Islam Nusantara: Counter Kultural atas Populisme Islam di Indonesia

 

Ustadz Sabara Nuruddin. (Foto : FB pribadi Sabara Nuruddin )


Oleh : Ustadz Sabara Nuruddin

Kejatuhan Orde Baru membawa angin segar bagi bangkitnya beragam kelompok gerakan, yang selama rezim Orde Baru berkuasa tak memiliki ruang gerak untuk tampil.

Berbagai kelompok gerakan yang dulu “dikerangkeng” bahkan diberangus oleh rezim, sejak era reformasi kembali bergeliat dan menyuarakan kembali aspirasi politiknya.

Kelompok yang disebut dengan ekstrem kiri (eki), yaitu kelompok gerakan yang cenderung berhaluan Sosialis-Marxis dan kelompok yang dikategorikan ekstrem kanan (eka), yaitu kelompok atau gerakan Islam Politik yang memiliki komitmen perjuangan mengubah haluan negara menjadi Negara Islam, atau setidaknya, memperjuangkan penegakan syariat Islam di Indonesia.

Martin van Bruinnesen (2013) menyebut istilah conservative turn untuk menjelaskan fenomena kembalinya gerakan konservatisme Islam, setelah kejatuhan rezim Orde Baru.

Martin mengulas kebangkitan konservatisme Islam sebagai gerakan yang cukup massif, dengan memanfaatkan celah yang dimungkinkan oleh era reformasi, untuk semua gerakan dan ideologi menunjukkan ekspresi dan memperjuangkan aspirasinya.

Martin mendefinisikan konservatisme Islam sebagai “aliran pemikiran yang menolak berbagai upaya penafsiran ulang atas teks-teks ajaran Islam secara kontekstual, liberal dan progresif, serta cenderung untuk mempertahankan tafsir lteral dan sistem sosial yang baku.”

Memudarnya pengaruh pandangan keislaman yang progresif, serta menguatnya pengaruh Timur Tengah yang menyebarkan pemahaman keislaman tekstualis dan puritanis, menjadi penyebab mengapa konservatisme muncul kembali di Indonesia.

Sedangkan menurut Greg Fealy dan Anthony Bubalo (2007), jalur transmisi ide konservatisme Islam di Indonesia melalui tiga jalur. Yaitu, jalur gerakan-gerakan sosial, jalur pendidikan dan dakwah, serta jalur publikasi dan internet.

Kelompok konservatif ini merupakan gerakan trans-nasional, yang dalam kadar tertentu menggerus peran dan otoritas ormas keagamaan Islam di Indonesia.

Menurut Bruinnesen, NU dan Muhammadiyah seperti kehilangan momentum dengan kebangkitan konservatisme Islam tersebut.

Secara politik, kelompok ini melangkah lebih jauh dengan banyak memengaruhi idiom, opini, konstalasi, hingga kebijakan politik lokal, bahkan nasional.

Pada tingkat lokal di awal reformasi, misalnya, munculnya ghirah penerapan syariat Islam di tingkat lokal melalui terbitnya perda-perda berbasis syariat

Pada level nasional, momentum reformasi menstimulasi kembali hadirnya aspirasi mengembalikan Pancasila sebagaimana teks dalam Piagam Jakarta.

Meski upaya tersebut belum menuai hasil, namun pengaruhnya pada massifikasi Islamisme sebagai gerakan populisme politik di Indonesia cukup kuat. Pucnaknya pada momentum Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.

Konservatisme menemukan momentum pada masyarakat Muslim perkotaan kelas menengah, seperti diungkapkan James Hoesterey (2012), mengenai kecenderungan ekspresi kesalehan masyarakat Muslim kelas menengah perkotaan melalui tampilan publik yang cenderung simbolik. Konservatisme Islam masuk pada kalangan ini, di antaranya melalui tren hijrah

Sedangkan pada masyarakat Muslim generasi tua, memori tentang Darul Islam (DI) dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang dalam istilah Bruinnesen disebut “Islam radikal” (2002), terpantik kembali melalui Islamic conservative turn tersebut. Kalangan ini dengan sangat antusias menyambut Islamic conservative turn, yang menjelma pada gerakan populisme politik.

