![]() |
Warga Gorontalo menyalakan lampu pada alikusu (gerbang) sambil menyebut 4 sahabat Nabi secara berurutan lalu kemudian membaca surah al-qadr. (Foto Istimewah) |
Tumbilotohe sejatinya adalah penerang jalan. Jika dimaknai lebih dalam, ia adalah penerang menuju keimanan. Karena dengan menyalakan lampu di tiga hari menjelang 1 Syawal, sama halnya dengan menyaalakan kembali rasa keimanan.
Sayang, tradisi turun temurun ini seakan kehilangan makna, akibat perkembangan zaman. Idealnya, tumbilotohe, yang mestinya menggunakan tohe tutu (lampu botol berbahan minyak) berganti lampu LED warna-warni (cokua dalam bahasa Gorontalo).
Budayawan Gorontalo Karim Pateda menjelaskan, tradisi tumbilotohe dalam pelaksanaannya memiliki dasar hukum yang merujuk pada surat Al-Qadr, yang isinya pemberitahuan akan adanya malam seribu bulan yang pada bulan Ramadhan ada pada 10 hari terakhir atau pada malam ganjil.
Tumbilotohe Sarat Makna Religi
Bagi masyarakat Gorontalo, jumlah lampu yang harus dirangkai total ada 27 buah lampu dan disusun secara bertingkat. Setiap tingkatannya dirangkai oleh jumlah tertentu.
Alasannya karena masing-masing tingkatan memiliki arti khusus dan sarat akan nuansa Islami karena masing-masing lampu memiliki peran dan makna tersendiri.
1 lampu di letakkan paling atas disimbolkan sebagai keesaan Allah swt sebagai Dzat Mahatinggi dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Lalu, 2 buah lampu diletakkan di tingkat kedua. Ini melambangkan pendekatan diri kepada Allah swt dengan melakukan Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat.
Selanjutnya, 9 buah lampu di tingkat ketiga mewakili Rasulullah saw, empat sahabatnya (Abubakar, Umar, Usman, dan Ali), dan empat lainnya menggambarkan malaikat Jibril, Mikail, Izrail, dan Isrofil dan untuk 13 buah lampu sebagai bagian dasar yang melambangkan 13 rukun shalat.
Di sisi lain, ada pemaknaan secara simbolis terhadap perangkat yang biasanya dipakai dalam tradisi tumbilotohe di Gorontalo.
Redaksi mengumpulkan data-data sebagai berikut:
Lale (janur kuning)
Secara filosofis, dimaknai sebagai tanda kehadiran malam seribu bulan atau malam Lailatul Qadar. Lale sifatnya, yang kalau tertiup angin dan membuat ia menari-nari.
Lale menari-nari ini juga sebagai cerminan ideal masyarakat Gorontalo dengan selalu tetap riang gembira dalam menyambut tamu agung sebagai berkah keutamaan Lailatul Qadar. Dalam keadaan apapun masyarakat Gorontalo percaya bahwa manusia secara naluri berhak bergembira.
Dengan demikian, kebahagian itu diwujudkan kedalam Tuwango Lipu. Tradisi ini menganjurkan untuk berhias diri dalam menyambut malam Lailatul Qadar.
Butulu (Botol Kaca)
Butulu atau botol kaca yang menjadi wadah lampu (tohe tutu) memiliki makna sebagai kekuatan hidup kala manudia harus tetap teguh dan sabar. Manusia laiknya butulu yang melindungi nyala lampu agar tidak padam saat tertiup angin.
Secara filosofis, butulu juga diartikan layaknya Alquran yang merupakan tempat dimana manusia akan mendapatkan kekuatan rohani dan kekuatan iman. Itu karena Alquran merupakan pemberi cahaya jalan kehidupan.
Tubu (sumbu lampu)
Tubu atau sumbu lampu yang dimaknai sebagai jalan kehidupan yang berakar dan mengacu pada Alquran. Tubu yang digambarkan dengan untaian benang merupakan cerminan umat muslim Gorontalo yang kehidupannya untuk tetap lurus sesuai dengan ajaran dan larangan Allah swt seperti yang tercantum dalam Alquran.
Jika benang itu kusut, maka hati manusia tersebut seolah sedang rusak tidak sesuai dengan ajaran dan larangan Allah swt. Oleh karena itu, dengan menyalakan lampu pijar menggunakan nyala api, maka itu dimaknai sebagai pembakaran (menghilangkan) perilaku yang kusut.
Polohungo
Polohungo adalah sejenis tanaman bunga yang dirangkai dan memiliki ragam warna yang diikat menjadi satu dan digantung pada alikusu. Polohungo dimaknai sebagai warna-warni proses kehidupan yang sudah terlewati dan terangkai dari perjalanan hidup manusia.
Secara filosofis, polohungo juga dimaknai sebagai simbol keindahan. Ini ada sangkut pautnya dengan kesukaan masyarakat Gorontalo yang sangat menyukai tanaman jenis ini. Seperti yang telah diajarkan bahwa Allah swt juga sangat menyukai keindahan sehingga masyarakat percaya bahwa bunga polohungo juga disukai oleh Allah swt dan para malaikatNya.
Patodu (tebu)
Tebu atau patodu dalam bahasa Gorontalo dimaknai sebagai pemanis. Mengambil nilai dari sifat patodu yang semakin tua rasanya akan semakin manis, maka hendaklah manusia juga mengikuti sifatnya tersebut.
Patodu mengisyarakatkan kepada umat muslim untuk selalu memperbaiki perilaku dan berhati-hati dalam bertutur kata. Biasanya masyarakat Gorontalo juga akan teringat dengan salah satu puisi lokal yang banyak dikenal masyarakat Gorontalo.
Lambi (pisang)
Lambi adalah pisang. Secara filosofis pisang adalah tumbuhan yang tidak mau mati sebelum dia berbuah. Meski betapa ringkih dan lemah batang tubuhnya. Setelah ia subur dan berbuah, maka itulah tanda akhir hayatnya.
Dalam kehidupan manusia, lambi dimaknai sebagai seorang manusia yang bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya kepada Allah swt. Dan hanya Allah swt yang berhak memetik “buah” dari kesungguhan manusia dan memanggilnya untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Inilah makna tumbilotohe digelar pada tiap ujung Ramadan di Gorontalo. Ia sarat makna yang sangat dalam. Ia adalah tradisi berbalut islam. Sebagaimana jargon para pendahulu negeri ini; Adati hula-hula to syaraati, syaraati hula-hula to kitabi (adat bersendi syarak-syarak, bersendikan kitabullah). Semoga dipenghujung Ramadan kali ini, kita semua beroleh berkah malam Lailatul Qadr.
Wa allahu a’alam bish-Shawab