Paci Nurjana Ulama dengan Berbagai Karamah



Kisah para waliyullah atau para ulama tak bisa dilepaskan dari karamah-karamahnya. Bukan berarti saat kita mempercayai kisah karamah itu sama dengan kita percaya pada hal selain dari sang pencipta. Tapi hal itu kita pahami sebagai sarana untuk mendekati-Nya. 

Seperti pada kisah Nabi terdahulu. Kisah yang terkenal yakni nabi Ibrahim yang tubuhnya tak dimakan api. Ataupun kisah dari nabi Musa yang tongkatnya berubah menjadi ular dan membelah lautan. Semua itu kisah-kisah mujizat dari Allah Swt kepada para nabi. Hanya segelintir orang yang mendapat berkah mujizat maupun karamah yang diberi oleh Allah Swt. Hanya orang-orang yang dicintai oleh-Nya. 

Salah satu kisah yang menarik untuk kita simak tentang karamah ini banyak beredar di kalangan masyarakat Nusantara pada umumnya. Seperti pada kisah karamah para wali penyebar agama islam di jawa, yang terkenal dengan Wali Songo. 

Di Gorontalo juga memiliki beragam kisah karamah para ulama, wali maupun aulia. Seperti aulia Ju Panggola, yang dipercaya oleh masyarakat memiliki karamah. 

Selain Ju Panggola, yang hidup pada abad 15/ 16 M, kisah karamah juga bisa kita telusuri melalui para ulama lainnya di abad 20 M ini. Salah satunya ada pada KH Yahya Podungge atau yang disebut sebagai Bapu Paci Nurjana. 

Bapu Paci Nurjana merupakan tokoh terkenal di kalangan para qadhi Gorontalo. Secara terminologi kata qadhi menjurus pada pemuka agama yang memberi pertimbangan hukum kepada pemerintah daerah dan memberi fatwa-fatwa keagamaan yang diajukan masyarakat (Asba dkk : 2014).

Melalui murid Bapu Paci, Abidin Djula (63) (penulis menyebutnya sebagai murid karena beliau pernah belajar kitab dari Bapu Paci, meski Bapu Paci tak pernah mengangkat secara formal sebagai murid), dituturkan bahwa Bapu Paci memiliki karamah mampu melihat kejadian masa depan. Bahkan salah satunya, Bapu Paci pernah menyuruh anaknya untuk meminta sebutir telur pada tetangganya. Saat itu, tetangganya menolak untuk memberikan telur, alasannya, itu telur pertama ayam mereka. 

Setelah balik ke rumah, anaknya bertanya pada Bapu Paci kenapa ia meminta telur, dan beliau menjawab rumah tetangga mereka itu akan terbakar. Ternyata setelah dilihat kembali oleh anaknya, rumah tetangga itu sudah terbakar. Imam Bidi— nama panggilan Abidin Djula— menirukan Bapu Paci; “Saya sebenarnya tidak meminta telur untuk dikonsumsi, tapi saya hanya ingin menyirami api itu dengan telur”. 

Pendidikan Agama di Pesantren Al-Fatah

Kyai Haji Yahya Podungge yang akrab disapa Bapu Paci Nurjana lahir di Gorontalo pada 1 Januari 1918 M, dan wafat pada September 1997 M. Beliau merupakan anak dari Nurdin Podungge, pekerjaan sehari-harinya berkebun, dan bermukim di Desa Mongiilo. Ayahnya bersaudara dengan Haji Samaun Dunggio—dikenal dengan Bapu Matoa. Bapu Paci Nurjana kemudian diangkat oleh Bapu Matoa sebagai anaknya. 

Sejak kecil Bapu Paci kecil tinggal di Tanggi Kiki (kantor Basarnas Kota Gorontalo). Bapu Matoa juga menjadi guru ngaji kitab dan belajar agama dari Bapu Paci. Bapu Paci juga pernah menempuh ilmu agama di pesantren Al-Fatah—nama dulu dari pesantren Al-Huda. 

