![]() |
Tradisi makan Kacang dan Pisang pada 15 Ramadan adalah tradisi turun-temurun yang dilakukan masyarakat di Gorontalo / Foto : Istimewah |
NUlondalo. Online, Gorontalo - Di Gorontalo menjelang 15 Ramadan, ada tradisi yang
cukup unik dilakukan masyarakat Gorontalo, yakni Malam Qunut. Ada tradisi makan kacang dan pisang (mongga kaca wau
lutu) dirayakan turun temurun setiap pertengahan Ramadan. Sebelumnya, masyarakat di Gorontalo saat berkumpul
makan kacang dan pisang, ada ritual Mandi
Dosa yang perlu dilalui. Namun tradisi ini mulai jarang dilakukan seiring pergeseran
nilai yang cukup signifikan di zaman yang kian pesat ini.
Menurut Alumni the Centre of Religios cross-Cultural
Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada, Tarmizi Abbas, bahwa di Malam Qunut, usai shalat Tarawih di masjid,
masyarakat akan berkumpul sambil makan kacang dan pisang. Meski tidak ada penjelasan
historis, kata Arief panggilan akrabnya, yang pastinya tradisi itu mulai diberlakukan
dalam lanskap sejarah Islam dan adat di Gorontalo.
“Selain berkumpul dan makan pisang-kacang bersama,
dulunya, berdasarkan para penutur di Gorontalo, tradisi ini juga dibarengi
dengan ritual mandi dosa. Salah satu sumur tua yang berada di Batuda’a lah
yang diambil airnya dalam pelaksanaan ritual tersebut. Masyarakat percaya
dengan melakukan ritual mandi dosa, dosa-dosa mereka akan terhapuskan”,
paparnya.
Namun Arief menyangkan, bahwa setelah para sesepuh
meninggal dunia, ritual ini mulai hilang. Tersisalah tradisi makan kacang dan
pisang sebagai satu-satunya variabel penting di dalam Malam Qunut.
Dalam tulisan berjudul : “15 Ramadan di Gorontalo :
Meninjau Kembali Makna dan Kebudayaan dan Adat” itu, Arief mengurai bahwa, tidak ada satupun pertanyaan-pertanyaan secara teologis dari
para ahli agama soal Mandi Dosa pada 15 Ramadan.
“Boleh jadi telah ada kesepakatan bahwa mandi dosa dan sumur tua di kecamatan Batudaa, yang dikeramatkan warga setempat itu bukanlah dua tradisi yang bertentangan dalam Islam; melainkan telah saling mengisi dan sebagai perwujudan dari falsafah daerah Gorontalo “adati hula-hula to syara’, syara hula-hula to kitabullah”. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari poin pertama, hilangnya perdebatan di dalam tradisi mandi dosa ini seolah meneguhkan kembali definisi “adat” yang sesungguhnya, yakni sebagai “kebudayaan” yang terdiri dari nilai, norma, kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat”, tulis Arief
Dilain sisi, ia tidak sependapat menggunakan kata adat untuk mendiskripsikan fenomen kebudayaan atau tradisi masyarakat karena adat itu memiliki arti yang kaku. Adat menurutnya berangkat dari kebudayaan masyarakat sebelum ia terinstitusionalisasi menjadi sebuah hukum adat.
“Transformasi hukum adat biasanya ditetapkan oleh lembaga adat dengan berbagai macam timbangan dan konsekuensi hukum yang disepakati bersama. Pendek kalimat saya, setelah mengalami institusionalisasi, tidak semua kebiasaan masyarakat itu dapat disebut sebagai adat. Sebaliknya, kebudayaan itu bersifat cair dan melekat pada konteks, ikatan, dan otoritas yang dimiliki oleh figur-figur yang dihormati pada sebuah komunitas masyarakat di setiap tempat. Oleh karena itu, secara langsung dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan itu orisinil dan dapat dibedakan dengan kebudayaan yang berada di tempat lain”, terang Direktur Institute for Humanites anda Development Studies (InHides) ini.
Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa, berdasarkan distingsi antara adat dan kebudayaan, itu berarti Malam Qunut bukanlah adat, melainkan sebuah tradisi dan kebudayaan yang dipertahankan secara turun-temurun oleh masyarakat Gorontalo. Ia dapat dilaksanakan, boleh juga tidak. Itulah yang membuat, di satu sisi “makan kacang dan pisang” tetap dilestarikan; sedang di sisi lain, mandi dosa mengalami kerentanan sebagai salah satu variable tradisi Malam Qunut yang telah ditinggalkan. Kematian para sesepuh yang bertindak sebagai figur utama dalam mandi dosa juga berlaku sebagai faktor pendukung kenapa tradisi ini hilang.
“Saya sepakat dengan pendapat para penutur,
budayawan, dan masyarakat Gorontalo, bahwa Malam Qunut itu unik. Di
dalam suasana yang Ramadan yang penuh berkah, Malam Qunut memperkuat
tali-temali kekeluargaan sesama masyarakat. Ini menunjukkan betapa kuatnya
ikatan komunal dan egalitarianisme masyarakat yang dihubungkan lewat tradisi bersama.
Di dalam majelis konkow-kongkow itu, masyarakat hadir dalam suasana
saling cengkrama, berdiskusi, dan berbagi ide. Barangkali di dalam proses
bertukar tangkap ide itu, gagasan-gagasan revolusioner juga hadir.
Subtansinya kata Arief, tradisi di 15 Ramadan di Gorontalo yang disebut Malam Qunut ini, lewat pisang dan kacang, juga turut memperkokoh ekonomi masyarakat lokal. Tradisi Malam Qunut, pendek kalimat, tidak hanya memperkuat silaturahmi, namun juga turut melanggengkan sistem ekonomi kerakyatan tradisional”, paparnya.
“Satu hal yang akan selalu diingat di dalam kepala setiap Muslim Gorontalo bahwa, Malam Qunut adalah kebudayaan yang meneguhkan harmoni, tali-temali kekeluargaan, dan silaturahmi yang diikat oleh dua prinsip yang mengakar, yakni Islam dan kebudayaan”, tutup Dosen di IAIN Gorontalo ini.