Conservative turn yang membawa narasi globalisme, simbolisme, dan formalism Islam, perlahan tapi pasti, masuk dengan memanfaatkan “celah” dari demokrasi untuk kemudian berkembang menjadi gerakan populisme Islam.

Sebagaimana saya ulas pada beberapa tulisan sebelumnya di website BLAM, banyak sekali bahaya yang mengancam jika populisme Islam yang berakar pada konservatsme dan radikaisme Islam dibiarkan di Indonesia. Di antaranya, integrasi bangsa Indonesia yang multikultur (bhineka) menjadi pertaruhannya.

Islam Nusantara

Islam Nusantara merupakan perwujudan integrasi Islam dan budaya lokal di Indonesia yang berlangsung sejak awal kedatangan Islam di wilayah Nusantara (Indonesia).

Islam Nusantara sebagai “cetak biru” identitas kebudayaan nasional merupakan hasil dari startegi kebudayaan Muslim Indonesia yang akhirnya melahirkan wajah dan warna Islam yang khas.

Islam Nusantara adalah potret akomodasi budaya lokal dalam beragam nilai, ekspresi hingga pernak-pernik yang bersifat fisik.

Dalam konteks keislaman, Budaya lokal tidak dipahami sebagai lokalitas an sich, karena pada kenyataannya pengaruh “asing” cukup kuat memengaruhi. Khazanah Arab, Persia, India, Cina,  bahkan Eropa berpadu dan memengaruhi corak dan bentuk kebudayaan tersebut.

Mengapa digunakan diksi Islam Nusantara bukan Islam Indonesia?, karena diksi Islam Nusantara lebih punya akar historis yang panjang dimulai dari kedatangan Islam menyapa penduduk Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.

Nusantara yang dimaksud bukan sekadar zona geografis, tapi Nusantara dalam pengertian ruang sejarah, sosial, budaya hingga politik.

Menurut Jadul Maula (2019), Islam Nusantara bisa diartikan sebagai kultur Islam yang berkembang di Nusantara. Berbeda dengan istilah Islam Indonesia, karena perbedaan dalam muatan konteks dan kronologi historis.

Mengapa menggunakan kata Islam Nusantara, bukan Muslim Nusantara? Diksi Muslim menunjuk pada orang, sedangkan Islam berkenaan dengan aspek ajaran. Islam yang dimaksud bukan dalam konteks Islam normatif, tetapi Islam dalam makna historis.

Yaitu, bukan Islam dalam pengertian common fundamen doctrine yang menyangkut akidah dan ibadah, tetapi menyangkut Islam dalam konteks sejarah sosial, budaya, hingga politik.

Islam Nusantara, adalah Islam yang telah mengalami dialog dengan kebudayaan, yang melahirkan ekspresi keislaman kultural dari masyarakat Muslim Nusantara. Hal ini mengingatkan kita pada jargon “Pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan Gus Dur,  beberapa dekade silam.

Sehingga, salah kaprah jika menyebut Islam Nusantara mengajarkan salat dalam bahasa Indonesia, atau mengganti kain kafan dengan kain batik.

Islam yang dimaksud di sini, adalah Islam yang dinamis, karena berdialektika dengan ruang sejarah sosial yang dinamis. Islam Nusantara semakin menegaskan, bahwa Islam sejatinya shalih li kulli zaman wa makan.

Islam Nusantara sebagai “cetak biru” pilar utama kebudayaan Indonesia secara politik terkristalisasi dalam Pancasila yang menjadi dasar negara. Pancasila merupakan objektifikasi dari agama-agama, terutama Islam (Nusantara), sehingga posisi Islam dan Pancasila tidak layak untuk dipertentangkan.

Pancasila merupakan karakteristik khas dalam model sistem politik sebuah bangsa muslim terbesar seperti ini dan politik bangsa Indonesia, meski bukan secara simbolik, tapi lebih pada tataran nilai universal dari Islam, yang bersesuaian dengan kultur dan tradisi masyarakat Indonesia.

Pancasila sebagai Kristaisasi Islam Nusantara mencirikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang “sosialistis-religius”. Kekuatan Islam Nusantara memback-up Pancasila membuat berbagai upaya politik untuk memformalisasi Islam sebaga sistem negara selalu mentah.