Penuturan Abidin Djula (selanjutnya akan disebut Imam Bidi) bahwa, Bapu Paci telah mengenyam pendidikan sejak Ibtidaiyah di pesantren Al-Fatah. Kemudian dilanjutkan ke jenjang tsanawiyah, hingga kejenjang madrasah aliya. 

Saat itu, yang menjadi kepala sekolahnya yaitu Guru Tua (Sayyid Idrus), kata Imam Bidi. Selain dari Guru Tua, Bapu Paci juga belajar dari para guru yang berasal dari Hadrah Maut, Yaman. Penuturan cucu Bapu Paci, Abdul Majid Podungge (30), Bapu Paci juga pernah belajar dari Syekh Abdurrahman, yang merupakan pengajar dari Pondok Pesantren Al-Khairaat Palu, pada tahun 1930-an. 

Salah satu kisah menarik tentang Bapu Paci yang tengah menempuh pendidikan diceritakan oleh Imam Bidi. Pada waktu itu, Bapu Paci sudah tidak ingin melanjutkan pendidikan pada tingkat tsanawiyah. Ia memutuskan untuk berkebun. 

Imam Bidi menceritakannya; “Saat itu Paci tertabrak kendaraan, dan ia dianggap telah meninggal, kemudian akan dikubur. Tapi, Bapu Matoa katakan dia tidak meninggal, dan Bapu Paci hanya dibaringkan hingga waktu menjelang magrib. Setelah magrib ia belum juga siuman, dan Bapu Matoa akhirnya menginjak kaki Bapu Paci sehingga ia terkejut dan bangun,”. Setelah kejadian itu, Bapu Paci melanjutkan pendidikannya di pesantren Al-Fatah hingga lulus pada tahun 1937. 

Berkhalwat 

Khalwat merupakan tradisi dalam tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah (nuonline). Caranya dengan menyepikan diri dari keramaian, hiruk pikuk dunia. Dilansir dari nuonline, mereka yang melakukan khalwat adalah para pelaku suluk, meskipun esensinya harus dilakukan oleh umat Islam dan kaum beriman secara keseluruhan. 

Singkat kata, Khalwat sama artinya dengan bersemedi atau bertapa di suatu tempat yang jauh dari keramaian—dalam hal ini di hutan ataupun di goa. Para ulama Nusantara dulu juga melakukan khalwat. Salah satunya yakni Sunan Kali Jaga, yang melakukan semedi hingga tiga tahun lamanya, yang membuat tubuhnya ditumbuhi akar dan lumut. 

Bapu Paci juga pernah melakukan khalwat sejak ia lulus dari pesantren al-fatah pada 1937. Penuturan Imam Bidi, tempat Bapu Paci berkhalwat yakni di Atinggola, yang katanya sebagai kota jin. Cucu Bapu Paci, Majid Podungge menyebut bahwa, kakeknya pernah berkhalwat di Desa Bumbulan, Paguat. Di sana, beliau berkhalwat selama enam tahun lamanya.  

Berkhalwat itu, kata Imam Bidi, menjadi sarana Bapu Paci mencari kesadaran kebatinan dan menempuh perantara spiritualitas dalam mendekatkan diri pada Allah Swt. Bapu Paci melakukan khalwat beberapa kali. Pada awal berkhalwat, keterangan Imam Bidi, Bapu Paci mencari kebenaran tentang setan. Kata dia, jika kita tidak mengetahui tentang setan, berarti kita menyembah setan. Imam Bidi membacakan: la mudu syaita, innahu lakum anuwummubin. 

Kemudian, Bapu Paci berkhalwat lagi di hutan di daerah Bone Bolango. Yang kemudian ini, ia mencari kebenaran tentang jin. Ia melakukannya di Atinggola dan Soginti. Kemudian, ia berkhalwat lagi mecncari kebenaran tentang malaikat. Kemudian, ia berkhalwat lagi mencari tentang para nabi. 

Dalam khalwatnya mencari tentang para nabi, secara spiritual, ia bertemu dengan para nabi dari Adam a.s hingga Muhammad Saw. Imam Bidi menyebut bahwa, selama berkhalwat, secara spiritual, Bapu Paci berkomunikasi dengan para nabi terdahulu menggunakan bahasa para nabi masing-masing dizamannya. 

