![]() |
Peserta Riset Lakpesdam NU Sulawesi Selatan (Foto Abd Kadir) |
Pagi itu cukup cerah menghiasai langit Kota Daeng. Ia adalah Ibu Kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang bagi saya, ia sangat membekas di hati dan pikiran. Jumat (2/Juli/2021), pukul 09.28 waktu setempat, saya tiba di Kantor Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama Makassar. Sesuai jadwal yang saya terima, tempat itu menjadi tempat ‘pengemblengan’ pengetahuan tentang riset kepada anak-anak muda NU di Sulsel. Meski peserta pelatihan hanya mereka yang berdomisili di Sulsel, saya bersyukur bisa ikut pelatihan ini lewat ‘jalur’ yang selama ini dirawat Lakpesdam NU di Gorontalo.
Bagi saya, pelathan riset yang diselenggarakan Lakpesdam PWNU Sulsel ini adalah ruang perjumpaan awal. Di sini, bukan hanya untuk belajar riset, akan tetapi ia merupakan ruang bertemu, berkenalan dan berdiskusi bersama Angkatan Muda di Nahdlatul Ulama Sulsel. Sejak flayer pelatihan riset angkatan pertama dan kedua di sebar sebelumnya, keinginan kuat untuk ikut sangatlah tinggi. Namun, karena diperhadapkan dengan rutinitas, sampai akhirnya saya memutuskan untuk ikut di pelatihan riset ke tiga ini.
Kota ini dikenal dengan sebutan kota angin mamari artinya angin bertiup. Jika anda dari Bandara Sultan Hasanudin, jarak ke kota ini akan ditempuh sejauh 20 km. Di daerah ini pun tengah bersemayam salah satu ulama besar. Ia adalah Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani.
Selama tiga hari mengikuti pelatihan riset, saya merasa sangat bersyukur, karena pelatihan seperti ini sudah saya nantikan sejak lama. Bagi saya, riset adalah kerja-kerja yang merdeka dan berperadaban.
Nilai Solidaritas dan Kedisiplinan
Diawal mengikut pelatihan ini, peserta dikenalkan dengan metode. Misalnya, metode yang digunakan oleh sahabat Khusnul, Rahmat dan Jamil dalam membentuk keakraban diantara para peserta sangatlah produktif. Ini terlihat ketika masing-masing peserta diwajibkan utnuk mengetahui dan memperkenalkan teman duduk yang berada disampingnya kepada forum. Ini sebuah pelajaran, guna memaknai agar sesama anak muda Nahdyin harus saling kenal-mengenal. Bisa jadi ini dilakukan oleh kawan-kawan panitia guna menjaga tradisi perjumpaan sebagai wujud ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Basyariyah seperti yang diajarkan oleh kiai-kiai NU.
Perspektif Menulis dan Penguatan Wacana
Sebelum masuk pada materi awal, Saprilah Syahrir, selaku Ketua PW Lakpesdam NU Sulsel mengawali sesi pelatihan tersebut memaparkan kerangka besar maksud dan tujuan pelatihan riset ini. Hal tersebut bertujuan agar para peserta tahu alur dan apa saja output setelah kegiatan ini dilaksanakan. Terutama bagaimana ia meyakinkan peserta, menghidupkan suasana forum agar daya pikir peserta lebih aktif dan mempunyai tujuan.
Melalui selembar kertas, Pria yang akrab di sapa Pepy itu menekankan bahwa setiap peserta harus menuliskan alasan peserta mengikuti pelatihan ini. Pertanyaan ini guna mendorong agar setiap peserta mampu melalukan lompatan cara berpikir yang lebih kritis secara individu. Apalagi dengan gaya yang santai penulis novel calabay ini, ia sangat paham bentuk tulisan dari setiap peserta. Ini membuat saya kagum. Sehingga setiap kali ia menjelaskan, saya menyimak sambil menyelam kedalam maksud dan tujuan dari ia sampaikan
Secara pribadi menyadari betul bahwa Pembina GUSDURian Sulawesi tersebut ingin menanamkan kepada peserta bahwa menjadi seorang penulis haruslah mempunyai perspektif dan tidak mengunakan asumsi dan bunyi-bunyian kata. Namun hal itu tentu tidaklah mudah, katanya. Menjadi penulis butuh proses, mulai dari kesebaran membaca sumber-sumber akademik, baik lokal maupun nasional. Selain itu, pria yang sangat lekat dengan kyai saleh ini pun menekankan agar peserta lebih intens menciptakan ruang diskusi, kepekaan terhadap fakta dan latihan menulis secara menerus.
Selain itu, ia juga menyinggung bagaimana situasi dan kondisi NU saat ini. Untuk konteks Sulawesi masih diisi oleh generasi 60-an yang notebene berprofesi sebagai birokrasi dan elitis. NU belum mempunyai gagasan dalam menentukan poros pimpinan. Konsekwensinya NU mudah tersandra oleh kepentingan-kepentingan kuasa politik praktis. Sehingganya peran NU menjadi lemah dalam menyelesaikan persoalan umat.
Setidaknya dalam proses penguatan ini, ia tengah menyemangati peserta, bahwa menyelesaikan problem NU tidaklah mudah. Melalui pelatihan riset ini, setiap individu mampu melahirkan sebuah gagasan dan wacana baru untuk menuliskan konteks kesejarahan NU disetiap wilayah masing-masing.
