thala’al badru, dst’ di dalam shalat.
Kisah kedua, salah satu keunggulan bangsa Arab, yaitu membuat syair yang digunakan untuk memuji atau menghina orang lain. Terkadang juga, syair tersebut sering diperlombakan. Dulu, di zaman Nabi Saw, ada seorang yang bernama Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah yang tinggal di Yamamah. Musailamah ini terkenal dengan orang yang pandai dengan tutur yang lemah lembut dalam berbicara. Dalam golongannya, Musailamah ini mempunyai pengaruh cukup besar. Makanya tidak heran dia memiliki banyak pengikut.
Karena pengaruhnya ini juga dia ingin sekali menandingi ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Salah satu contohnya adalah surat Al-Fiil, yang berarti gajah. Jika di dalam Alquran surat Al-Fiil seperti yang kita ketahui menerangkan tentang bagaimana pasukan gajah dibawah pimpinan Abrahah diporakporandakan oleh sekumpulan burung ababil kiriman dari Tuhan karena niat ingin menghancurkan Ka’bah. Berbeda dengan Al-Fiil ciptaan Musailamah yang tidak jelas kandungannya melainkan hanya bercerita tentang gajah sebagaimana umumnya gajah yang diketahui banyak orang.
Karena hal itu pula, nama Musailamah populer dengan laqab al Kadzab atau pembohong. Mari kita simak salah satu surat ciptaan Musailamah al Kadzzab;
الفيل – ما الفيل – وما أدراك ما الفيل – له زلوم طويل
Gajah--Apa itu gajah--Tahukah kamu apa itu gajah--Gajah itu yang memiliki belalai yang panjang.
Lalu, apa hikmah dari dua kisah ini terkait judul dalam tulisan saya?
Jadi begini mantemans, agama memang menjadi sesuatu yang sangat ‘seksi’ sejak pertama kali diturunkan. Entah itu langsung diterima, ditentang dengan penolakan, sampai hari ini jadi ‘permainan’ bahkan sebagai alat untuk tujuan politis. Makanya, perihal agama (Islam, khususnya) meskipun dinamis, tetapi Rasulullah Saw tidak pernah main-main. Ada hal-hal qath’i yang tidak bisa diubah-ubah dan diganggu gugat, namun ada juga yang bersifat penafsiran.
Islam pertama kali diturunkan di Arab, tetapi berislam tidak mesti menjadi orang Arab. Meski bahasa Arab menjadi satu hal penting dipelajari agar menjadi fakih dalam agama Islam, tetapi memilih Islam sebagai agama tidak harus bisa berbahasa Arab. Singkatnya, Arab dan Islam tidak dapat dipisahkan –dalam sejarahnya— tetapi kehadiran Islam lebih tinggi dari Arab.
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan ‘lafadz adzan’ yang ramai diperbincangkan di media sosial. Tentunya kehebohan ini membuat pertanyaan dalam benak saya, karena dilihat dari sisi mana saja mengubah lafadz adzan sama sekali tidak dibenarkan. Sebab, Nabi Muhammad Saw tidak pernah sekalipun mengubah lafadz adzan, bahkan saat perang tidak ada sedikit pun lafadz adzan yang diubah. Padahal, saat itu kaum muslimin dibawah pimpinan Rasulullah Saw akan pergi berjihad.
Karena itu, lafadz adzan adalah warisan Nabi Saw dan termasuk ibadah yang sifatnya tauqifi, yaitu ibadah yang bersandar pada dalil yang jelas, baik itu Alquran atau hadis Nabi Saw, yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, mendahulukan atau mengakhirkan. Ada pun dengan penambahan kalimat “As Shalatu khairun minan naum” pada adzan shubuh oleh Bilal bin Rabah atau “Shallu fi buyutikum” –yang pernah dipraktikkan di Indonesia saat wabah korona berada pada puncakknya— itu terjadi saat Nabi masih hidup, dan mengiyakan hal tersebut. Dan tentunya, hukum pengubahannya akan berbeda saat Nabi Saw sudah tidak ada. Diubah dengan kalimat yang baik saja terlarang, apalagi diubah dengan redaksi yang terkesan ‘provokatif’.
Setelah melihat video yang beredar, saya kemudian jadi bertanya-tanya, “itu adzan shalat? Atau lafadz adzan? Mereka yang mengumandangkan itu mengajak orang untuk shalat atau mengajak orang jihad? Karena jika diperhatikan, tidak ada di situ ajakan untuk shalat. Ajakan untuk jihad? Mau berjihad ke mana? Yang jelas, untuk saat ini –wilayah Indonesia khususnya— jihad yang paling penting adalah berjihad dengan cara mencari Ilmu, dan berjihad melawan hafa nafsu sendiri. Paling tidak dua hal tersebut menjadi sebenar-benarnya jihad sebagaimana yang telah disabdakan oleh kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Tetapi, kalau lafadz adzan ini sengaja mereka ubah dan kumandangkan karena alasan politis, ya sah-sah saja. Karena dalam politik tidak ada hal yang “bid’ah”. Semuanya bisa jadi wajib. Bhahahaha.
Sederhananya, lafadz yang berbahasa Arab yang diubah atau diotak-atik, bukan jadi masalah. Sama halnya Musailamah yang membuat ayat tandingan terhadap surat Al-Fiil, selain tidak jadi masalah dan mengubah esensi Islam, tetapi malah menjadikannya mendapat julukan sebagai seorang pembohong, dan ayat tandingannya pun tidak bisa dikatakan sebagai Alquran. Begitu pula dengan ‘lafadz adzan’ yang mereka ubah. Dengan otomatis itu bukan lagi adzan. Apalagi di dalamnya tidak terdapat redaksi mengajak orang untuk shalat.
Makanya, menurut hemat saya dan dengan penuh kerendahan hati, saya harus mengakui dengan lapang dada bahwa yang mengubah lafadz adzan sebagai tandingan atas lafadz adzan yang telah diwariskan oleh Rasulullah adalah sebenar-benarnya ‘pembohong agama’. Dan mereka yang membuat video ini kemudian diviralkan, adalah orang-orang yang ‘cerdas’ dalam membuat kehebohan, dalam membuat perpecahan. Karena mereka bisa menciptakan alasan dengan dalih ‘rasional’. Sebab, video tersebut dibuat di rumah, bukan di masjid. Artinya, mereka tidak mengubah redaksi adzan, karena tidak mengajak orang untuk mengerjakan shalat.
Alhasil, dalam hal ini –masih menurut hemat saya— apa yang mereka lakukan jangan dilihat dari kacamata agama, karena pasti mereka-mereka itu juga paham bahwa lafadz berbahasa Arab yang dikumandangkan lengkap –seperti yang nabi ajarkan—setiap memasuki waktu shalat, itu namanya adzan, dan tidak bisa diubah-ubah. Tetapi, lafadz berbahasa Arab, itu bisa diubah.
Jadi, apa yang ada dalam video viral saat ini, bukan adzan. Karena adzan sudah jelas bagaimana lafadznya. Dan mereka termasuk “aman” secara hukum agama karena memang yang mereka kumandangkan itu bukan adzan, hanya saja mirip adzan yang sering dikumandangkan oleh semua umat muslim.
Intinya, yang mereka lakukan murni gerakan politik, dengan menjadikan adzan sebagai alat. Mereka mencari sensasi dengan cara mempolitisasi agama (*)