![]() |
Zodiak (Ilustrasi) |
Bahstul Masail PBNU telah menerima pertanyaan terkait hukum
memercayai ramalan zodiak. Pertanyaan itu muncul pada halaman redaksi NU Online.
Penannya memohonkan kesediaan pengasuh redaksi Bahtsul Masail untuk memberikan
keterangan terkait ramalan yang banyak digandrungi kaum millenial itu.
Redaksi Bahtusl Masail dengan jelas menerangkan dengan jelas. Keterangan tersebut dilansir
dari halaman nu online, Selasa (29/3/2022). Berikut penjelasanya;
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan
rahmat-Nya kepada kita semua. Masalah yang ditanyakan tampaknya lebih dekat
dengan persoalan akidah, bukan persoalan fiqih. Dengan demikian kami mencoba
mengulas masalah ini dari sudut pandangan akidah. Artinya, pembahasan ini tidak
berujung pada halal, haram, sah, batal, maslahat, dan mudarat.
Pertama sekali, kita coba melihat zodiak dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI memaknai zodiak sebagai lingkaran khayal di cakrawala
yang dibagi menjadi dua belas tanda perbintangan, yaitu Aries, Taurus, Gemini,
Kanser, Leo, Virgo, Libra, Skorpio, Sagitarius, Kaprikornus, Akuarius, dan
Pises; rasi (bintang). Sedangkan ramalan zodiak lebih dekat maknanya dengan
astrologi.
Astrologi atau nujum dalam KBBI ialah ilmu perbintangan yang
dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang. Dari sini kita mendapatkan
gambaran bahwa ramalan zodiak adalah ramalan yang didasarkan pada dua belas
tanda bintang yang dikaitkan dengan dua belas bulan kelahiran seseorang.
Praktik ramalan itu sendiri dilakukan dengan cara mengaitkan
karakteristik khas yang disematkan pada tanda bintang tertentu dan bulan
kelahiran seseorang sehingga karakteristik khas itu tampak berkaitan erat
dengan, atau bahkan menentukan jalan nasib seseorang yang lahir pada bulan
tersebut. Lalu bagaimana kita sebagai umat Islam memandang masalah ramalan ini?
Pertama sekali yang perlu kita katakan adalah bahwa nasib
itu adalah masalah ghaib. Sedangkan yang ghaib itu berada di tangan Allah.
Artinya, kita harus berbaik sangka kepada Allah (husnuzzhan) bahwa bulan apapun
kita dilahirkan adalah bulan baik. Dengan kata lain kita harus optimis dengan
nasib dan masa depan kita. Lalu bagaimana kita memaknai ramalan zodiak atau
ramalan lainnya?
Dalam kajian Islam, kita mengenal hukum aqli (wajib [sesuatu
yang pasti ada], mustahil [sesuatu yang pasti tidak ada], jaiz [sesuatu yang
bisa jadi ada dan bisa jadi tidak ada]), hukum syari (wajib, sunah, haram,
makruh, mubah, sah, batal), dan hukum adi (hukum kebiasaan). Ramalan zodiak dan
apapun bentuk sebab-akibat merupakan hukum adi.
Hukum adi secara utuh disebutkan oleh Mufti Betawi Sayyid
Utsman bin Yahya ketika mengulas akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam Kitab
Sifat Dua Puluh berikut ini: “Artinya hukum adi yaitu menetapkan suatu barang
bagi suatu barang atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran
berulang-ulang serta sah bersalahan dan juga dengan tiada memberi bekas salah
suatu itu pada yang lain,” (Lihat Sayid Utsman bin Yahya, Kitab Sifat Dua Puluh
[Indonesia, Syirkah Maktabah Al-Madaniyyah] halaman 4).
Dalam konteks hukum adi ini, bisa jadi ramalan zodiak itu
lahir dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti sehingga kaitan antara
nasib atau karakter tertentu dan bulan tertentu tampak sangat erat. Dalam hal
ini kita boleh saja mempercayai ramalan tersebut sebagai sesuatu yang
berulang-ulang dan sah bersalahan, sama halnya kita mempercayai bahwa
parasetamol adalah obat yang bersifat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan panas
(KBBI).
Hanya saja, kita perlu ingat bahwa hubungan keduanya sah
bersalahan. Artinya, ramalan itu bisa saja tidak terbukti sama sekali atau
parasetamol itu tidak bekerja sama sekali dalam menghilangkan rasa nyeri dan
menurunkan panas. Dengan kata lain, kita tidak mempercayai bahwa hubungan bulan
kelahiran dan nasib atau karakter kita itu bersifat mutlak. Kita tidak
mempercayai bahwa hubungan parasetamol dan kesembuhan itu bersifat mutlak.