Setelah mencari tentang para nabi dalam khalwatnya. Beliau berkhalwat mencari tentang Tuhan. Suatu kisah menarik mengenai khalwat Bapu Paci ini dituturkan oleh Imam Bidi pada penulis. 

Imam Bidi bertutur, “Selama ia masuk dalam goa untuk berkhalwat, berbulan-bulan lamanya ia tidak makan di sana. Saya pernah tanya ke beliau siapa yang kasih makan. Beliau menjawab, Allah Swt sendiri yang memberi makan,”. Bapu Paci kemudian keluar dari khalwat pada tahun 1948, atau tiga tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Sejak itu ia mulai mengajarkan kitab dan ilmu agama. 

Sanad Keilmuan 

Selain menempuh pendidikan di al-fatah dan belajar melalui guru-guru dari Yaman atau luar negeri. Bapu Paci juga berguru ke beberapa ulama Gorontalo. Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, Bapu Matoa yang mengangkat Bapu Paci sebagai anak, juga mengajarkan ilmu agama dan ngaji kitab. 

Bapu Matoa disebut-sebut juga sebagai seorang yang mendalam ilmu agamanya. Beliau juga sering ngaji kitab-kitab klasik. Kata Kyai Helmi Podungge (45), cucu Bapu Paci Nurjana dari ponakannya, Aba Idu, bahwa Bapu Paci Nurjana belajar ilmu tasawuf dari Bapu Matoa. Bapo Matoa merupakan orang yang pernah belajar agama di Mekah, Arab Saudi selama empat tahun. Selain itu Bapu Paci Nurjana berguru langsung pada Tuan Samadi atau KH Abdussamad Ota; Kali Hadija, Tuan Raden Himam, dan pada ayah Bapu Paci sendiri. 

Bapu Paci berguru langsung pada Tuan Samadi dan Kali Hadija selama 25 tahun. Beliau belajar kitab pada Kali Hadija diantaranya; Riyadush Sholihin dan ilmu hadist. Belajar kitab Alfiyah Ibn’ Malik pada Raden Himam. Kemudian, Bapu Paci Nurjana juga belajar kitab Ar-Ruh, Ruhul Bayan, Al-Hikam, Futuhatul Makiyah. Penuturan dari cucunya, Majid Podungge, kakeknya juga belajar kitab yang dituliskan oleh Syekh Tantaui Jauhar, kitab dari Syekh Jafar Al-Barzanji. Yang menarik adalah Bapu Paci sering membaca karya-karya dari syekh Ibn’ Arabi.

Imam Bidi juga menjelaskan beberapa ilmu agama yang dipelajari Bapu Paci seperti; mujahadah, bayan, mukasapah, laduni, mantiq, tasawuf—dalam hal tasawuf menurut Bapu Paci hanyalah awal mengenal agama. “Ilmu mukasapah itu ilmu bisa melihat jauh kedepan. Orang yang memiliki ilmu itu bisa melihat kejadian sepuluh tahun mendatang,” tutur Imam Bidi. 

Karamah - Karamah

Karamah-karamah dari Bapu Paci sangat banyak untuk dikisahkan dalam tulisan ini. Penulis memperoleh cerita kekaramahan beliau melalui Imam Bidi, KH Helmi Podungge, dan Majid Podungge. Bahkan, Imam Bidi menyebut Bapu Paci sebagai orang gaib, artinya banyak kisah kegaiban darinya. Kisah karamah ini dialami langsung melalui ketiga sumber tersebut. 

Imam Bidi mengisahkan karamah Bapu Paci pada penulis. Ia bercerita; “Waktu itu tahun 1980 an. Bulan puasa. Saat itu kejadian gempa menimpa Gorontalo. Sebelum gempa, Bapu Paci datang mengunjungi saya di rumah. Isteri saya yang menyambut beliau saat itu, saya tengah mengaji. Beliau kemudian menyuruh kami untuk masuk di kamar, dan tidur. Jelang lima menit, lepas beliau pulang, gempa langsung terasa,”. 

