![]() |
KH Ridwan Podungge (Aba Idu) Foto : nulondalo.online |
Apakah anda percaya dengan adanya Karamah? Mungkin ada sebagian orang yang tidak percaya akan adanya karamah. Karamah merupakan anugerah dari Allah SWT, yang bisa diartikan sebagai suatu kemuliaan tersendiri bagi orang tersebut. Sebagaimana karamah ulama lainnya, karamah KH Ridwan Podungge atau yang akrab disapa Aba Idu sangat menarik untuk diangkat kembali. Ia merupakan salah satu ulama yang dimiliki Gorontalo, pendiri majelis Turobunnur dan banyak melahirkan murid-murid pandai baca pelbagai kitab ala pesentren pada umumnya.
Aba Idu lahir pada tanggal 20 November 1945, dua bulan setelah kemerdekaan RI di Proklamirkan. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, termasuk sekolah umum. Karena punya semangat ingin belajar yang tinggi, ia bahkan menguasai berbagai ilmu agama, termasuk membaca pelbagai kitab-kitab klasik para ulama terdahulu.
Imran Tahir, salah satu muridnya menuturkan, meski bukan jebolan pesantren, Aba Idu mengusai ilmu nahwu-shorof, tafsir, dan bahkan fasih berbahasa arab. Ia tak hanya pandai dalam penguasaan kitab-kitab, Aba Idu dikenal sebagai Guru yang gigih mendidik para murid. Baginya, mendidik perlu dengan pendekatan rasa, bukan paksaan.
Pengalaman imran saat menjadi murid waktu itu sangatlah membekas. Ia terbilang murid yang sangat bandel. Saat mendidik para murid-muridnya, Aba Idu tak sedikit pun memaksakan pemahamannya saat memberikan nasehat agama. Kesabaran dan kesetiaan Aba Idu dalam mendidik para muridnya tak membuat ia pantang menyerah. Bagi Imran, sosok guru seperti ini sangat sulit ditemukan ditempat lain.
Sebagai pengasuh majelis, Aba Idu mengajarkan berbagai jenis kitab klasik ulama-ulama terdahulu kepada murid-muridnya, mulai dari kitab usfuriyah, Durratun Nasihin, Tanbihul Gafilin, Daqoiqul Akhbar, dan Nashohihul Ibad. Aba Idu belajar perlbagai kitab sejak ia beusia 7 tahun. Di usia yang sangat muda, Aba Idu sering mendatangi sekitar taman pengajian Al Huda (baca : pesantren) untuk bermain.
Pada suatu hari, ketika Aba Idu bermain di sekitar taman pengajian Al Huda, seorang ulama yaman yang bermukim di Palu Sulawesi Tengah tengah berkunjung. Ia datang tanpa didampingi juru Bahasa. Ia tak lain adalah Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufri atau akrab disapa Guru Tua, Pendiri Alkhairaat-Palu. Sayyid Idrus dihadapan jamaah pengajian kala itu tengah menyampaikan ceramah, namun jamaah pengajian tak satu pun paham dengan Bahasa arab.
“Kebetulan, Aba Idu bermain di tempat pengajian pada saat itu. Saat Guru Tua berbicara tidak ada yang paham, kemudian Aba Idu dipanggil menghadap ke Guru Tua dan diusaplah kepala dan dada Aba Idu kecil. Seketika Guru Tua berbicara dengan bahasa Arab, Aba Idu dengan spontan menerjemahkannya ke bahasa Gorontalo,” tutur Kiai Helmi.
Sejak saat itu semangat Aba Idu berlajar agama semain bertambah berkat karamah Sayyid Idrus.
Silsilah Keilmuam dan Para Guru
Selain datang bermain dengan anak-anak sebayanya, Aba Idu adalah petugas di taman pengajian Al Huda. Tugasnya menyajikan kue dan membuat kopi untuk Guru dan jamaah pengajian. Meski hanya sebagai petugas, Aba Idu memanfaatkan waktunya untuk mendengarkan pengajian yang dibawakan Guru ngaji yang tak lain adalah KH Abbas Rauf atau yang akrab disapa Kali Abbasi. Aba Idu tak pernah melewati kajian kitab yang dibawakan Kali Abbasi, mulai dari Ihya Ulumuddin, Sirur Asyrar, Insanul Kamil, Fatuhatul Mahkhiyah, dan Al-Hikam.
Selain itu, di taman pengajian al huda pun kali abbasi mengajarkan kitab dasar-dasar tasawuf, mulai dari Nasahihul Ibad, Irsadul Ibad, Tankihyl Qaiul, Biyadul Shalihin, Fathul Qarib, Minhajul Habidin dan Tanbihul Ghafilin.
“Selain belajar kitab di taman pengajian guru-guru ngaji asli Gorontalo, Aba Idu juga berguru ke guru-guru ngaji luar Gorontalo seperti, Habib bin Lamin kakek dari Habib Salim Al-Jufri,” tutur Kiai Helmi.
Pada sejarahnya, Islam di Gorontalo datang melalui Tariqah atau Ulama Tasawuf. Selanjutnya, Ilmu syariat dan fiqih dikembangkan oleh Haji Alimu (bukan nama asli), seorang ulama dari kerajaan Gowa- Bugis. Haji Alimu mendatangi Gorontalo, dan menyebarkan ilmu-ilmu agama melalui majelis-majelis ilmu. Dari Haji Alimu lahirlah muridnya bernama Haji Lombo (bukan nama asli), Bapu Matoa (bukan nama asli), Ayah dari Bapu Paci (bukan nama asli), dan Bala Kitabi (bukan nama asli).