Singkat kata, ramalan itu atau efek obat itu omong kosong
belaka. Guru kami almarhum KHM Syafi’i Hadzami mengambil contoh uang dalam
masalah ini. “Umpamanya saja uang. Uang itu mempunyai khasiat, menggirangkan,
dan melegakan hati. Orang yang banyak uangnya, kelihatan segar, gampang
ridhanya. Dan orang yang tidak punya uang, kelihatannya lesu, gampang marahnya,
sering uring-uringan. Itu namanya khasiat uang.
Tentu saja tidak dimaksudkan bahwa uang itu mempunyai
ta’tsir (pengaruh-red) demikian. Yang dimaksudkan adalah menurut adat atau
kebiasaan saja, atau pada umumnya yang juga tentunya dapat bersalahan dari
ketentuan tersebut,” (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Seratus
Masalah Agama [Kudus: Menara Kudus] juz III, halaman 38.
Lalu bagaimana kita menempatkan relasi sebab-akibat atau
letak zodiak saat seseorang lahir dan nasibnya? Syekh Ibahim Al-Baijuri
menyebut sedikitnya empat sikap manusia memandang relasi tersebut. اعلم أن الفرق
في هذا المقام أربعة الأولى تعتقد أنه لا تأثير لهذه الأشياء وانما التأثير لله مع
إمكان التخلف بينها وبين آثارها وهذه هي الفرقة الناجية، الثانية تعتقد لا تأثير لذلك
أيضا لكن مع التلازم بحيث لا يمكن التخلف وهذه الفرقة جاهلة بحقيقة الحكم العادي
وربما جرها ذلك إلى الكفر بأن تنكر ما خالف العادة كالبعث، الثالثة تعتقد أن هذه الأشياء
مؤثرة بطعها وهذه الفرقة مجمع على كفرها، الرابعة تعتقد أنها مؤثرة بقوة أودعها الله
فيها وهذه الفرقة في كفرها قولان والأصح انها ليست كافرة Artinya, “Perlu
diketahui bahwa manusia dalam kedudukan ini terbagi menjadi empat kelompok.
Pertama, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh apapun pada
benda-benda itu. Yang memberi pengaruh hanya Allah disertai kemungkinan
bersalahan antara sebab dan akibatnya. Inilah kelompok yang selamat.
Kedua, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh
apapun pada benda-benda itu, tetapi meyakini kelaziman antara sebab dan akibat
sekira tak ada kemungkinan bersalahan. Ini adalah kelompok yang tidak mengerti
hakikat hukum adi, dan terkadang dapat membawa kelompok ini pada kekufuran di
mana mereka mengingkari sesuatu yang bertentangan dengan adat, misalnya
kebangkitan.
Ketiga, kelompok yang meyakini bahwa segala benda itu dapat
memberi pengaruh karena tabiatnya. Kekufuran kelompok ini disepakati ulama.
Keempat, kelompok yang meyakini bahwa benda-benda itu memberi pengaruh karena
kekuatan yang Allah titipkan di dalamnya. Perihal kekufuran kelompok ini,
pendapat ulama terbelah menjadi dua. Pendapat lebih sahih menyatakan bahwa
kelompok ini tidak kufur,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala
Kifayatil Awam [Indonesia: Darul Ihyail Kutubil Arabiyah] halaman 44).
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa
hubungan sebab dan akibat atau posisi zodiak (horoskop) ketika seseorang lahir
dan nasibnya dapat kita percayai dalam konteks hukum adi, yaitu sesuatu yang
sah saja secara akal sehat bersalahan. Dalam relasi sebab dan akibat, berapa
banyak orang bekerja keras keluar pagi dan pulang sore tetapi tetap bernasib
kurang beruntung terlepas variabel lain.
Dalam relasi posisi zodiak ketika seseorang lahir dan
nasibnya, berapa banyak orang yang memiliki karakter berjauhan dengan ramalan
zodiaknya. Dalam khasiat uang, berapa banyak orang yang bahagia meski hanya
memiliki sedikit uang. Dan berapa banyak orang yang tertekan dan sulit bahagia
meski memiliki banyak uang. Pasalnya, penentu dan sebab mutlak adalah Allah
SWT.
Kita kembali lagi harus berbaik sangka kepada Allah bahwa
hari dan bulan apapun kita dilahirkan adalah hari dan bulan baik. Posisi zodiak
dan nasib kita sama sekali tidak memiliki pertalian mutlak karena yang
menentukan dan berpengaruh adalah Allah SWT. Demikian jawaban singkat ini.
Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan
kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu
’alaikum wr. wb.