“Saya pernah mengaji kitab dengan salah seorang opsir atau polisi penjara. Waktu itu, dia datang ke rumah Bapu Paci naik motor. Dia mengenakan pakaian dinasnya waktu itu,” tutur Imam Bidi. Beberapa saat, sewaktu Imam Bidi mengisahkan hal itu pada penulis, ia sedikit tersenyum sembari mengucapkan subhanallah. Lanjutnya; “Kemudian, Bapu bertanya pada saya, siapa yang datang mengaji itu. Kemudian saya terangkan tentang orang itu”. 

“Bapu Paci kemudian berkata bahwa orang itu akan segera meninggal,”. Penulis tertegun saat itu. Sedikit melompat dari tempat duduk. Imam Bidi terus bercerita; “Saya tanya kenapa bisa begitu Paci?”. Menirukan Bapu Paci, Imam Bidi: “Itu malaikat maut ada duduk di boncengan motornya”. Tak lama kemudian orang itu mengalami kecelakaan saat mengendarai motornya, dan meninggal. 

Imam Bidi keasikan bercerita tentang karamah Bapu Paci. “Saya sendiri yang menjadi saksinya waktu itu. Suatu kejadian pernah, seorang anak kecil seumuran sepuluh tahun membawa-bawa kambingnya. Saat itu saya berjalan dengan Bapu. Kemudian beliau mengatakan pada anak itu untuk meminta kambingnya,”. 

“Namun anak itu tidak memberi kambingnya. Katanya, bo tuwewu bapu, jamoali. Jamoali bapu bo itolo batade latia. Dia tidak bisa memberikan kambing itu, karena hanya itu miliknya. Kemudian bapu bilang; nde o’o delowalo”. Setelah kejadian itu, mereka sampai ditujuan perjalanan. Bapu Paci berkata pada Imam Bidi untuk melihat kondisi anak yang berpapasan dengan mereka tadi. 

“Bapu bilang, coba lihat anak itu, belum sempat anak itu mengikat kambingnya dia akan meninggal. Kemudian saya pergi melihat anak itu, saat itu saya naik vespa milik Bapu Paci. Saya melihat dengan mata saya anak itu benar-benar meninggal di lapangan tempat kambingnya merumput,”. 

“Bapu Paci berkata pada saya bahwa, nyawa anak itu masih bisa ditukar dengan kambingnya, jika kambing itu dipotong dan dibagikan ke orang-orang. Bapu Paci bilang, anak itu masih bisa terselamatkan, tapi dia tidak mau kasih kambingnya ke saya,” terang Imam Bidi. 

Imam Bidi juga menceritakan pada penulis tentang Bapu Paci Nurjana yang berkomunikasi dengan presiden Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini. Khomeini (1902 – 1989), melansir wikipedia, merupakan tokoh revolusi Iran dan merupakan pemimpin agung Iran yang pertama. 

Imam Bidi berkisah; “Pernah suatu waktu, saya dan anaknya Bapu Paci tengah menonton TV. Kemudian kami melihat presiden Iran, Khomeini,”. Kemudian Bapu Paci bertanya pada anaknya siapa tokoh yang muncul di TV itu. “Khomeini, anak Bapu Paci menjawab,”. 

Kemudian dua hari setelah mereka melihat Khomeini di TV, ungkap Imam Bidi, ada surat dari Khomeini yang datang pada Bapu Paci. “Surat itu berisi undangan pada Bapu Paci, dan sudah disediakan pesawat untuk menjemputnya,” ucap Imam Bidi pada penulis. 

Kemudian penulis bertanya bagaimana pertemuan itu. “Bapu Paci tidak menerima hal itu. Bapu hanya bilang kita bertemu saja,”. Sahut Imam Bidi; “Mereka seringkali bertemu di kamar,”. Pertemuan yang dimaksudkan adalah pertemuan secara spiritual. Dipercaya juga jika Bapu Paci pergi ke kamarnya, seringkali beliau tidak bisa ditemukan di kamar. Kadangkala kata muridnya itu, Bapu Paci pergi mengunjungi Mekah, dan juga tempat lain melalui kamarnya.