Metodologi dan Paradigma
Pada hari pertama, Sjamsurijal Ad’han Ketua LTNU Sulsel memberikan materi, beliau menguji sejauhmana pemahaman kami tentang metodologi dalam sebuah penelitian. Jawaban kami pastinya akan mengarah pada dua aspek yakni kualitatif dan kuantitatif. Lalu ia mengajak kami untuk mengetahui bahwa penelitian itu asumsinya mencari atau melahirkan pengetahuan secara objektif. Sehingga objektif inilah yang harus diberikan tanda kutip, dipertanyakan dan di pahami.
Selain itu, ia juga menguraikan sejarah penelitian dalam konteks dunia dengan mengaitkannnya dengan kisah kedatangan orang barat yakni Marcopolo ketika datang ke Nusantara. Akan tetapi ini kemudian memiliki bias tersendiri. Kenapa? karena orang barat memberikan catatan serta mengukuhkan dirinya sebagai ras yang superior dan manusia nusantara adalah inverior dan identik dengan tahayul.
Dari sini, saya kemudian menyadari dan mengambil kesimpulan awal, bahwa apa yang dimaksudkan oleh pemateri tersebut telah memberi penegasan bahwa, memahami sebuah penelitian dan metode harus benar dan mampu membedah, sekaligus mengura objek yang akan di teliti. Kekurangan selama ini, kata dia, penelitian hanya menempatkan objek sebagai sesuatu yang statis, padahal seharusnya objek itu haruslah dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Objek sendiri memiliki relasi, baik menyangkut dengan pengetahuan maupun kuasa. Contoh yang menarik itu ialah; soal kontradiktif antara dunia timur yang pernah diangat Pramudya Ananta Toer pada bukunya.
Selain itu, lanjut pemateri, sebuah penelitian juga membutuhkan kerangka paradigma. Katakanlah melihat kasus tahayul. Dalam dunia akademik, tidak ada yang namanya teori tahayul. Dunia barat tentu tidak akan mempercayai yang namanya tahayul atau semacamnya, akan tetapi bagi masyarakat Indonesia dunia tahayul haruslah dilihat sebagai praktek ritual yang berkaitan dengan alam kosmologi. Artinya sebuah keyakinan yang mengatur tentang keseimbangan antara makrokosmos (alam) dan mikrokosmos (manusia). Secara kultural, praktek tentang tata keseimbangan seperti ini cenderung hanya terdapat pada masyarakat- masyarakat tradisional, dan pastilah mereka merupakan warga Nahdyin.
Mendalami Etnografi
Dulunya sebelum mengikuti pelatihan ini, saya hanya bisa mendegarkan diskusi etnografi lewat sahabat saya yakni Djemi radji. Sebegitu antusiasnya ingin belajar etnografi, sampai pada saat itu saya meminta kepada Djemi untuk mengundang Kiai Bisri Effendi, sahabat Gus Dur dan juga Guru Saprilah dan Sjamsurijal itu agar bisa datang ke Gorontalo. Lewat Lakpesdam Gorontalo, Kiai Bisri Efendi akan di undang menjad pemateri tunggal. Namun keinginan untuk mendatangkan beliau tertunda di akibatkan kesehatan beliau menurun. Tak lama kemudian, kami mendegarkan kabar, ia baru saja wafat.
Tiga hari bisa dikatakan waktu yang singkat, akan tetapi lewat pelatihan riset ini saya bisa bertemu dan mendengarkan langsung penjelasan materi dari murid-murid Kiai Bisri Efendi termasuk diantaranya Abdul Karim, Sekretaris Lakpesdam PWNU Sulsel dan Irfan Syuhudi. Saya terus mendengarkan dan menyelami betul tentang pengetahuan etnografi yang pemateri sampaikan. Apalagi ketika mendengarkan penjelasan dari Irfan Syuhudi, bahwa dalam melakukan riset etnografi seorang peneliti harus siap untuk tinggal berbulan-bulan. Peneliti harus menyatu dengan entitas yang akan diteliti. Saya kemudian berpikir, kalau metode riset seperti ini dipakai oleh anak-anak PMII di Gorontalo, maka organisasi besutan Rifaldi Happy itu bakal punya basis dampingan yang kuat dan militan.
Sadar Ruang, Posisi dan Akibat
Meski hanya sebagai peserta khusus, saya memilih duduk paling depan di barisan kedua. Dulu, semasa di PMII saya mengenal yang namanya sadar ruang, sadar posisi dan sadar akibat. Selama dipelatihan riset, saya mempraktikan ketiganya. Alhamdulillah ini berhasil. Sejak sahabat husnul mengatur peserta, saya sudah mengambil posisi untuk duduk paling depan. Tujuannya adalah agar saya bisa mendegarkan dan memahami secara jelas apa yang di sampaikan oleh para narasumber. Selain itu interaksi dengan narasumber, pengambilan dokumentasi, materi, dan nomor kontak narasumber juga akan lebih mudah.
Akhrulkalam, saya menyadari bahwa untuk menjadi seorang penulis dibutuhkan kesabaran, mentalitas juga pengetahuan. Meskipun waktunya pelaksanaan kegiatan riset ini begitu singkat, akan tetapi dari pelatihan ini saya bisa belajar bersama dengan angkatan muda NU Sulawesi Selatan.
Oleh : Abdul Kadir Lawero
Sekretaris di Lakpesdam PCNU Kota Gorontalo