![]() |
Demonstrasi (Ilustrasi) |
(Warga Nahdliyyin Gorontalo)
Ketika seseorang terkapar berlumuran darah atau mungkin meregang nyawa, kita merasa begitu bangga, gembira dan bahkan sangat bahagia. Saat itu kita telah merasa menjadi perwakilan Tuhan di bumi untuk menyiksa dan memberi sanksi kepada seseorang yang kita klaim telah berbuat dosa dan telah menghina kemuliaan serta kehormatan agama.
Saat itu, kita lampiaskan emosi dan dendam keagamaan kita yang berbulan-bulan bahkan bertahun tahun kita simpan. Kita lakukan aksi yang kita anggap perbuatan suci itu berdasarkan persepsi yang telah terdoktrin dalam pikiran kita. Padahal bisa jadi berbeda dengan persepsi orang lain. Mungkin ini yang disebut dengan "sensivitas beragama".
Harus kita akui bahwa ketika simbol-simbol agama direndahkan, diremehkan dan dihinakan, maka jangankan orang yang beriman, naluri pelaku maksiat pun serta merta terpanggil melakukan aksi "pembelaan". Atas nama agama, jihad komunal atau jihad personal kita gelorakan, bahkan dibumbui dengan pekikan takbir yang membara.
Ya, sensivitas beragama itu perlu untuk menjaga muru'ah agama. Sensivitas beragama adalah bahagian dari ghirah yang wajib dimiliki oleh setiap umat beragama. Hanya memang terkadang sensivitas beragama sering tidak diikuti oleh rasionalitas dan akal sehat, ditambah lagi dengan pemahaman agama yang kerdil.
Berdasarkan hasil penelaahan kita terhadap kitab suci dan literatur-literatur keagamaan, kita temukan mutiara yang sangat berhara yakni bahwa agama itu memiliki sisi humanitas yang melampaui batas teritorial yang paling prinsip sekalipun. Bukankah Rasul SAW berdiri ketika di depannya lewat iring-iringan pengantar jenazah Yahudi ? Kita semua tahu bagaimana perilaku keagamaan Yahudi, kan ? Rasul SAW tidak melihat pada ranah itu, tapi berdirinya Rasul SAW adalah sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Dalam konteks ini Gus Dur mengatakan : "Jika engkau tidak menghormati seseorang karena perbedaan agamanya, paling tidak lihatlah dia sebagai manusia". Berbeda keyakinan saja aspek humanitas menjadi prioritas untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang harmonis, apalagi yang sekeyakinan. Di sinilah perlunya pemahaman agama yang moderat.
Kalau kita mempelajari dan mendalami ajaran agama kita dalam dimensi fiqhiyah, maka kita akan mendapatkan bahwa di dunia ini yang memiliki hak preogeratif dan diberi kewenangan menetapkan hukum kepada para pendosa yang berkaitan dengan pelanggaran syariat yang memiliki konsekwensi pidana adalah para hakim atau qadhi yang ditetapkan oleh khalifah, sultan, raja atau presiden. Selanjutnya hasil penetapan hukum tersebut dieksekusi oleh aparat hukum lainnya yang ditugaskan oleh negara. Itu artinya tidak semua orang diberi kewenangan dalam wilayah ini. Dengan demikian, secara syar'i para penegak hukum inilah yang sesungguhnya menjadi perwakilan Tuhan dalam memberi hukuman kepada seseorang sebagai akibat dari dosa keagamaan yang dia lakukan.
Oleh karena itu, jika kita yang bukan siapa-siapa mengambil alih kewenangan tersebut, maka apakah ini termasuk bagian dari pelaksanaan ajaran agama ?
Kemudian, ketika kita mengeksekusi seseorang atas nama agama, kita berseru dengan bangganya : "Wey Mas Bro, yang kau rasakan ini baru sebagian azab Tuhan di dunia. Tunggu episode berikutnya. Sampai bertemu lagi di akhirat, Bro",
Wallahu A'lam
Jakarta, 13 April 2022
#SalamModerasi
#IslamItuMenyayangiBukanMenyakiti