Pengalaman komunikasi Bapu Paci dan Ayatollah Khomeini ini juga diceritakan oleh cucunya, Majid Podungge. Majid mengatakan, waktu itu ia baru berumur enam tahun. “Bapu duduk di kursi rotan yang ada busanya itu. Saya seringkali bermain di sarung bapu,”. “Waktu itu saya melihat Bapu Paci menulis di kertas, sebuah surat berbahasa Arab,” ucap Majid Podungge pada penulis. 

Majid Podungge melanjutkannya; “Setelah menulis surat itu Bapu menyelipkan di Pecinya,”. “Saat itu saya mengambil peci bapu dan memeriksa surat yang diselipkan tadi, dan saya dapatkan surat itu sudah tidak ada,”. “Kemudian ayah saya bertanya pada bapu mengenai surat itu. Kenapa surat itu sudah tidak ada? Kata ayah saya. Bapu menjawab, surat itu ditujukan untuk Khomeini,”. 

Kata Imam Bidi, komunikasi antara Bapu Paci Nurjana dan Ayatollah Khomeini membahas pasal agama. “Saya pernah dengar cerita dari Guru Roky,” tutur Imam Bidi pada penulis. “Pertanyaan dari Khomeini itu menyangkut pasal shalat fardhu. Seperti, mengapa shalat dzuhur tidak bersuara, mengapa magrib tiga rakaat, dan isya empat rakaat,”. 

Dakwah dan Ngaji Kitab

Bapu Paci Nurjana merupakan sosok yang menerima adat dan kebiasaan di Gorontalo seperti mo dikili, mo ngaruwa, hileyiya, mauludu, tahlilan dan lain sebagainya. Saat menghadiri atau menjadi penceramah di acara-acara tersebut, Bapu Paci menyelinginya dengan ngaji kitab-kitab klasik, atau yang biasa disebut kitab kuning. 

Bapu Paci dalam menyebarkan dakwah islam tidak mendirikan majelis sendiri, seperti para ulama yang lain. Imam Bidi menjelaskan bahwa, tempat pengajian kitab oleh Bapu Paci tidak memiliki nama resmi seperti majelis taklim lainnya. Karena menurutnya, jika membentuk majelis taklim biasanya akan ada bantuan dari pemerintah atau biasanya yang memberi pengajian diberi honorarium. Dalam hal ini, Bapu Paci menolak menerima honorarium tersebut. 

Bapu Paci memanglah sosok yang menolak diberi upah dalam mengajarkan ilmu agama. Kata cucunya, Majid Podungge, kakeknya pernah mengajar mata pelajaran agama di sekolah. Hal itu selaras dengan penjelasan Imam Bidi bahwa, pada tahun 1950 an, Bapu Paci diangkat menjadi guru agama di SDN 1 Luwo’o. 

Bapu Paci sempat mengajar selama lima tahun di sekolah itu. Kemudian saat pihak sekolah akan memberikan Surat Keputusan (SK) pada Bapu Paci—sebagai tanda pengangkatan pegawai tetap—, ia berhenti mengajar. Ia berhenti karena menurutnya, jika menerima gaji karena adanya SK itu, berarti ilmu yang didapatnya dari ulama-ulama dan guru-guru terdahulunya tidak bermanfaat. “Karena kata Bapu, dia sudah diberi makan oleh Tuhan,” sahut Imam Bidi pada penulis. 

Dakwah-dakwah dari Bapu Paci juga dituturkan oleh KH Helmi Podungge pada penulis. Bapu Paci berpergian melaksanakan ngaji kitab ke berbagai daerah. Seperti yang dilakukannya saat ada acara tujuh harian, empat puluh hari dan lain sebagainya. Dari acara-acara itu, beliau menyebarkan dakwah islam diselingi ngaji kitab. 