Dari keempat murid Haji Alimu tadi, hanya dua murid yang belajar ke Makkah. Mereka adalah Bapu Matoa dan Bala Kitabi. Bapu Matoa belajar dan menetap selama dua tahun di Mekkah, sedangkan Bala Kitabi sewaktu melaksanakan Haji, ia belajar agama dan menetap selama 13 tahun. Menurut penuturan Kiai Helmi, anak dari Aba Idu, bahwa Bala Kitabi tak menyangka bahwa ia seperguruan dengan pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH Hasyim Ash’ary.
“Bala Kitabi bukanlah nama aslinya. Tapi itu adalah sebutan untuknya karena setelah ia pulang dari Mekkah, beliau membawa banyak kitab (buku), jumlahnya sama dengan satu gerobak,” ungkap Kiai Helmi.
Bala Kitabi dikaruniai anak yang juga juru dakwah diantaranya; KH Abdul Samad Ota atau Tuan Samadi, kemudian KH Yahya Podungge atau Paci Nurjana, KH Abbas Rauf atau Kali Abbasi, Kali Alinti (bukan nama asli), dan KH Ridwan Podungge atau Aba Idu. Dari anak-anak Bala Kitabi tersebut, lahirlah Danggu Jou (bukan nama asli), Guru Aripu, Adam Zakaria, KH Mar’i Rauf atau Kalimbo Mari adik dari Kali Abbasi.
Kemudian Aba Idu belajar dari Aba Undu, yang merupakan murid dari Tuan Samadi, anak dari Bala Kitabi. Pendidikan Aba Idu melalui orang-orang yang telah disebutkan di atas, didapatkan dari pengajian-pengajian ilmu agama.
Pendiri dan Pengasuh Majelis Turabunnur
Setelah lama menempuh perjalanan pendidikan non pesantren, Aba Idu mendirikan majelis pengajian Turabunnur, yang lokasinya berpindah-pindah. Lokasi awal majelis itu bertempat di rumah orang tua Aba Idu, di Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo.
Sosok Aba Idu sebagai ayah adalah sosok yang baik, terang Kiai Helmi. Cara ia mengajarkan anak-anaknya tidak dengan otoriter, beliau seringkali memberi nasihat-nasihat agama. “Kadang juga ia memberi hukuman seperti, tidak memberi jajan jika tidak sholat”, kata Kiai Helmi. Begitupula cara ia mengajarkan ilmu di Majelis Turabunnur.
Penuturan seorang murid di majelis tersebut, Imran Tahir, aktifitas Aba Idu mengajarkan disiplin kitab dibeberapa majelis, karena beliau juga berkunjung ke majelis di tempat lain, dan juga ke rumah-rumah para muridnya.
“Jadi selain punya satu tempat, Aba Idu mengajarkan kitab itu dengan berkunjung ke rumah-rumah muridnya, dan juga warga sekitar. Kepada anak-anaknya, beliau mewasiatkan bahwa, jangan pernah berhenti belajar atau mengaji kitab-kitab yang diberikan kepada kita. Karena kita bukan sekedar mempelajari kitabnya, tapi kita mengambil spirit dari pengarangnya, sebagaimana itu turunan-turunan dari Rasulullah Saw,” ucap Imran Tahir.
NU dan kearifan Lokal
“Aba Idu adalah orang yang mempertahankan apa yang dirintis oleh orang-orang terdahulu, selama tidak bertentangan dengan agama. ia mendukung selama masih sesuai syariat. Aba Idu adalah orang yang kukuh mempertahankan kearifan lokal, mengingat paham-paham keagamaan yang tidak setuju mulai merebak”, tutur Kiai Helmi.
Aba Idu adalah salah satu ulama turut andil mempertahankan kearifan lokal Gorontalo. Ia tidak mempertentangkan amalan-amalan yang dipadukan dengan lokalitas, sepanjang masih bersesuaian dengan syariat islam. Begitupula dengan masuknya pengaruh Ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) di Gorontalo. Menurut Kiai Helmi, ajaran yang pas dengan lokalitas Gorontalo adalah ajaran NU.
“Dulu mayoritas masyarakat di Gorontalo adalah NU, yang paham hanya amaliyahnya saja. Amaliyah NU yang diterapkan seperti Aruwa, Baca Barasanji, Maulidan, Tujuh Hari dan lain sebagainya. Namun, secara struktur ke-NU-an mereka kurang dikenal,” tutur Kiai Helmi.
Pengakuan lain dari Imran Tahir bahwa, sejak dulu di Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo sejak dulu tengah mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jamaah. “Bahkan Aba Idu juga pernah masuk ke dalam struktural ke NU.”
“Beliau adalah NU kultural dan struktural. Aba Idu pernah tergabung dalam Dewan Syuro, dan beliau adalah salah satu orang yang memperjuangkan NU di Gorontalo,” ucap kiai Helmi.
Sepeninggal Aba idu pada tanggal 13 Juni 2009, makamnya sering di ziarahi berbagai kalangan termasuk para murid-muridnya. Majelis Turabunnur, yang merupakan warisannya kini diasuh anaknya KH Helmi Podungge dan Majelis ini masih bertahan dan mengajarkan berbagai kitab yang pernah dibaca Aba Idu.
Semoga jejak dari ulama NU di Gorontalo ini tetap terjaga sepanjang masa. Semoga KH. Ridwan Podungge atau Aba Idu bisa menjadi inspirasi kita dalam mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama. Semoga. Sebagai penutup tulisan ini, mari sama-sama kita kirimkan al-fatiha kepada ulama kita KH. Ridwan Podungge dan juga Guru Tua.
Oleh : Muhammad Fadhil Hadju
Member di Institute Nulondalo Riset anda Cultur Studies (INRCS)