Jika Ahmadiyah Mengakui Nabi Muhammad SAW, Maka Saya Ahmadiyah

 

Samsi Pomalingo, MA (Foto: FB Pribadi)


Kira-kira pertama kali saya mendengar nama Ahmadiyah, itu sekitar tahun 1994 ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Limboto. Salah seorang guru saya menjelaskan tentang teologi pemikiran Islam. Guru  saya lulusan IAIN Alauddin Makassar jurusan akidah filsafat. Disela-sela ia menjelaskan  tentang pemikiran Islam, ia menyentil soal Ahmadiyah , selain Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Syi’ah dan Sunni.  Guru saya hanya menjelaskan sedikit tentang Ahmadiyah yang dianggap sebagai kelompok (jama’ah) yang meyakini akan datang diakhir zaman seorang Imam Mahdi dan itu adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908)1997. Sontak saja penjelasan Guru saya membuat saya tercengang, karena hal ini berbeda dengan penjelasan yang saya terima dari ustadz ketika masih belajar di pesantren yang mengakatakan bahwa Imam Mahdi itu adalah seseorang yang mengaku Nabi.  Jelas ini membuat saya bertanya-tanya apa benar Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang dijanjikan oleh Allah SWT bersama Nabi Isa, a.s yang akan menghancurkan Jaddal ketika hari kiamat tiba. Sebagai orang yang pernah mondok (santri) saya harus sami’na wa’atho’na kepada Guru atau ustadz yang ada di pesantren. Saat itulah kebencian saya kepada Ahmadiyah mulai muncul.  

Di tahun 1996, ketika saya masuk PMII, organisasi ini mengantarkan saya pada perjumpaan-perjumpaan lintas iman dalam kerangka membangun solidaritas  antar sesama dari berbagai agama dan kelompok keagamaan termasuk Ahmadiyah.  Saya dan sahabat-sahabat aktivis PMII Cabang Manado sering terlibat dalam kerja-kerja lintas iman sebagai konsekuensi dari pemahaman kami atas pluralisme agama.  Disinilah saya berjumpa dengan beberapa orang Ahmadiyah Manado dan Motoboi Besar, Kotamobagu. Kehadiran Ahmadiyah di daerah Sulawesi Utara khususnya di Motoboi Besar tahun 1925 tidak bisa dipisahkan dari sosok Yahya Pontoh.  Dari beliau, kehadiran Ahmadiyah mulai diterima di lingkungan keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar Motoboi Besar.  Kemudian hadirlah nama-nama seperti Mansoor Ahmad Kadengkang, Abdul Karim P. Dorumeat, dan Abdul Hanan Komangki yang mengabdi dalam dakwah Ahmadiyah, termasuk kehadiran mubaligh muda Muhammad Yakub yang saat ini sebagai Mubda Wilayah Sulawesi Selatan yang pernah manjalankan pengabdiannya sebagai mubaligh di Kota Manado.

Perjumpaan saya berikutnya dengan Ahmadiyah ketika saya belajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, konsentrasi pada program Religion and Cross Cultural Studies (CRCS) di tahun 2000. Disinilah saya semakin intens berjumpa dengan saudara-saudara saya dari Ahmadiyah. Yang patut dicatat selama saya di Yogyakarta, saya tidak pernah mendownload tulisan-tulisan di internet, alasannya sangat sederhana karena saya ingin menghindari tulisan-tulisan yang memojokkan Ahmadiyah yang ditulis oleh para pembenci Ahmadiyah. Artinya saya belajar langsung dari penjelasan, keterangan dan pengakuan dari saudara-saudara saya di Ahmadiyah mengenai siapa sebenarnya Mirza Ghulam Ahmad dan bagaimana ajaran-ajarannya dalam Ahmadiyah.  Dari mereka saya mulai memahami dan merubah cara pandang saya yang tadinya benci (1990), kemudian berubah menjadi cinta (2003) kepada Ahmadiyah. 