Dakwah di acara-acara itu dilakukan Bapu Paci di berbagai kabupaten serta kota di Gorontalo. Bahkan dalam waktu beberapa bulan beliau pernah mengunjungi Ujung Pandang, Sulawesi Selatan untuk berdakwah dan memberi pengajian kitab klasik. 

Melalui dakwah dan ngaji kitab itu, Bapu Paci memiliki beberapa orang yang ngaji kitab atau pun yang penulis sebut sebagai murid. Penuturan Imam Bidi, Bapu Paci memiliki murid seperti; Imam Jou yang belajar pada beliau pada tahun 1982. Informasi yang penulis peroleh dari Kyai Helmi Podungge bahwa, murid Bapu Paci lainnya yakni Aba Idu—ponakan Bapu Paci—, kemudian ada Guru Aripu serta masih banyak lagi. 

Bapu Paci sendiri tidak mengangkat beberapa tokoh yang penulis sebutkan itu sebagai murid secara resmi seperti dalam majelis atau pengajian. Hanya saja, beliau sering diminta untuk memberikan pengajaran kitab dan sering berdiskusi pasal agama dengan tokoh tersebut. Bapu Paci juga bersahabat dekat dengan Kali Abasi. 

Pandangan dan Peran Terhadap NU

KH Yahya Podungge atau Bapu Paci Nurjana merupakan tokoh NU yang populer pada zamannya. Bapu Paci merupakan tokoh NU dalam tataran kultur. Penuturan Imam Bidi, ia pernah shalat tarwih berjamaah yang dipimpin oleh Bapu Paci hingga subuh. 

Penuturan Kyai Helmi Podungge, Bapu Paci merupakan sosok yang mempertahankan amaliyah-amaliyah ke NU an. Di rumah Bapu Paci sendiri, di kelurahan Pulubala, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo ditempati sebagai pendeklarasian NU kota Gorontalo. Hal itu dituturkan oleh cucu Bapu Paci, Majid Podungge. Penuturan KH Helmi Podungge, para pendahulu NU seperti Bapu Paci, Kali Hunthu, Kali Hadija, KH Abas Rauf merupakan tokoh-tokoh pendiri yang mensosialisasikan NU dan dakwah Aswaja An-Nahdliyah ke masyarakat Gorontalo. Dan NU Kota Gorontalo dideklarasikan pada tahun 1950 an di rumah Bapu Paci Nurjana. Dalam hal ini, penulis belum mengetahui dengan pasti waktu pendeklarasian NU Kota Gorontalo—baik melalui dokumentasi hitam di atas putih atau dokuemntasi lainnya.

Kyai Helmi Podungge menuturkan, alasan pendirian NU secara struktural di Kota Gorontalo adalah adanya perbedaan yang membuat tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU saling berselisih. Meski demikian, Bapu Paci Nurjana ialah tokoh yang tidak ingin bergabung langsung dalam struktural NU, namun secara kultural beliau orang yang sangat aktif berperan.  

Bapu Paci juga memiliki pesan-pesan terhadap pengurus NU. Diantaranya disebutkan yakni, kerjakan hal yang mesti dikerjakan. Karena menurut Bapu Paci, ulama dulu-dulu adalah orang NU. Dari penuturan Imam Bidi, orang-orang NU terdahulu seringkali berdiksusi, bertukar pendapat dengan orang-orang dari Muhammadiyah, sehingga pandangan secara objektif dapat terbentuk. 

Sikap dan Pandangan Terhadap Non Muslim

Daerah Gorontalo memang sering disebut sebagai ‘serambi madinah’. Dalam hal ini, penduduk di Gorontalo mayoritas memeluk agama islam. Tetapi ada juga penduduk non muslim yang bermukim di Gorontalo. Kemayoritasan penduduk muslim di Gorontalo tak membuat mereka berperilaku semena-mena terhadap penduduk non muslim yang minoritas. 

Bapu Paci juga memiliki pengalaman dan pandangan tersendiri terhadap para penduduk non muslim di Gorontalo. Diceritakan oleh Imam Bidi pada penulis, Bapu Paci pernah ditemui oleh non muslim Cina, beragama Hindu. 