Counter Populisme

Berkaitan dengan populisme, Islam Nusantara merupakan modal kultural untuk menangkal arus populisme Islam di Indonesia. Mengarusutamakan Islam Nusantara merupakan strategi kultural untuk menangkal populisme, yang membawa misi Islam politis yang berkarakter trans-nasional.

Islam Nusantara merupakan perwujudan karakter dan prinsip-prinsip agama yaitu; awasuth (pertengahan/moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) dalam konteks masyarakat Nusantara yang multikultur.

Ketiga hal di atas (tawasuth, tawazun, dan tasamuh) secara prinsip dan implementatif bertolak-belakang dengan karakteristik, yang ditampilkan oleh kelompok populisme Islam, yang cenderung radikal, puritan, intoleran, monolitik, dan monokultur.

Mengarusutamakan Islam Nusantara berarti upaya mengembalikan Muslim Nusantara untuk kembali pada khittahnya sebagai Muslim yang moderat, toleran, mengakomodasi kultur lokal, dan nasionalis.

Konsep Islam Nusantara dipopulerkan kembali oleh Nahdlatul Ulama pada Muktamar Jombang 2015.

Islam Nusantara merupakan respons terhadap maraknya gerakan Islam trans-nasional yang mengatasnamakan paham keislaman Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), tapi jauh dari nilai Aswaja yang dianut oleh Muslim di Nusantara.

Pada akhirnya, konsep Islam Nusantara merupakan identitas Islam kultural yang ditujukan untuk menghadang penyebaran ekspresi Islam ala Arab (Arabisasi) di Indonesia, yang senantiasa berbenturan dengan karakter kultural dan kearifan lokal di Indonesia.

Islam Nusantara menggunakan pendekatan kultural yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam dengan merangkul khazanah budaya Nusantara yang multikultur, serta komitmen menjaga konsensus berbangsa, sebagaimana telah diwariskan oleh founding fathers.

Salah satu aspek khas dari Islam Nusantara, adalah penekanan pada prinsip universal Islam sebagai rahmatan lilalamin, yang diwujudkan dengan memajukan budaya damai dan toleran dalam hubungannya dengan fakta sosial masyarakat Indonesia, yang bhineka dari segi budaya dan agama.

Menghidupkan kembali karakteristik tersebut merupakan upaya counter kultural terhadap gerakan konservatisme dan radikalisme Islam, yang telah menjelma dalam gerakan politik populisme Islam.

Islam Nusantara juga mengusung keterkaitan kuat antara Islam yang sinergis dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Sebagaimana pernyataan KH. Hasyim Asy’ari, “Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.”

Alhasil, Islam Nusantara merupakan karakteristik khas Islam di Indonesia yang mengusung Islam dan nasionalisme di Indonesia. Islam di Indonesia tidak hanya bisa diwujudkan dengan menonjolkan loyalitas terhadap agama, namun juga loyalitas terhadap paham kebangsaan.

Dengan demikian, melalui Islam Nusantara, kita membangun identitas Islam di  Indonesia yang berbasis nilai kearifan budaya lokal Nusantara serta semangat kebangsaan atau nasionalisme

Melalui Islam Nusantara, loyalitas terhadap agama bersinergi dengan loyalitas  terhadap semangat kebangsaan guna menjaga integritas bangsa.

Menghidupkan kembali Islam Nusantara berarti perlawanan kultural terhadap gelombang populisme Islam yang merupakan bentuk Islamic conservative turn yang puritan, radikal, intoleran, dan mengancam keutuhan bangsa.

Pancasila sebagai manifestasi Islam Nusantara dalam ranah politik kebangsaan yang menajdi dasar negara Indonesia senantasa dirongrong oleh kelompok populisme Islam, karena dianggap penghalang misi gobalis mereka.

Di sinilah, peran vital Islam Nusantara harus kembali dikuatkan, demi menjaga Pancasila sebagai common platform berbangsa.

Muslim moderat yang nasionalis tidak boleh lagi kehilangan momentum dalam meng-counter populisme Islam. Sehingga, jangan sampai nanti seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Quomas; “kita akan kewalahan menghadapi populisme Islam”. Jika ini terjadi, maka integritas bangsa menjadi taruhannya.” (*)

Penulis adalah Alumnus Program Doktoral Dirasah Islamiyah di UIN Alauddin Makassar

Lebih baru Lebih lama