Pada tahun 2004 setelah saya selesai dari CRCS-UGM,  kemudian saya kembali ke Gorontalo pada tahun 2005, saya berjumpa dengan Pak Nanang seorang Mubaligh Ahmadiyah Gorontalo. Saya bertemu beliau karena dipertemukan oleh Mas Fikri, beliau adalah direktur L-KIS Yogyakarta di masa itu. Kami bertemu di salah satu hotel, namanya hotel Karawang di jantung Kota Gorontalo.  Melalui perjumpaan dengan Pak Nanang, saya mendapatkan buku terjemahan dari mereka yang ditulis langsung oleh pendirinya Hadhrat Mirza Ghulam Ahamd, bukunya berjudul Filsafat Ajaran Islam yang judul aslinya Islami Ushul Ki Filsafat (bahasa Urdu) yang terbit pertama kali di tahun 1977. Buku ini membahas soal keadaan jasmani, akhlak dan rohani manusia, keadaan manusia sesudah mati, tujuan hidup manusia dan cara mencapainya,  dampak perbuatan amal manusia di dunia dan akhirat, jalan dan saran untuk mendapatkan ilmu makrifat Ilahi. Buku ini menarik karena menggambarkan tentang kebenaran dan kebesaran agama Islam sesuai Al-Qur’an, Sunnah dan Hadits Nabi SAW.

Pada tahun 2022 saya berjumpa dengan Mubaligh Ahmadiyah Muhammad Yaqup, Pak Iwan, dan Pak Bambang ditemani sahabat saya Arfan Nusi ketua Rumah Moderasi Beragam IAIN Sultan Amai Gorontalo. Kami terlibat dalam diskusi sejak dari rumah makan Coto Daeng Tata, dilanjutkan ke masjid Ahmadiyah Kota Makassar (shalat Ashar berjama’ah) sampai bersambung ke perkebunan miliki Ahmadiyah di Kabupaten Gowa dan dipertemukan dengan Pak Nadzir Mubaligh Wilayah Gowa (sampai shalat magrib berjama’ah). Setelah shalat saya mengingat pernyataan sinis dari orang-orang yang membenci Ahmadiyah bahwa “jika shalat di tempatnya Ahmadiyah, maka setelah shalat sajadah yang dipakai oleh orang di luar Ahmadiyah dicuci karena dianggap bernajis”. Anggapan itu salah dan tidak terbukti. 
 
Perjumpaan saya beberapa kali dengan para mubaligh Ahmadiyah dan terlibat dalam diskusi panjang melalui pertanyaan-pertanyaan kritis kepada mereka. Telah menjawab keraguan dan kebencian saya kepada Ahmadiyah. Jika ada persepsi atau pendapat dan bahkan anggapan bahwa Ahmadiyah adalah sesat, bukan Islam dan bukan sekolompok jama’ah yang tidak mengakui Nabi Muhammad SAW adalah Nabi, maka saya pastikan jawabannya adalah salah besar. Tuduhan-tuduhan negatif dan menyesatkan pasti berasal dari sekolompok orang yang suka  menebarkan fitnah, kebencian, berita hoax dan memang tidak menghendaki adanya persaingan dalam rekrutmen jama’ah atau anggota. Sebenarnya kelompok-kelompok atau pribadi orang dengan karakter dan pemikirannya seperti itu mengindikasikan bahwa sebenarnya mereka bukanlah kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabiyullah utusan Allah SWT. 

Para pembenci dan tukang hasud adalah orang-orang atau kelompok yang tidak ingin hidup bertetangga dengan jama’ah Ahmadiyah ketika berada di surga, padahal belum tentu mereka (para pembenci dan penghasut) masuk surga. Karena cara atau sikap dan pandangan mereka tidak menunjukan akhlak Nabi SAW. Mereka tidak ingin kalah bersaing dalam merebut hati ummat, padahal Allah SWT menekankan fastabiqul Khairaat “berlomba-lombalah dalam kebajikan”. Bukan untuk menghantam dan meracuni pikiran ummat dengan segala produk pemahaman yang  mengkonstruksi kebencian. Jelas I ni salah dan merupakan rangkaian perbuatan setan yang mendiami dan menguasai nafsu lawwamah (nafsu budak setan).   