“Orang itu datangi Bapu Paci, meminta beliau untuk mendoakan rumahnya,” tutur Imam Bidi. Kejadian itu pada tahun 1991. Kemudian ia bertanya pada Bapu Paci apakah boleh kita sebagai umat muslim mendoakan rumah orang yang non muslim. “Bapu Paci menjawab boleh,” sahut Imam Bidi. Menurut Bapu Paci, non muslim yang meminta untuk didoakan itu pada akhirnya akan islam. Karena menurutnya, bukan agama secara kasat mata yang dilihat, tetapi hati yang tetap memiliki iman. “Mereka beragama lain, tapi percaya sama islam,” ucap Imam Bidi menirukan Bapu Paci. 

Bapu Paci menjelaskan, orang Islam, Yahudi, Nasrani, Penyembah Batu sekalipun, barang siapa yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari kiamat, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Bapu Paci menyebutkan, kita semua akan mati dan kembali pada Tuhan; innalillhai wa innailahi rojiun, kita kembali pada Tuhan, bukan pada surga atau neraka. 

“Kita sebagai muslim wajib mendoakan mereka. Karena kita tidak tahu mereka nantinya akan jadi apa diakhir hayatnya. Siapa tahu orang non muslim itu pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jadi jangan anggap orang yang non muslim itu tidak boleh kita tolong,” tutur Imam Bidi. 

Pesan-Pesan Moral dan Agama

Bapu Paci Nurjana juga menitipkan pesan-pesan moral dan keagamaan baik pada muridnya maupun pada keluraganya. Secara pribadi, tutur Kyai Helmi Podungge, Bapu Paci merupakan sosok yang sederhana, beliau tak banyak bicara kecuali saat ditanya atau saat ngaji kitab. Pada keluarga pun beliau sangat lemah lembut. 

Dituturkan Imam Bidi, pada setiap ngaji kitab yang dilaksanakan Bapu Paci, beliau menjelaskan tentang sifat manusia. Bapu Paci mengatakan, manusia itu memiliki tiga tingkat sifat. Pertama, ada yang manusia; kedua, ada yang mau melangkah ke manusia; ketiga, ada juga yang sudah manusia. Manusia, dalam menerima agama memiliki dua akal. Ada akal ruhia dan akal ilahiah. 

Orang yang beragama itu menggunakan akal ruhiah. Akal ruhiah itu disucikan kemudian baru bisa menanggapi agama. Ketika akal sudah menanggapi agama, maka ia telah memiliki iman. Ketika sudah beriman, kata Imam Bidi, manusia naik ketingkat akal ilahiah. Saat manusia berada pada tingkat ilahiah, ia tidak akan membantah apapun. Manusia itu akan percaya dengan ciptaan yang jahir (nampak) dan yang gaib (tak nampak). 

Kata Imam Bidi, Bapu Paci menjelaskan bahwa kalimat mendirikan shalat ditujukan pada orang yang beriman. Shalat pun tidak menjamin orang untuk masuk surga. Innashalata tanha anifasha iwal munkar, artinya; shalat hanyalah mencegah, bukan memasukan amalan yang lebih baik. Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa, Bapu Paci ingin mengatakan untuk orang yang mengerjakan shalat jangan menganggap bahwa diri yang paling benar. Masih ada amalan-amalan lain yang perlu dikerjakan diantaranya membantu sesama manusia. Karena kita tidak tahu, mungkin, dalam proses kita saling membantu itu ada rahmat Allah Swt yang turun. Wallahuallam.

Kemudian, dari Kyai Helmi Podungge Bapu Paci juga berpesan bahwa, satu hari tidak bertambah ilmu, tidak barokah umur. Maksudnya adalah manusia harus memanfaatkan umur untuk belajar hingga akhir hayat. Pesan pada keluarganya, melalui penuturan Majid Podungge, cucu Bapu Paci bahwa bersabarlah; watawasaul bil haqq watawasaul bil sabr. 

Penulis : Fadhil Hadju

nulondalo online

Media yang dihidupi & dikembangkan oleh Jaringan Anak Muda NU Gorontalo

Lebih baru Lebih lama