Sebagai orang yang belajar antropologi saya menyaksikan langsung praktek-praktek keagamaan mereka seperti shalat, bacaan-bacaan zikir, adzan dan iqomah, termasuk simbol agama seperti mimbar khutbah jum’ah dan kalender Islam yang bertuliskan Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammad Rasulullah.  Artinya mereka melaksanakan sholat 5 waktu (bahkan mereka sangat dianjurkan untuk melaksanakan shalat tahajud dan dhuhah) setiap harinya. Mereka shalat dimulai dari niat dan takbir dan diakhiri dengan salam. Tidak ada yang berbeda dengan shalat ummat Islam pada umumnya. Mereka mengumandangkan adzan, iqomah dan bahkan syahadat dengan lafaz Laa Ilaaha Illah Allah, Muhammad Rasulullah. Tidak seperti yang dituduhkan oleh orang lain melalui ceramah  dan tulisan-tulisan lepas yang mengatakan bahwa Ahmadiyah sahadatnya berbeda dengan ummat Islam lainnya. Itu tidak benar, buktinya sahadatnya mereka sama dengan syahadat ummat Islam lainnya dengan tidak melafazkan “wa asyhadu anna Mirza Ghulam Ahmad Rasulullah” sepeti yang dituduhkan selama ini.  Jama’ah Ahmadiyah sangat mencintai Nabi, bahkan pendirinya Mirza Ghulam Ahmad pernah menyatakan keagungan derajat Rasulullah SAW dengan ungkapan “Saya laksana debu yang menempel di torompah Rasulullah SAW”. Bahkan ungkapan kecintaan lainnya beliau kepada Rasulullah “Siang dan malam aku bersimpuh bagai debu di jalan Kekasih-ku, Tanda apa lagi yang mengisyaratkan kehormatan dan rezeki terhormat.” (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; Ruhani Khazain, 1984). Ini menunjukan kecintaan pendiri dan jama’ahnya kepada Nabi Muhammad SAW. 

Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang atau kelompok orang kepada ahmadiyah sebagai agama di luar Islam, kelompok yang sesat dan menyesatkan dan tidak bersyahadat kepada Nabi Muhammad SAW, adalah bentuk tipu muslihat yang sengaja dimainkan untuk menghalau gerakan dakwah dari Ahmadiyah. Ummat Islam dicekoki dan diracuni pikirannya dengan tipu muslihat murahan dengan menjual ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi untuk melegitimasi pendapat mereka demi memperturutkan hawa nafsunya yang sedang bermasalah. Kelompok-kelompok pembenci ini suka berhalusinasi, menghayal dan bermimpi bak di siang bolong. 

Jika mereka tidak pernah berhenti dengan menuduh Ahmadiyah sebagai aliran sesat, maka saya tidak akan pernah berhenti untuk membersamai saudara-saudara saya di Ahmadiyah untuk ikut membantu dan menjaga eksistensi mereka terutama di Gorontalo. Ahmadiyah, sekali lagi, bukanlah aliran yang sesat atau yang telah keluar dari Islam, karena mereka beriman kepada Allah, Nabi Muhammad, al-Qur’an, Malaikat dan hari penghabisan, qodho dan qadar. Jika demikian, dimana letak kesesatan Ahmadiyah. Mereka berdakwah dengan santun dan penuh adab, mereka anti dengan aksi kekerasan dari kelompok mutasyaddid (islam garis keras). Mereka membaca al-Qur’an dengan baik, mereka menjalankan sunnah Rasulullah SAW, bahkan mereka rela menghidmatkan diri dan keluarganya (sejak masih dalam kandungan) untuk dakwah Islamiyyah., hal ini jarang terjadi di kelompok-kelompok agama lainnya.  

Sebagai penutup dari tulisan sederhana ini, saya hendak mengakatan, jika ajaran-ajaran Ahmadiyah bersandar pada al-Qur’an dan Hadits Nabi, mengakui Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, melaksanakan sunnah Nabi, mengajarkan kebaikan, maka saya adalah bagian dari keluarga besar Ahmadiyah.

Oleh: Samsi Pomalingo
Alumni Workshop Religious Leader GUSDURian
Lebih baru Lebih lama